Bisikan

0
435 views
Membisiki by Lois Kam Heyman.

PENTAS di panggung sandiwara menampilkan dua pemeran: yang kelihatan dan yang tidak tampak. Pemeran kedua adalah juru bisik.

Di balik layar. Tugasnya, membisikkan kata-kata yang mesti diucapkan aktor di atas panggung. Juru bisik harus mengatakan teks yang benar agar lakon berjalan sesuai skenario.

Hidup ini panggung sandiwara. Mempunyai aktor yang tampak dan pembisik yang tak pernah tampil di permukaan. Walau tidak pernah tampil, pengaruh dan kuasanya amat besar. Hebatnya, nyaris tidak pernah bisa dituntut tanggungjawabnya.

Aktor yang melaksanakan bisikannya bisa saja dijerat hukum. Tapi pembisiknya? Bebas.

Dunia politik erat hubungannya dengan para juru bisik. Ada yang tulus-jujur dan tanpa pamrih serta berdasar data. Mereka bekerja profesional demi kesejahteraan sosial, nasional dan global. Banyak yang asal-asalan dan hanya cari makan; asal-bapak-senang (ABS), penuh kepentingan.

Kelompok kedua ini berbahaya. Mereka bisa mengorbankan apa saja, termasuk kebenaran. Politisi dan tokoh pemerintah yang tidak cerdas dan kurang bijak bisa menjadi bulan-bulanannya.

Setiap orang adalah pemain dalam pentas kehidupan. Entah dia orang yang amat penting, entah warga biasa-biasa saja. Semua mesti memainkan peranannya. Drama kehidupan ini panjang dan karenanya banyak pemain yang suka lupa teks dan skenarionya. Mereka membutuhkan juru bisik.

Siapa juru bisiknya? Bukan sosok dan bukan manusia, tetapi suara. Sebutannya, suara hati. Hati nurani. Barangsiapa mendengarkan secara cermat suara pembisik ini, niscaya tidak tersesat dan pasti selamat. Sayangnya, suara gaduh dari gadget dan jagad politik sungguh amat berisik. Nyaris menenggelamkan suara hati nurani. Masuk akal, banyak orang tersesat dan pikiran-bicara-tindakannya jahat.

Mungkin, bisikan yang menuntun kehidupan menuju kebahagiaan telah lama dilupakan. Padahal, Vincent Van Gogh bilang: “Conscience is a man’s compass.”

Malang, 4 Februari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here