RISIKO pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bisnis bisa berupa munculnya biaya konflik, tuntutan hukum, pencemaran reputasi, bahkan bisa menyebabkan terhentinya usaha. Sebaliknya, penghormatan HAM yang layak bisa berdampak positif pada peningkatan reputasi, investasi, kesetiaan karyawan dan konsumen, produktivitas, serta social license.
Hal ini mengemuka di forum pelatihan Bisnis dan HAM oleh gabungan OXFAM, Infid, IGCN, APINDO, dan ATC serta didukung oleh European Union.
Pelatihan dua hari ini (28-29 Maret 2018) ini ternyata menarik atensi banyak perusahaan yang dengan sukahati mengirim wakil-wakilnya. Isu HAM dalam bisnis merupakan topik yang hangat dan sensitif, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang kerap menjadi sasaran tembak lembaga advokasi HAM seperti perusahaan kelapa sawit dan pertambangan.
Social Progress Index Indonesia
Indonesia menempati urutan ke-79 dari 128 negara yang diteliti indeks kemajuan sosialnya (SPI). Pencapaian nilai SPI ditentukan tiga hal yaitu kebutuhan dasar manusia, kesejahteraan, dan peluang untuk maju yang diberikan.
Menurut lembaga Social Progress Imperative yang mengeluarkan ranking SPI, Indonesia cukup baik dalam pemenuhan kebutuhan dasar dan memperhatikan kesejahteraan manusia, tetapi kurang dalam memberikan peluang untuk maju.
Maka Indonesia ditempatkan pada level menengah ke bawah; di level ketiga terbawah dari enam level kategori yang dibuat lembaga ini.
Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih berada di bawah Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Bukan hanya tanggungjawab negara
Dalam pandangan lama, negara lebih dianggap sebagai pihak yang wajib menjamin HAM, sedangkan warga negara merupakan pemegang hak. Aktor penanggung jawab pelaksanaan HAM yang dulunya dibebankan kepada negara semata sekarang menjadi lebih luas; pihak swasta diharapkan juga ikut melibatkan diri.
Dalam panduan prinsip-prinsip PBB tentang Bisnis dan HAM yang tertuang dalam UNGP (United Nation Global Principles on Business and Human Rights) dijelaskan ada tiga pilar utama yang perlu berperan. Negara bertugas melindungi, bisnis atau korporasi menghormati, dan akses ke pemulihan termasuk di dalamnya LSM yang mengawasi dan mengadvokasi.
Dampak langsung dan tidak langsung
Menurut Semerdanta Pusaka dan Rully Sandra yang menjadi fasilisator latihan ini, semua perusahaan memberikan dampak terhadap HAM, tanpa memandang ukuran, lokasi, maupun jenis usahanya. Dampak itu bisa merupakan akibat langsung sebagai pelaku, bisa dampak yang terkait dengan operasional perusahaan, atau pun ikut berperan dalam dampak pelanggaran HAM.
Dampak langsung misalnya seperti manajemen limbah yang tidak sesuai aturan, mempekerjakan anak, diskriminasi terhadap karyawan. Dampak tidak langsung bisa akibat pelanggaran yang dilakukan oleh rantai pemasok atau penjualnya, seperti perusahaan outsource tenaga kebersihan kantor misalnya.
Konsekuensinya perlu diadakan beberapa hal dasar yang meliputi kebijakan dan komitmen manajemen, evaluasi dan penilaian atau audit, serta dibuat mekanisme perbaikan dan pemulihan.
Dalam pelatihan ini dibahas tentang isu-isu utama terkait bisnis dan HAM beserta contoh riil dan solusi yang memungkinkan dilakukan. Para peserta diajak untuk melakukan assesment terhadap lembaga masing-masing, mulai dari mengenali isu potensial yang mungkin muncul dari kegiatan operasional, siapa pihak-pihak terkait yang terkena, tantangan dan hambatan yang ada, upaya pencegahan dan pemulihan, mengenali sumber daya yang dibutuhkan, sampai merancang pernyataan kebijakan manajemen tentang HAM.
Stop blaming and shaming
Presiden IGCN YW Junardy memberi pesan singkat yang mengena pada saat menutup kegiatan ini di hari kedua. “Kepada LSM, saya mengajak stop blaming and shaming, kepada perusahaan let’s do knowing and showing.”