KALAU saja setiap pengacara punya hati nurani bersih sejernih pikiran dan suara hati James B. Donovan (Tom Hanks), maka para tersangka –apa pun kesalahannya– akan tetap punya masa depan di mata hukum dan masyarakat.
Jadi, ini bukan lagi pertama-tama soal menang-kalah dalam perkara hukum di meja pengadilan. Melainkan, lebih-lebih bagaimana pengacara itu bisa membuktikan, sang terdakwa itu benar-benar memang layak dihukum sesuai tingkat kesalahannya berdasarkan bukti dan proses prosedural hukum. Atau malah sebaliknya, bagaimana tersangka yang didakwa melakukan kejahatan itu bisa diganjar bebas oleh pengadilan, karena memang terbukti tidak bersalah atau tidak pernah melakukan kejahatan sebagaimana didakwakan oleh jaksa penuntut umum.
Problem moral untuk menemukan titik garis keseimbangan keadilan itulah yang diperjuangkan Donovan. Firma kantor hukumnya resmi memintanya menjadi penasehat hukum dan pembela untuk Rudolf Abel (Mark Rylance), seorang mata-mata agen KGB yang beroperasi di daratan AS.
Di ujung cerita, Rudolf Abel yang hobi melukis itu dinyatakan terbukti bersalah, karena telah melakukan kegiatan spionase demi kepentingan Uni Soviet (USSR). Untuk kejahatan memata-matai keamanan AS ini, dia diganjar hukuman penjara 30 tahun. Itu jauh lebih baik dan membuat Donovan bisa bernafas lebih lega daripada, misalnya, harus melihat Abel mesti merenggang nyawa mati di atas kursi listik atau tiang gantungan seperti tuntutan jaksa dan harapan mayoritas masyarakat Amerika.
Kalkulasi politik
Keringanan hukuman atas Abel terjadi berkat kepandaian Donovan berkalkulasi dan itulah kepiawaiannya sebagai pengacara spesialis perselisihan perdata di bidang klaim asuransi. Tentu dalam hal ini, pengaruh kalkulasi tersebut dianggap masuk akal oleh Hakim Earl Warren (Edward James Hyand) yang termakan oleh ‘provokasi’ Donovan. Yakni, Mahkamah Agung AS harus tetap membiarkan Abel hidup untuk meningkatkan posisi tawar Washington, manakala ada agen CIA jatuh tertangkap oleh KGB karena kegiatan mata-mata.
Terbukti, kalkulasi politik Donovan memang jitu. Francis Gary Powers (Austin Stowell), pilot pesawat Angkatan Udara AS, tertangkap. Ia menerima siksaan di penjara Uni Soviet, setelah pesawat intainya U-2 berhasil ditembak jatuh oleh rudal, saat melakukan kegiatan spionase memotret kawasan terlarang di atas langit Negeri Beruang Merah.
Persis di sinilah kecerdikan Donovan melakukan kalkulasi politik teruji berhasil. Ia didapuk CIA melakukan proses pertukaran tahanan politik antara Rudolf Abel, mata-mata KGB, dan Powers, pilot Angkatan Udara AS yang bekerja untuk CIA, hingga di ujung cerita mulai menemukan titik terang.
Inilah hebatnya film Bridge of Spies. Hanya ada satu frame kejadian rentetan tembakan yang menewaskan sejumlah ‘orang nekat’ yang hendak menyeberangi Tembok Berlin. Maka, selebihnya hanyalah rentetan dialog panjang yang sarat dengan filosofi kehidupan, tata krama politik dan dunia telik sandi yang sensitif era tahun 1957 dimana Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur dengan ancaman perang nuklir terasa begitu kental dan nyata.
Moralitas politik
Sudah telanjur ngetop di Indonesia, bahwa politik itu kotor karena banyak intrik, isu miring, pembusukan nama baik, dan ambisi meraih untung dan posisi sosial sebagai orang top di jagad sosial kemasyarakatan. Namun, dalam Bridge of Spies, rasanya kita mendapatkan celah bagus sebagai pembelajaran bersama. Secara politik dan militer, Blok Barat dan Blok Timur menarik garis tegas untuk bermusuhan dan saling berlomba memajukan alat-alat perang untuk memenangkan ancaman Perang Nuklir.
Inilah ekses geopolitik internasional yang membelah masyarakat dunia pasca Perang Dunia II, ketika semua sekutu AS dan Eropa Barat punya label baru sebagai Blok Barat, sementara sekutu Uni Soviet (USSR) dan Eropa Timur yang berhaluan komunis mempunyai label baru sebagai Blok Timur. Namun dalam perkara tawar-menawar dan tukar-menukar tawanan politik ini, Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Uni Soviet dan Jerman Timur) bisa saling bekerjasama untuk sebuah projek bersama yang saling menguntungkan.
