[media-credit name=”AsiaNews Italia” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]TAHTA Suci kali ini geram bukan kepalang. Laporan Bernardo Cervellera dari AsiaNews yang sampai di tangan Sesawi.Net hari Sabtu (16/7) malam mengejutkan, karena Monsinyur Joseph Huang Bingzhang yang baru beberapa hari lalu ditahbiskan menjadi Uskup Keuskupan Shantou di Guangzhou, China, telah resmi dicabut mandatnya sebagai imam dan uskup alias terkena hukuman ekskomunikasi.
Itu berarti, hak-haknya sebagai imam dan pejabat gereja lokal dengan sendirinya “digantung” alias tidak punya kewenangan lagii untuk memimpin perayaan ekaristi, memimpin umat Katolik di wilayah diosis Shantou. Pendek kata, berhentilah “status imamat” Mgr. Joseph Huang Bingzhang sebagai pastor dan pejabat gereja sampai saatnya nanti dinyatakan clear dan hak-haknya sebagai imam (pastor) alias fungsi dan status imamatnya kembali “dipulihkan” oleh Tahta Suci.
Bagaimana dengan jabatan uskupnya? Sudah barang tentu, tetap tidak bisa dijalankan karena hukuman ekskomunikasi ini biasanya jatuh kepada seseorang yang dianggap mbalelo dan tidak taat terhadap Tahta Suci.
Tidak layak menjadi uskup
Mengapa tiba-tiba saja Tahta Suci begitu geram dengan Mgr. Bingzhang? Ketika Sesawi.Net mengontak AsiaNews di Roma, Cervellera menerangkan, Vatikan terpaksa mengeluarkan hukuman yang sangat tidak populer ini lantaran Joseph Huang Bingzhang telah membangkang dan tidak mau tunduk (loyal dan taat) terhadap Tahta Suci yang merupakan otoritas tertinggi Gereja Katolik Universal.
Dirunut jauh ke belakang, ternyata Vatikan memandang Romo Joseph Huang Bingzhang ini juga tidak cukup “layak” untuk ditahbiskan menjadi seorang uskup yang nota bene dan secara ex officio juga menjadi pejabat Gereja Katolik di wilayah tertentu.
Tradisi Gereja Katolik Roma sejak dulu sangat tegas dan jelas dalam menerapkan prosedur tahbisan seorang frater menjadi calon imam (pastor) dan apalagi bila seorang romo akan menjadi calon uskup. Prinsip umum yang dipegang adalah apakah yang bersangkutan itu cukup “layak” atau tidak, baik secara moral, integritas pribadi, tanggungjawab moral, kedewasaan pribadi dan iman, dan masih banyak lagi. Apakah ada halangan-halangan tertentu hingga yang bersangkutan dianggap tidak pantas mengambil “profesi” imamat?
Pemegang otoritas tertinggi yang bisa menyatakan seorang frater dianggap layak dan siap untuk ditahbiskan menjadi imam (pastor) ada tangan pemimpin ordo/kongregasi religius (provinsial), setelah pihaknya menerima rekomendasi dari sejumlah kolega frater/imam, umat katolik, dan superior setempat (rektor rumah/biara). Kalau semua sudah dianggap clear, barulah romo provinsial akan berani mengajukan “lamaran tahbisan” ini kepada uskup agar berkenan menahbisan frater diakon ini menjadi seorang imam (pastor).
Prosedur sama juga berlaku bagi para frater calon imam di sebuah wilayah diosis tertentu. Rektor seminari tinggi memegang otoritas penuh –dengan mendapat rekomendasi dari para pembimbing dan kolega romo di seminari—untuk menyatakan apakah seseorang dianggap layak ditahbiskan menjadi imam atau tidak. Baru kemudian, romo rektor seminari tinggi mengajukan “lamaran tahbisan” tersebut kepada uskup diosis.
Nah, otoritas dan hak menahbiskan seorang uskup di sebuah diosis tertentu sepenuhnya menjadi milik Tahta Suci. Vatikan tentu saja juga akan mendapatkan banyak masukan dari Nunciatur alias Dubes Vatikan di negara calon uskup, termasuk juga dari sejumlah sumber terpercaya lainnya, semisal, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) kalau sang calon uskup itu ada di Indonesia.
Kasus Mgr. Bingzhang
Mari kita kembali ke kasus ekskomunikasi yang dijatuhkan Vatikan untuk Mgr. Joseph Huang Bingzhang. Laporan AsiaNews menyebutkan dengan jelas, mayoritas umat dan para imam di Shantou pun sudah menyatakan “tidak sreg” dengan Romo Joseph Huang Bingzhang yang mengambil sikap mbalelo terhadap “perintah” Tahta Suci.
Bahkan sejumlah uskup di wilayah Guangzhou (Guangdong) China pun sudah menyampaikan nota keberatan terhadap Romo Joseph Huang Bingzhang yang sejak awal sudah didapuk pemerintah China untuk memimpin Keuskupan Shantou. Penunjukan dan tahbisan Romo Bingzhang menjadi Uskup Shantou adalah ilegal alias tidak sah menurut Tata Cara dan Hukum Kanonik Gereja dimana peran penting Vatikan –otoritas tertinggi pemegang mandat boleh menahbisan imam menjadi uskup— sama sekali telah diabaikan.
Singkat kata, Monsinyur Bingzhang menjadi uskup Keuskupan Shantou tanpa “restu” dan “mandat resmi” dari Tahta Suci. Akibatnya, tahbisannya ikut menjadi “mandul” karena dia tidak punya hak untuk mengelola sebuah wilayah gerejani. Fungsi imamatnya pun segera dinon-aktifkan karena dia sudah tidak punya hak lagi memimpin misa dan memimpin umat.
Romo Joseph Huang Bingzhang ditahbiskan menjadi Uskup Shantou pada hari Kamis, tanggal 14 Juli 2011 dimana delapan uskup pro Roma telah dipaksa Pemerintah Beijing untuk ambil bagian dalam acara tahbisan uskup ilegal ini.
Roma sudah berkali-kali mengingatkan Romo Bingzhang agar tidak mau menerima “tawaran” pemerintah China yang mendesak dia agar bersedia diangkat menjadi uskup. Namun, perintah Tahta Suci tersebut tidak pernah dia gubris hingga akhirnya nekad maju ke altar menerima tahbisan imamat uskup.
Atas “kebebalan” Romo Joseph Huang Bingzhang ini, Tahta Suci menerbitkan surat suspensi dan menjatuhkan hukuman ekskomunikasi atas dasar Hukum Kanonik Nomor 1382.
Mengapa Vatikan bersikukuh tak mau memberikan rekomendasi atas rencana penahbisan Romo Bingzhang menjadi Uskup Shantou? Jawaban Vatikan sebagaimana diceritakan AsiaNews kepada Sesawi.Net Sabtu malam, sangat jelas: Keuskupan Shantou sudah dan masih mempunyai seorang uskup yang sah.
Mathias Hariyadi, penulis dan anggota Redaksi Sesawi.Net
Sumber: AsiaNews (www.asianews.it)