Bukan untuk ijazah
Perjalanan panggilan menjadi Bruder MTB pun semakin mantap. Si humoris kelahiran 29 Juli 1937 ini mulai bergabung masuk MTB di Belanda pada tahun1955 ketika waktu itu masih tengah mengalani tahun-tahun sekolah di kelas I SPG.
Beberapa tahun berikutnya, program pendidikan di sekolah guru di Belanda itu lalu berubah menjadi Sekolah Tehnik Mesin. Di sinilah ia mulai jatuh cinta dengan ilmu bangunan, arsitektur hingga soal perbengkelan. Bakat yang dimiliki tidak sia-sia karena setiap bangunan yang dirancang olah karya tanganya sangat kuat dan kokoh. Meskipun selalu kesan mahal dan rumit.
Kongregasi Bruder Maria tak Bernoda (MTB), Inilah Wajah Pelayanan Misionernya (1)
Bagi Alexandro, belajar itu tidak cukup kalau hanya berhasil mengantongi ijazah semata. Itu tidak terlalu penting baginya. Hal demikian hanya sebagai syarat legal dan administrasi bila lamar dalam sebuah pekerjaaan. Bagi dia yang utama adalah bagaimana sekolah kehidupan itu nampak pada kerja keras dan disiplin di lapangan.
Prinsip inilah membuat dia kadang sakit kalau satu hari tidak bekerja dengan serius dan jujur.
Karya perdana
Setelah merampungkan pendidikan sekolah tehnik, Br. Alexandro langsung dipercaya menangani asrama anak SD. Bersama bruder senior bernama Br. Markus yang waktu itu menjadi pemimpin Komunitas Sint Mary Huijbergen, Br. Alex lalu terlibat ikut mendampingi anak-anak putera berjumlah 40 orang selama kurun waktu empat tahun itu.
Br. Alex sempat mengalami kebingungan, karena waktu itu menjadi pengalaman pertama baginya untu mendampingi anak-anak SD. Rasanya waktu itu, kata dia, ini sepertinya tidak cocok dengan ilmu teknik mesin yang dia dapat selama di sekolah dulu.
Namun, hari-hari berikutnya, ia mulai menikmati karya tersebut dengan penuh gembira dan syukur.
Di luar karya utamanya di sekolah, Br. Alexandro juga terlibat ikut mendampingi OMK selama empat tahun di daerah Schiphol, kawasan dekat Bandara Internasional di Amsterdam. Di situ, ia mengajar tehnik bermain bola kaki dan keterampilan tangan yaitu membuat aksesoris untuk anak anak muda sendiri saat itu.
Zaman itu, kenang Br. Alex, anak-anak muda Belanda sangat senang dengan kegiatan yang dilayaninya. Ketika ditanyai tentang sejarah perkembangan OMK di Belanda, ia langsung menjawabnya dengan nada tinggi. “Sekarang, mereka tidak mengenal ‘Gereja Katolik’, hidup penuh kebebasan dan tunggu ada orang menikah atau meninggal, baru mereka mau datang masuk gereja.”
Menurut Bruder Alexandro, pertanyaan itu dirasa sangat ‘menohok’ karena kondisinya saat ini sudah tidak ‘nyambung’ dengan pengalaman dia waktu muda di Negeri Belanda.
Tebar pesona di Singkawang
Br. Alexandro begitu senang, ketika mendapat surat tugas dari pimpinan Kongregasi bahwa ia akan menjadi misionaris di Indonesia, tepatnya di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Dia tidak punya bayangan apa pun seperti apa situasi di Singkawang saat itu.
Pada tahun 1964, ia menginjakkan kaki pertama kali di kota yang terkenal dengan Kota Naga dengan seribu kelenteng. Di tempat inilah, lagi-lagi dia dipercaya membina anak asrama putera sejumlah 80 anak, baik dari SD maupun SMP.
Br. Alexandro MTB: Tetap Perkasa di Usia Tua, Pendidikan Bukan untuk Ijazah (1)
Awal perjumpaan dengan mereka sempat membuat Br. Alexandro bingung, karena dia tidak paham makna komunikasi dengan anak-anak binaanya. Mereka bicara dalam bahasa lokal yakni Hokkian (kek). Belum lagi waktu itu, kosa kata bahasa Indonesia yang diampu Br. Alex juga belum memadai.
Namun, bruder yang berasal dari daerah hutan hijau ini tidak mau patah semangat hanya karena kendala bahasa. Tiap hari ia berjuang dan belajar bersama anak-anak di asrama dengan segala karakternya. Akhirnya ia mampu juga menghasilkan mereka menjadi guru, biarawan, dan dokter.