USSR atau Uni Soviet sangat berkepentingan bisa mengorek habis tentang sistem apa yang berhasil dipakai AU Amerika hingga berhasil menciptakan pesawat intai yang mampu memfoto di atas ketinggian jelajah di atas 70 ribu kaki. Amerika sangat berkepentingan menahan Abel guna mengungkap apa-apa saja yang sudah dikumpulkan Abel selama diam-diam menjadi agen KGB di Amerika.
Baik Uni Soviet maupun Amerika juga sama-sama berkepentingan bisa membawa pulang Abel dan Powers dalam keadaan sehat, selamat dan hidup agar bisa mengorek habis informasi yang berhasil mereka kumpulkan selama melakukan kegiatan spionase. Maka terjadilah kesepakatan tersebut: proses tukar-menukar akan terjadi di lorong jembatan yang memisahkan Berlin Barat dan Berlin Timur.
Di tengah negosiasi alot tersebut, tiba-tiba saja muncul sosok Frederic Pryor, mahasiswa Yale University yang terjebak masuk ke Berlin Timur dan tiba-tiba sudah tidak bisa masuk ke Berlin Barat karena Tembok Berlin sudah terlanjur dibangun kokoh. Dalam sekejap, Pryor menjadi tahanan Jerman Timur.
Di mata pengacara Donovan yang punya kalkulasi politik, proses tukar-menukar tawanan politik tidak boleh hanya berhenti 1-1, melainkan harus 2-1. AS harus bisa membawa pulang baik Powers dan Pryor sebagai imbalan atas kepulangan Rudolf Abel ke Uni Soviet.
Semula, gagasan ini ditolak tidak hanya oleh CIA, KGB, dan Jerman Timur melalui pengacara Wolfgang Vogel (Sebastian Koch). Namun, di akhir cerita menjadi lebih jelas bahwa akhirnya repatriasi Abel seimbang dengan dua tawanan AS yakni Powers yang ditahan di Mokswa dan Pyror di Berlin Timur agar keduanya boleh pulang kembali dengan selamat ke AS.
Lalu, apa yang menarik dari film drama dengan latar belakang spionase era tahun 1960-an dengan durasi panjang (140 menit)? Tentu ini bukan hanya karena Bridges of Spies ini digarap berdasarkan kisah nyata sejarah pribadi Donovan yang juga didapuk menjadi tim juru runding untuk Krisis Teluk Babi antara AS vs Kuba era Presiden John F. Kennedy. Lebih dari dari itu, sutradara papan atas Steven Spielberg yang membesut film ini juga menghadirkan bintang-bintang berkelas.
Tom Hanks adalah jagoan nomor satu. Namun, penampilan super kalem dari Abel yang selalu menantang keraguan lawan bicaranya dengan omongan singkat “would it help?” juga memiliki titik kharismanya sendiri. Sepanjang nonton film ini, saya sangat terpukau oleh gaya Abel yang super pede-nya dengan sangat tenang mampu menghadapi segala kemungkinan: bisa dihukum mati atau harus melewatkan sejarah hidupnya di balik jeruji besi.
Tom Hanks luar biasa dengan gayanya yang mengobarkan semangat patriotik sekaligus mengedepankan nilai moralitas berdasarkan hati nurani sebagai seorang pengacara. Meski dengan begitu, dia harus menjadi bulan-bulanan dimusuhi seluruh rakyat Amerika karena dianggap membela seorang pengkhianat bernama Abel. Begitu pula, dia juga menunjukkan reaksi tak berlebihan, ketika namanya muncul di media massa internasional sebagai tokoh penting di balik misi pertukaran tawanan politik antara Abel dengan Powers dan Pryor.
Itulah pelajaran penting yang bisa dipetik dari sosok pengacara bernama Donovan ini. Tidak seperti para pengacara Indonesia yang suka pamer kemewahan dan suka omong keras sekalipun sering tak bermutu, melainkan –seperti yang dilakoni Donovan– menjadi pengacara adalah tugas mulia. Pengacara seperti dilakoni Donovan harus mampu menunjukkan bahwa timbangan keadilan itu benar-benar berdiri di garis tengah. Tidak berat ke kiri dan juga tidak berat ke kanan, persis seperti lambang keadilan di sistem peradilan di Indonesia: timbangan.