Bilur-bilur Luka Reva Tersingkap

1
312 views
Ilustrasi by Agus.

REVA bersimpuh di hadapan pusara kayu keropos yang sudah miring ke kanan hampir roboh dengan tulisan yang sudah tidak terbaca, membuat matanya memburam dan hatinya kembali mengucurkan darah. Darah menderas seperti darah yang mengalir dari luka-luka Yesus yang didera sebelum disalib.

Pedih, perih, ngilu, miris ketika kenangan kelam terkuak kembali di hadapan pusara kumuh, berlumut, penuh debu, dan tersembunyi di balik rerumputan yang meninggi. Kenyataan yang timpang dibanding nisan-nisan di sekitarnya, yang bersih, tersisa bunga yang melayu dan mengering menumpuk, menandakan bahwa ada keluarga yang menziarahinya, kecuali satu makam, makam di hadapan Reva.

Bertahan menyimpan luka bertahun-tahun ternyata seperti membebat luka tanpa pernah mengobati dan menyembuhkannya, melahan membiarkan tetap  bertahan memburuk dan membusuk.

Tiba saatnya luka dikorek, dibersihkan borok dan koreng yang bernanah, yang memperparah luka sungguh sakit. Sapuan alkohol pembersih luka sungguh pedih tak terkirakan, olesan obat dan tusukan suntikan menyakitkan, namun sungguh dibutuhkan agar luka mengering dan sembuh.

Penyembuhan ini sedang diusahakan oleh Reva sebagai awal pengampunan terhadap orang-orang yang telah mengelamkan masa lalunya. Kelamnya masa lalu ternyata berdampak besar dalam menghambat langkahnya ke depan. Dendam yang membatu, membekukan pikirannya dan memfosilkan hatinya untuk bisa berbuat tulus.

Perjuangan yang tidak mudah. Tetapi hari ini dilakukannya, sebagai langkah untuk rela dan ikhlas, agar luka tak selalu terasa perih, namun hanya segaris keloid yang tertoreh di atas kulit, tetapi tak mampu menimbulkan pedih di hati, perih di rasa, dan ngeri di benak.

***

“Jadi, Mbak itu harus mengalah dengan adikmu,” selalu begitu ibu menegur Reva bila ia melawan bila dinakali adik-adiknya.

“Adik-adikmu sebagai lelaki harus didahulukan, jadi perempuan itu harus manut, nurut, patuh, jangan banyak tingkah,” omelan itu yang selalu diucapkan oleh ibu dan buliknya, yang membuat Reva merasa semakin terpuruk tak berharga.

Menjadi perempuan baginya seperti sebuah petaka yang menempatkan dirinya di ujung neraka.

“Rev, ini adikmu ngompol.”

“Reva, ini adikmu pup.

“Reva buatkan adikmu susu.”

“Va, tunggui adikmu yang sedang bermain, jaga baik-baik, jangan sampai celaka.”

“Berikan mainanmu untuk adikmu, mengalahlah.”

“Ajari adikmu mengerjakan PR.”

“Carikan dasi dan topi seragam adikmu.”

“Berikan dulu untuk adikmu, lain kali ibu belikan”.

Dan lain kali, itu tak pernah ada.

“Bantu ibu memasak, menyapu, mencuci baju, menyetrika,”perintah yang tak bisa dibantah dan tak pernah lelah dilontarkan ibu Reva setiap waktu dan setiap saat tanpa pernah terlewat sepanjang hidup Reva.

Dicarinya dalam ingatan dan memorinya kata ibunya yang memberikan hal istimewa padanya, namun tak ditemukannya. “Ini untukmu, kubelikan hanya untukmu”, tidak pernah ada, yang ada “Ini untukmu, adikmu dan aku tak doyan.”

Digalinya dari ingatannya dan ditelusurinya dari seluruh kulitnya sentuhan ibunya, pelukannya, belaian di rambutnya, ciumannya. Tak ada.

Sungguh tak ada. Tak ada bekas sesenti pun jemari ibunya pernah menyentuhnya dan meninggalkan bekas dalam kenangannya. Nothing. Bahkan untuk memukulnya saja ia tak pernah menggunakan tangannya melainkan dengan serbet, kemoceng, atau gagang sapu.

Sungguh, tubuh Reva belum pernah disentuh ibunya. Apalagi sejak kecil ia diurus buliknya, tanpa pernah disusuinya. Umur Reva baru dua bulan, ibunya sudah mulai hamil anak kedua, dan dalam enam tahun pernikahannya telah lahir empat anak.

Sebagai anak pertama, Reva adalah ibu kedua bagi ketiga adiknya. Apalagi setelah ibunya minggat dan bapaknya tewas mengenaskan.

