INI kisah dari desa sangat terpencil dan masih terbelakang darimana penulis berasal. Tentang Desa Kualan Hulu di wilayah pedalaman bernama Botong di Kabupaten Ketapang, Kalbar.
Terus-terang saja, ini merupakan deretan “keluh kesah” kami. Yang masih saja dirasakan oleh masyarakat pedalaman di Botong. Dari dulu hingga sekarang.
Karena, kondisinya masih tetap sama. Tak berubah. Untuk tak mau mengatakannya: masih saja tetap “terbelakang” dan tentu saja masuk kawasan sangat udik.
Sangat jauh dari pemaknaan kata “merdeka” yang sering kali didengungkan. Terutama ketika gema itu digaungkan sangat keras pada peringatan Hari Kemerdekaan atau saat kampanye jelang pemilu.
Salah satunya penyebab pokoknya adalah akses jalan menuju Botong itu bisa dikatakan hampir “tidak ada”. Yang namanya jalan ya jauh sekali pemaknaannya dari jalan-jalan di Pulau Jawa.
Di Yogyakarta di mana sekarang ini penulis tinggal untuk kuliah program studi agribisnis pertanian di Universitas Taman Siswa, tersedia di mana-mana ruas jalan-jalan besar. Sudah beraspal dan juga mulus.
Bahkan di jalanan kampung pun sudah beraspal atau dipasang konblok. Sudah amat jarang di Jawa ini sampai ada terlihat jalanan penuh lumpur, banyak kubangan air kotor di tengah jalan dan penuh bebatuan di ruas jalan.
Yang begitu itu amat jarang ada di wilayah pastoral Keuskupan Ketapang, Kalbar, yang mencangkup dua kabupaten: Ketapang dan Sukadana. Kalau pun ada jalan beraspal dan mulus, maka itu pun rentang panjangnya sangat pendek. Alias tiba-tiba “terputus” di sebuah lokasi. Tersambung dengan jalan offroad.
Di pedalaman Botong, semua akses jalan masuk kategori offroad. Banyak debu tebal berterbangan di kalam musim kemarau. Jalan berubah menjadi “sungai” kecil di kala musim hujan.
Kalau pun bisa dilalui, maka jalanan offroad itu penuh kubangan lumpur. Siap sewaktu-waktu mampu “melahap” pengemudi motor, kalau mereka tidak waspada terhadap kubangan-kubangan di ruas jalanan berisi air pekat penuh lumpur merah yang licin dan lekat.
Harapan pemuda Dayak asal pedalaman Botong
Jalan-jalan yang merupakan akses keluar-masuk Botong itu hingga sekarang masih merupakan jalan tanah.
Melihat kondisi riil yang masih eksis hingga saat ini, maka harapan penulis sebagai warga lokal Botong hanya satu: kapankah pemerintah lokal berprakarsa membangun akses jalan yang layak yang ketika musim hujan jalan akan licin, dan berlumpur?
Di sini saya berharap agar di tahun yang akan datang jalan dari desa Botong menuju kecamatan segera diperbaiki. Setidaknya ada proyek pengaspalan jalan agar masyarakat bisa berativitas lebih leluasa. Dengan mengandalkan jalur tranportasi lebih nyaman dan gampang. Tidak perlu lagi mengalami berbagai kendala dalam meniti rute perjalanan menuju kecamatan atau ke kota mana pun.
Berkat bantuan pastor Jesuit di pedalaman
Saya kini berstatus mahasiswa. Kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Kota Yogyakarta. Mengambil program studi agribisnis pertanian.
Saya bisa kuliah di Jawa ini tentu saja bukan karena keluarga saya mampu. Sama sekali tidak. Saya difasilitasi oleh Pastor Mardi Santosa SJ, imam Jesuit asal Jawa yang sejak beberapa tahun lalu memulai karya pastoral di wilayah pedalaman kami di Botong.
Inilah pula untuk pertama kalinya pastor-pastor Jesuit berkarya di paroki di wilayah pastoral Keuskupan Ketapang. Berkat jalinan pertemanan dengan para mantan Jesuit, Pastor Paroki kami – Romo Mardi Santosa SJ- akhirnya mengenalkan saya pada pengampu Yayasan Karsa Cipta Asa (YKCA) yang juga seorang mantan Jesuit.
Dari merekalah akhirnya saya bisa mendapatkan bantuan dana beasiswa untuk uang kuliah saya. Dibiayai sampai saya bisa lulus menyelesaikan S-1 program studi Agribisnis Pertanian.
Program Pintu Depan YKCA
Saya bisa berkuliah sekarang ini dengan hati lebih lapang. Emosi tidak perlu lagi dikuasai kecemasan. Juga tanpa ditandai kekhawatiran tidak mampu membayar uang kuliah. Karena sejak semester di tahun 2023 lalu, saya telah mendapat bantuan dana beasiswa.
Melalui Program Pintu Depan pemberian dari Yayasan Karsa Cipta Asa (YKCA).
Sebagai mahasiswa asal pedalaman Botong, Kabupaten Ketapang, Kalbar, izinkanlah saya berharap kepada pemerintah. Berilah kami akses untuk mendapatkan saluran energi listrik PLN. Kita ini sudah merdeka puluhan tahun, tapi listrik saja tidak pernah ada di wilayah pedesaan kami. Bahkan sampai sekarang pun, listrik PLN itu juga tidak ada.
Harapan dan impian “mewah” masyarakat Botong akan tersedianya listrik sudah sering kami suarakan. Tapi hingga sekarang, realisasinya masih nol. Begitu pula dengan jalan. Kasihlah kami akses jalan yang baik. Sehingga mobilitas orang dari satu lokasi ke lainnya bisa terjadi.
Jalan dan listrik itu kebutuhan mendasar bagi setiap orang. Agar kami bisa belajar, sekolah, dan melakukan kegiatan di malam hari. Ketika hari sudah menjadi gelap gulita di malam hari, mau tak mau kami hanya bisa mengandalkan tenaga genset. Itu pun konsumi BBM juga tinggi.
Perubahan standar hidup yang semakin manusiawi dan layak di Botong itu menjadi harapan kami semua di lapangan. Dengan adanya jalan dan listrik, maka kami pun bisa menikmati akses internet. Ini membantu kaum muda belajar secara daring akan banyak hal di layar virtual.
Jangan sampai, masyarakat Botong jadi ketinggalan dalam banyak hal, hanya lantaran tidak tersedia jalan, penerangan, dan internet.
Maka, saya berharap pemerintah bisa merespon kebutuhan masyarakat pedalaman di seluruh wilayah Kabupaten Ketapang. Tanpa kecuali juga masyarakat Botong di mana saya berasal.
Terimakasih YKCA dan Words2Share
Pada kesempatan yang baik ini, saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada para donatur. Berkat mereka dan melalui Program Pintu Depan, YKCA bisa memberi manfaat berlimpah kepada saya.
Karena YKCA melalui Program Pintu Depan itu telah memfasilitasi sejumlah kaum muda pedalaman di wilayah Kabupaten Ketapang untuk bisa kuliah. Salah satu penerima manfaat itu adalah saya, pemuda Dayak dari Dusun Botong, Kabupaten Ketapang, Kalbar.
Baca juga: Kuliah di UKDC Surabaya, Suster Biarawati OSA Junjung Core Values (3)