NAMA Farel Prayoga, penyanyi cilik asal Banyuwangi, yang menggemparkan Istana Merdeka bulan lalu, tiba-tiba muncul di video. Farel minta maaf, karena harus membatalkan pertunjukan di Bali dan menunda di Bojonegoro. Dia harus isoman.
Kemudian, Farel digendong keluar dari arena siaran. Tanda bahwa dia (sangat) lelah.
Sudah diduga, sesaat setelah lagu Ojo Dibandingke meledak di Istana, Farel bakal menuai “panen”.
Banyak pihak mengundangnya untuk tampil di perhelatan pesta yang mereka gelar.
Politikus, konglomerat, pejabat, pengusaha dan selebriti buru-buru menerapkan pepatah “Kesempatan emas tak datang dua kali”, alias “mumpungisme”.
Dengan dalih menghargai prestasi mantan pengamen itu, mereka berlomba-lomba “memanjakan” Farel.
Honor sekali manggung, konon sampai puluhan juta rupiah. Belum fasilitas dan cinderamata yang diguyurkan hingga basah kuyub.
Pernah terekam, Farel naik pesawat charter di pagi hari, dari Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, agar bisa mengejar masuk kelas di SDN 2, Kepundungan, Srono, ujung timur Pulau Jawa, setelah mendarat di Bandara Blimbingsari.
Siraman ganjaran pasca manggung di istana menjadi goncangan yang tak mudah untuk diredakan oleh seorang Farel beserta keluarganya yang bulan lalu masih “biasa-biasa” saja. Kejutan yang hampir pasti membuat cultural shock.
Materi jelas sesuatu yang menggiurkan, tapi jangan lupa, “kejutan budaya” yang datang tiba-tiba, jelas berpotensi negatif bagi pribadi yang lugu, tulus, dan apa adanya.
Yang terjadi, justru mereka yang mengundang lah yang mendompleng “kebesaran” Farel.
Mungkin untuk mendapatkan nama yang lebih besar, kocek yang lebih dalam, dan popularitas yang lebih membubung.
Tak terasa, Farel menjadi materi promosi untuk kepentingan si pengundang. Sementara eksploitasi terhadap ketenaran Farel mungkin menjadi bumerang bagi keutuhan pribadinya.
Dulu, kita banyak mempunyai penyanyi dan bintang film cilik. Konon “mumpung laku”, ketenaran mereka diperas habis-habisan.
Proses pengembangan pribadi dan kompetensi menjadi nomer sekian, sementara manggung dan beraksi adalah kegiatan utama yang dilakukan nyaris 24 jam.
Faktanya, yang sukses setelah mereka dewasa jumlahnya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan.
Tim yunior kesebelasan nasional sering menjuarai pertandingan. Tapi, apa kabar dengan timnas senior?. Level ASEAN pun masih menggik-menthol.
Perenang muda Indonesia disegani lawan di tingkat global. Atlet yunior banyak yang jagoan di level Asia atau bahkan dunia. Bagaimana dengan atlit senior di level Iinternasional? Malu menceritakannya.
Juara olimpiade ilmu pengetahuan dan peneliti muda asal Indonesia sering disebut namanya, tapi hadiah Nobel dan penghargaan iptek tak kunjung kita sandang.
Penemuan karya peneliti senior pun tak banyak diberitakan media massa atau sosial.
Fenomena Farel bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja dan dalam ranah apa saja.
Sekaligus bisa menjelaskan di mana “kesalahan” dalam memperlakukan “Bintang Kejora”.
Suatu bintang (sebetulnya adalah planet Venus) yang bisa dipandang dari bumi, sebentar saja, di kala senja dan fajar.
Kalau saja di waktu yang singkat itu orang salah mempersepsi keberadaan “Bintang Kejora”, rasa kecewa lah yang muncul.
Jangan harap “Bintang Kejora” memancar sepanjang malam, dengan “memujanya” dari bumi.
Farel “dipaksa” terus-menerus manggung selama hampir sebulan. Hadiah dan uang banyak digenggamnya. Dia dimanja, dipuja dan dielu-elukan bak “Bintang Kejora”.
Tak disangka bila itu “membahayakannya”. Tak hanya fisiknya, tapi lebih lagi jiwanya.
Tubuhnya mungkin kuat. Tapi “Bintang Kejora” tak akan mampu menahan “gempuran budaya” dalam bentuk sanjungan dan aplaus yang gegap gempita.
Yang salah bukan Farel atau keluarganya. Masyarakat tertentu yang keliru menerapkan kata “penghargaan”.
Hidup Farel bukan hanya menyanyi bagus dan mendapatkan uang. Tak sesederhana itu. Jauh lebih luas, dalam dan kompleks. Farel memerlukan perlakuan yang pas, bukan berlebihan.
Bukan basi-basi kalau Pak Jokowi, tokoh pertama dan utama yang “membesarkan”, menitipkan pesan penting buat Farel.
“Nyanyi boleh, tapi jangan lupa belajar. Jangan lupa sekolah terus sampai setinggi-tingginya”.
Nasihat tak hanya untuk Farel, tapi lebih ditujukan bagi mereka yang sudah mengincar Farel sebagai obyek “tambang emas”.
Implisit, presiden berpesan agar jangan melihat Farel hari ini saja. Farel bukan hanya menyanyi dan menyanyi. Hidupnya masih lama, bekali dia sepanjang hidupnya.
“Give a man a fish and you feed him for a day; teach a man to fish and you feed him for a lifetime.” — Maimonides, (1135-1204, Teolog Yahudi (rabbi), dokter, dan filsuf di Al-Andalus, Spanyol dan Mesir yang lahir, hidup dan berkembang dalam rahim abad keemasan kebudayaan Islam pada Abad Pertengahan)
@pmsusbandono
15 September 2022