PERHIMPUNAN Dokter Ahli Bedah Umum Indonesia (IKABI) Cabang Riau, menyatakan penundaan pelayanan medis mulai Senin, 26 November 2018 sampai batas yang tidak ditentukan.
Hal ini terkait dengan ditahannya tiga dokter spesialis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Ahmad Pekanbaru, Riau yang sedang menghadapi proses hukum. Mereka adalah dr. Kuswan A. Pamungkas SpBP-RE, dr. Weli Zulfikar SpB(K)KL, dan Dr. drg. Masrial SpBM.
Apa yang perlu dicermati?
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Riau, dr. Zul Asdi SpB sangat menyayangkan penahanan tersebut, karena harusnya ketiga dokter tersebut diberikan penghargaan terkait telah menyediakan alat kesehatan untuk pasien, bukan malah kemudian digugat. Mereka sudah bersedia meminjamkan alat, kemudian tidak dibayar lagi, tambah pula digugat, harusnya mereka diberikan penghargaan.
Ketiga dokter tersebut merasa dizalimi dalam menghadapi sengketa hukum dengan manajemen RSUD beserta perangkat pengadaan barang habis pakai dan alat kesehatan. Ketiganya juga merasa tidak mampu menghadapi kasusnya secara hukum, sehingga menulis surat permohonan perlindungan kepada Pengurus IDI yang ditembuskan kepada Presiden Joko Widodo.
Secara pragmatis haruslah diakui bahwa kondisi riil saat ini dokter harus berorientasi bisnis dan medis secara seimbang. Pada saat memberi layanan medis kepada pasien, wajar saja kalau dokter juga mengembangkan keterampilannya berbisnis.
Pada layanan dokter dalam proses preventif (pencegahan), promotif (penyehatan) dan rehabilitatif (pemulihan) terselip begitu banyak transaksi yang dapat dibisniskan oleh dokter. Apalagi dalam proses kuratif (pengobatan), termasuk tindakan operasi medis, terdapat jauh lebih banyak komponen yang beromzet lebih besar, eksklusif, dan sangat dekat dengan keseharian profesi dokter.
Imhotep dari Mesir, Hippocrates dari Yunani, dan Galenus dari Roma, sebagai peletak dasar moralitas dan tradisi luhur kedokteran, menginsipirasi model keteladanan dokter sebagai tokoh profesional. Selain itu, suara batin atau nurani dokter sebagai manusia bio-psiko-sosio-kultural-spiritual, tentu saja akan membuat dokter memiliki kebaikan sosial, budaya, dan agama.
Untuk itu, dibentuklah norma etika praktik kedokteran yang dibakukan dalam KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) tahun 2012, yang berfungsi sebagai pedoman dokter dalam bersikap, bertindak dan berperilaku profesional. Selain itu, juga dijadikan tolok ukur tanggung jawab pelayanan profesi.
Para dokter di Indonesia seharusnya mempertimbangkan kaidah moral ataupun prinsip dasar bioetika, antara lain berbuat baik (benecence), tidak merugikan (non malecence), menghargai otonomi pasien (autonomy), dan berlaku adil (justice).
Dengan demikian, dokter seyogyanya memiliki keseluruhan kualitas dasariah manusia baik dan bijaksana, yaitu sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan dan ketuntasan kerja, integritas ilmiah dan sosial, serta kesejawatan dan cinta Indonesia.
Kasus hukum tiga orang dokter di RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru Riau sebenarnya juga terjadi di banyak RS di seluruh Indonesia, dalam hal ini adalah RS tidak dapat menyediakan alat kesehatan, khususnya untuk tindakan operasi medis oleh dokter. Lebih parah lagi, alat kesehatan tersebut sering kali tidak dianggarkan, dengan alasan yang kontroversial.
Padahal, banyak pasien yang wajib ditolong dan cukup sering dokter diminta tetap melakukan layanan operasi medis menggunakan alat pribadi dokter terlebih dulu, dengan perintah lisan atau tidak resmi, oleh manajemen RS. Dalam kasus di Riau ini, manajemen RS dan jajarannya pada awal kejadian tahun 2012-2013, tidak dijadikan tersangka oleh para penegak hukum.
Penggunaan alat kesehatan milik pribadi dokter di RS, mudah sekali menjebak menjadi pelanggaran Pasal 3 KODEKI.
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi, misalnya karena pertimbangan keuntungan finansial, karena pengguna alat kesehatan dan investornya adalah dokter yang sama.
Dalam kasus seperti di Riau, para dokter lain dan pengurus IDI setempat juga dapat berpotensi melanggar Pasal 9 KODEKI. Seorang dokter wajib bersikap jujur dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang melakukan penipuan atau penggelapan.
Para dokter dalam jajaran direksi RS juga dapat berpotensi melanggar Pasal 13 KODEKI. Setiap dokter dalam bekerjasama wajib saling menghormati. Pelaporan kepada pihak berwajib, apalagi dalam kasus pidana dan sengketa klaim keuangan menunjukkan adanya saling mencurigai dan tidak bekerjasama secara baik.
Dengan demikian juga tidak sesuai dengan Pasal 18 KODEKI, yang berbunyi setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Direksi RS seharusnya menyusun anggaran pembelian alat kesehatan, tentunya agar secara bertahap tidak lagi menggunakan alat pribadi dokter, untuk layanan medis di RS yang bersifat rutin. Kejadian yang berlangsung terus sejak tahun 2012 sampai sekarang, tentu disebabkan karena tidak ada koreksi dari kedua belah pihak.
Kasus hukum dokter di RSUD Arifin Ahmad Pekanbaru Riau, mengingatkan kita bahwa keterampilan bisnis medis dokter sebenarnya juga perlu dikembangkan, tetapi seharusnya tidak melanggar norma etika kedokteran dan hukum Indonesia.
Sudahkah kita bijak?