***

Pusara di hadapan Reva adalah pusara ayahnya, bukan ibunya, tetapi petaka hidupnya dimulai dari perilaku ibu yang tak layak dipanggil ibu. Matanya menggelap saat Reva menyentuh nisan itu. Ada getar yang membuat hatinya semakin getir.

Terngiang kata bapaknya, “Kau perempuan jalang. Kau buat aku mandul dengan vasektomi, tapi kau binal mengejar lelaki. Terkutukkah perempuan biadab.”

Dan ayahnya merajamnya sepanjang malam.

Air mata membanjiri pipi Reva. Ada rasa kasihan yang timbul dari hati Reva. Bapaknya ternyata juga korban. Keperkasaan bapaknya telah dilecehkan oleh ibunya dan berkali-kali.

Bapaknya hanya bisa marah tak terkendali dan lari dengan menenggak arjo, arak jawa, minuman keras tradisional yang disuling dari permentasi nira mayang kelapa yang disimpan dalam drum yang prosesnya agak kumuh dan merupakan minuman keras ilegal.

Ternyata nasib bapaknya mengenaskan juga. Lelaki yang dilecehkan keperkasaannya adalah kekerasan yang tak tertanggungkan. Apalagi kemudian istrinya  meninggalnya dengan cara yang menyakitkan.

Lelaki tidak bisa mengungkapan keterpurukannya dengan menangis, mengumpat, atau curhat, dan itu justru melukai harga dirinya dan sangat menyakitkan. Apalagi cara kematiannya lebih tragis lagi, tertabrak truk pengangkut babi. Tubuhnya hancur tertimpa tumpukan keranjang babi yang berguguran saat truk masuk selokan. Dan itu akibat kutukan Reva.

Reva tak mau melihat dan mengantar bapaknya di peristirahatannya yang terakhir dan tak mau terlibat dalam doa arwah mengenangnya. Ini kali pertama mengunjungi makam bapaknya dengan sedikit kesulitan karena dendam yang membekukan hatinya.

Kali ini air mata yang tercurah seperti aliran sungai yang membasuh sukmanya, membersihkan lukanya, dan menghangatkan hatinya dengan rahmat pengampunan.

”Bapak beristirahatlah dengan tenang. Reva mohon maaf telah mengutuk bapak sehingga akhir hidup bapak sungguh menyedihkan, Reva ikhlas atas nasib yang telah menimpa Reva dan menerimanya sebagai takdir.”

Dengan menaburkan bunga yang didominasi bunga kenanga kegemaran bapaknya ia mengenang semua kebaikan bapaknya.

Cara bapaknya menyisir rambutnya dan mengikat ekor kuda dengan pita biru muda, mengolesi betadine pada luka sabetan gagang sapu oleh ibunya, menggendongnya saat ia tertidur kelelahan di ruang tamu, menggandengnya ketika berangkat sekolah, menyuapi jenang lemu dengan sambal goreng krecek pedas, membelikan kue leker yang garing kemripik pinggirnya dan penuh taburan meises yang meleleh di tengah, membelikan kotak pencil yang diimpikannya.

Semua kebaikan bapaknya membayang dan mengalir menghanyutkan bekas-bekas luka yang ditorehkan bapaknya atas dirinya. Dan Reva merasa lapang dan merdeka. Mengampuni sungguh berdampak besar bagi dirinya sendiri, lega dan pulih dari luka.

***

Dengan memesan ojol, Reva kembali ke stasiun yang ditinggalkannya tiga jam yang lalu. Sambil menunggu GoCar yang dipesannya dan memesan serabi gajah untuk teman-temannya melalui GoFood agar dikirim ke stasiun, ia membeli sebotol Pocari Sweat untuk menghilangkan dahaga yang baru terasa bahwa  tenggorokan terasa kering.

Sekali lagi ia menengok ke arah kuburan bapaknya dan berbisik dalam hati, ”Selamat tinggal Bapak, beristirahatlah dengan damai” dan ia masuk ke dalam mobil yang dipesannya.

Bulu kuduknya meremang. Terasa senyum damai dan lambaian tangan bapaknya mengantarkannya pulang tanpa beban dengan  bau wangi kenanga yang menguar semakin lama semakin tipis dan menghilang.

”Terima kasih Bunda Maria Guadalupe. Berkat Bunda, Reva mampu mengampuni”.

Usaha Reva untuk membasuh sebagian lukanya berhasil, bukan sebagai usahanya sendiri melainkan berkat bimbingan para suster Misionaris Claris.

Reva berjanji dalam hati, dalam skripsinya akan ditambahkan ucapan terima kasih kepada bapaknya, tentunya setelah Bunda Maria Guadalupe, Suster Ignas, dan Suster Anas yang telah menyelamatkannya dari kematian fisik, psikis, dan iman, serta membawakan pengharapan bagi dirinya.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here