DI tanggal paling buncit di akhir bulan Januari 2020, Inggris (United Kingdom, UK) resmi keluar dari keanggotaannya dalam Uni Eropa. Kita mengenalnya dengan istilah Brexit.
Keputusan UK meninggalkan Uni Eropa atau Brexit ini telah membuat suhu politik di UK memanas sejak 3,5 tahun terakhir kini.
Kalau mau disebut “korban”, maka yang terkena dampak politik proses menuju Brexit adalah (mantan) PM Teresa May. Berikutnya, penggantinya PM Inggris Boris Johnson mesti beberapa kali membujuk Uni Eropa agar tenggat waktunya bisa dimundurkan.
Semalam menjadi hari bersejarah bagi UK. Setidaknya harapan bagi 17,4 juta orang Inggris yang pro Brexit kini sudah mulai terwujudkan. UK akhirnya resmi “cabut” diri dari Uni Eropa.
Sejarah Uni Eropa
Sebelum malam beralih menjadi dinihari di awal bulan Februari 2020, UK resmi “berpamitan” dengan Uni Eropa, setelah selama 47 tahun terakhir ini menjadi anggotanya.
UK resmi bergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (European Economic Community, EEC) per tanggal 1 Januari 1973. Baru dua tahun kemudian sudah muncul desakan agar UK sebaiknya cabut saja dari EEC. Namun hasil referendum tahun 1975 memetakan mayoritas masyarakat UK masih ingin tinggal dalam EEC.
UK di bawah kepemimpinan PM David Cameron dari Partai Konservatif menggelar referendum di bulan Juni 2006 dengan hasil sama. Mayoritas masih menghendaki UK ada dalam EEC.
Sekali waktu, di dalam Partai Konservatifnya sendiri, popularitas Cameron jatuh, setelah dia kalah “suara” tipis dengan Boris Johnson dalam jajak pendapat apakah UK perlu keluar dari Uni Eropa atau tidak.
Drama “Brexit”
Mundur dari Downing Street 10 –kediaman resmi PM Inggris— David Cameron digantikan oleh PM Teresa May. Namun sepanjang 3,5 tahun terakhir ini, May telah gagal meyakinkan Uni Eropa dan Parlemen Inggris akan konsepnya tentang Brexit hingga kemudian posisinya diganti oleh Boris Johnson yang melejit berkat semboyannya: “Get Brexit done.”
Awal drama politik Brexit terjadi 3,5 tahn lalu. Disebut “drama” politik, karena isu Brexit telah “memecah belah” masyarakat Inggris dalam dua posisi saling berseberangan. Tidak hanya di masyarakat umum, melainkan juga di parlemen.
Itu terjadi setelah hasil referendum merekomendasikan UK agar segera “cabut” dari keanggotaannya dalam Uni Eropa. Maka, Brexit pun lantas menjadi isu bola panas dalam sejarah politik dalam negeri Inggris.
Dalam sekejap, terjadi gejolak politik di dalam negeri UK menyangkut pro-kontra keluar dari Uni Eropa.
Jumat (31/1/2020) semalam, jelang pergantian hari menjadi Sabtu (1/2/2020) menjadi perayaan besar-besaran bagi para pendukung Brexit. Tapi protes juga digelar oleh mereka yang anti dengan keputusan hasil referendum 3,5 tahun lalu. Mereka berharap agar jangan sampai Brexit menjadi kenyataan.
PM Inggris Boris Johnson yang dikenal sangat pro Brexit berjanji akan membawa UK lebih maju lagi di masa mendatang.
Ia mengakui banyak orang menaruh harapan besar akan “masa depan” UK yang lebih cerah. Namun, banyak pula yang justru mencemaskan bahwa Brexit hanya akan mendatangkan banyak kesulitan bagi warga UK.
Johnson menyatakan bahwa –selain banyak hal yang baik dan berguna (bagi UK) selama ini, namun tampaknya keanggotan UK dalam Uni Eropa tidak lagi mencerminkan kebutuhan Inggris.
“Ini bukan akhir, melainkan awal untuk pembaruan nasional dan perubahan,” ungkap PM Inggris Boris Johnson sebagaimana dikutip oleh media massa internasional.
Pasca Brexit, apa yang akan “terjadi” di UK
Bulan-bulan mendatang –meski sudah resmi keluar dari Uni Eropa –namun Inggris masih diberi kesempatan untuk melakukan “penyesuaian diri” dalam tenggang waktu transisi. Setidaknya selama 11 bulan mendatang sampai tanggal 31 Desember 2020.