“Ia keras namun lucu. Ia selalu berlaku tertib, namun tidak diskriminasi. Pokoknya paling hebatlah dalam mendidik kami waktu itu,” demikian ungkap alumnus putera kelahiran Sambas yang saat ini menjadi pengusaha di Jakarta.
Karena sukses membina anak-anak di Singkawang, maka pada tahun 1975 Bruder Alexandro mulai diminta membantu menjalani program pendidikan asrama St. Yohanes don Bosco di Sanggau. Dan tugas ini dia lakukan selama empat tahun.
Bruder Alex, begitu ia biasa disapa akrab di biara, sudah tinggal di Indonesia selama 53 tahun dan sudah 16 tahun berkecimpung di dunia pembinaan anak-anak asrama.
“Sekarang ini, saya tidak tahu anak-anak asrama itu ada di mana saja. Tetapi, kalauImlek, mereka selalu mengunjungi saya dan ingin bernostalgia dengan aneka kenangan selama di asrama tempo dulu,” ungkap pemuda perkasa dari Haaren ini dengan nada ceria.
Membangun konstruksi bangunan
Bruder Alex ini dikenal sangat piawai dan lincah dalam membangun gedung persekolahan MTB di Kalbar, baik tingkat Paud sampai SMA. Buktinya ada, karena hingga sekarang bangunan-bangunan itu tetap saja kokoh dan perkasa sebagaimana “sang arsitek” bruder bule itu juga masih tampak perkasa di usianya yang sudah tidak muda lagi.
Pengalaman berkarya dalam urusan bangunan bisa dibilang “hebat dan teliti”, ketika Br. Alex itu harus mempraktikkan keahliannya mengukur kekuatan bangunan di daerah tropis.
“Kadang saya dibuat gelisah dan harus bergumul sendiri, karena banyak orang yang tidak mau percaya dengan hasi rancangan saya,” kenangnya.
Tetapi begitulah. Demi kebaikan bersama, ucapnya kemudian, “Saya kadang tidak mempedulikan lagi komentar orang yang tidak mau mendukung ide-ide saya tentang hasil merancang konstruksi bangunan”.
Bruder Alexandro mengaku kadang ia kesal hati setiap menelisik mutu konstruksi aneka bangunan saat ini yang terkadang memang terkesan kokoh, namun sejatinya tidak kuat menurut analisis pengamatannya berdasarkan pengalamannya.
60 Th Hidup Membiara Br. Alex MTB, 25 Th Bruder Charles MTB dari Keluarga Muslim
Demi orang sederhana
Ketika menyinggung soal pelayanan orang kecil, Br. Alexandro berharap agar visi misi karya MTB yang diutus untuk selalu melayani orang kecil (miskin) itu tetap bisa terus dipertahankan.
Menurut dia, dari dulu bruder misionaris MTB itu selalu diutus untuk berkarya bagi mereka yang tidak berdaya dan hendaknya para bruder MTB itu mampu memberdayakan mereka agar menikmati karya Allah dalam hidup mereka.
Bruder Alex ini pernah berkarya di Kualadua, paroki kecil di garis perbatasan Serawak di Malaysia Timur dengan Kalbar.
Ia pun berkisah, di Kuala Dua saat itu dia dengan sangat cepat bisa menyesuaikan diri dengan cukup puas makan sayur pakis dan rebung. Sayuran lalu dicampur untuk bisa “berkolaborasi” dengan roti buatannya.
Alexandro yang banyak kenalan di kawasan pendalaman ini sudah biasa berjalan kaki di hutan pada zamannya. Ia tidak pernah mengeluh.
Ia bahkan ingin membuat satu buku historis tentang karyanya di Kalimantan Barat.
164 Tahun Kongregasi MTB dan Setahun Dewan Pimpinan Umum di Indonesia
Pria yang sudah purna karya ini lahir dari keluarga besar berjumlah 13 orang. Namun dialah yang paling beruntung, begitu Bruder Alex ini selalu berbangga hati berkisah, karena bisa berkarya di Indonesia.
Tentang panggilan hidupnya sebagai religius Bruder MTB, kata dia, yang pasti adalah dia ingin tetap setia di jalur panggilan.
Bagi Br. Alex, panggilan menjadi religius bruder MTB akan selalu menjadi kekuatan baginya dalam mengikuti Yesus untuk selama-lamanya. ”Dan itu bisa lestari, berkat dukungan keluarga dan sesama yang pernah dia layani dalam karya pendidikan asrama,” tegasnya. (Selesai)
Museum MTB Singkawang, Saksi Sejarah Misi Para Bruder Maria Tak Bernoda di Kalbar