Dengan demikian, selama kurun waktu 11 bulan mendatang uini, UK (Inggris Raya) masih akan menerapkan “Hukum Uni Eropa” di seluruh wilayahnya yakni England, Wales, Scotland, dan North Ireland.
Baik warga negara UK maupun Uni Eropa masih bebas “berkeliaran” pergi keluar-masuk ke wilayah Inggris dari Uni Eropa dan sebaliknya dari wilayah UK ke semua negara anggota Uni Eropa.
Namun begitu apa yang disebut “Withdrawal Agreement” disepakati bersama antara UK dan Uni Eropa, maka “bebas pergi” ke mana saja menjadi tidak berlaku lagi.
Masih ada satu hal lagi yang mesti diperhatikan warga UK. Sampai tanggal 30 Juni 2021 atau 31 Desember 2020 –itu pun kalau kesepakatan bersama tak berhasil dicapai antara UK dan Uni Eropa—maka seluruh warga negara UK yang ingin masuk ke wilayah Uni Eropa harus mengajukan aplikasi ke EU Settlement Scheme.
Skema perjanjian perdagangan antara kedua belah pihak masih akan didiskusikan lebih lanjut. Harus diingat bahwa Uni Eropa selama 40 tahun terakhir ini praktis menjadi mitra dagang bagi segenap produk industri yang dibesut oleh UK.
Sebelum maju dalam perundingan, masing-masing pihak harus terlebih dahulu merumuskan tujuan dan capaian yang mereka inginkan dalam skema perundingan ini. Tampaknya, demikian Kepala Urusan Brexit UK Michel Barnier, gagasan menuju “kesepakatan bersama” ini takkan berhasil rampung di akhir bulan Februari 2020.
PM Inggris Boris Johnson menghendaki agar kesepakatan model “Uni Eropa-Kanada” yang biasa disebut “CETA” bisa diterapkan di sini. 98% tariff untuk semua jenis barang yang diperdagangan dibebaskan. Namun harap diingat bahwa “CETA” ini masih butuh setidaknya tujuh tahun untuk bisa dilaksanakan.
Hak-hak kerja warga negara Inggris di Uni Eropa masih menjadi ganjalan besar.
PM Teresa May waktu itu berjanji –walau nantinya Brexit akan terjadi sungguhan—namun hak-hak kerja warga negara Inggris yang hidup di wilayah negara-negara Uni Eropa harus dipertahankan tetap bisa berlaku.
Tentang hal ini, Uni Eropa tampaknya “keberatan” dengan gagasan tersebut. Maka itu berarti, “PR” PM Boris Johnson untuk menyelesaikan hal ini masih panjang.
Uni Eropa menghendaki diterapkannya “Hukum Uni Eropa” guna menyelesaikan perselisihan di antara kedua belah pihak; utamanya menyangkut kepentingan berbeda.
Namun, setelah terjadi Brexit, UK berharap agar European Court of Justice (ECJ) tidak berlaku lagi. Setidaknya ini menurut analisis Alan Winters, professor ekonomi University of Sussex. “Soal ini butuh solusi khusus dan karenanya butuh waktu panjang untuk bisa menyelesaikannya,” paparnya.
Kalau diskusi untuk menemukan solusi ini gagal, maka dengan Brexit-nya UK akan tidak punya “pegangan” alias semua ketetapan perjanjian sebelumnya akan tetap berlaku.
Aturan keimigrasian
Tidak akan terjadi banyak perubahan sepanjang kurun waktu selama masa transisi 11 bulan mendatang ini.
Pemegang paspor UK masih boleh dan bebas berpergian ke mana saja di seluruh wilayah negara-negara anggota Uni Eropa tanpa perlu melakukan permohonan mendapatkan visa.
Hal menarik terjadi di garis perbatasan Uni Eropa di negara Republik Irlandia dan wilayah UK di Irlandia Utara.
Di sepanjang garis perbatasan kedua negara ini (Republic of Irlandia “milik” Uni Eropa dan North Irlandia “millik” Inggris), UK and Uni Eropa akan menerapkan kerjasamanya.
Semua warga dari kedua wilayah negara berbeda ini masih bebas keluar-masuk tanpa visa sepanjang masa peralihan 11 bulan mendatang.
PS: Diolah dari BBC International, Al Jazeera, dan CNN.