PELUKIS genre aliran ekspresionisme di Indonesia jumlahnya tidak terlalu banyak. Salah satu dedengkotnya yaitu sang maestro Affandi (almarhum). Dicirikan antara lain dengan teknik pelototannya yang ciamik.
Almarhum Affandi adalah pelukis kelahiran Cirebon. Namun, belakangan dia malah merasa diri sebagai warga Yogyakarta.
Pelukis generasi muda beraliran ekspresionisme lainnya saat ini adalah Bayu Wardhana dan Astuty Kusumo.
Keduanya juga dari Yogyakarta. Namun, masing-masing punya gaya dan kafakter berbeda, meski sama sama punya genre aliran ekspresionis.
Kehadiran karya lain Brigjen Pol Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana akhir-akhir ini sudah pasti akan lebih memperkaya eksisetensi dunia seni lukis Indonesia.
Tentu saja, para pelukis yang punya corak aliran ekpresionisme.
Meski, untuk “kasus” Chryshnanda Dwilaksana, proses kreatifnya itu harus dia lewati dalam dua tantangan hidup yang riil. Konsistensi diri, komitmen mau maju menghidupi talenta pemberian Sang Pencipta yang tertanam di dalam dirinya.
Pria kelahiran Magelang 53 tahun yang lalu ini, sejak remaja memang sudah suka dan giat berkesenian.
Salah satunya, karena sejak usia remajanya, ia sudah ikut aktif “nyanggar” gemar menggambar. Bersama kawan-kawannya di Magelang.
Belajar melukis bersama dari seorang guru. Pak Barkah namanya.
Dalam perjalanan hidupnya, keinginan mau melanjutkan kuliah masuk STSRI ASRI kandas. Lantaran keadaan kondisi ekonomi keluarga. Plus bahwa ayahnya juga kurang merestuinya jalan hidup keinginannya menjadi seniman.
Akhirnya, sosok Chryshnanda malah pindah jalur karier. Menjadi polisi. Meski demikian, ia masih tetap terus konsisten menggeluti dan menyuburkan benih hobinya: kegiatan gambar-menggambar, melukis.
Bahkan, sekali waktu, ia pernah juga mencoba membuat kartun. Disebut “mencoba”, karena memang rumus dan proses kreatinya sangat berbeda.
Tongkat komando dan kwas
Namun dalam perjalanan waktu, Chryshnanda juga merasa lebih merasa pas, nyaman, untuk masih tetap menekuni dunia seni lukis meski dalam balutan seragam dinas sebagai anggota Polri.
Berlangsung hingga saat ini. Di tengah karier profesionalnya sekarang sebagai jenderal polisi bintang satu.
Namun, Chryshnanda yang sekarang menjabat sebagai Direktur Korlantas di Jakarta tetap tak mau tinggalkan kegiatannya mengoleskan kwasnya di media lukis.
Ia berpendapat, dunia seni lukis tetap bisa berjalan beriringan pekerjaannya. Bahkan, kata dia, kegiatan melukis ini justru semakin membuatnya tambah hepi dalam melakoni hidupnya.
Sudah banyak aktifitas pameran yang sempat diikuti Chryshnanda. Ikut pameran bersama di beberapa kota di Indonesia.
Bahkan juga berani lakukan program pameran tunggal di Jakarta. Terakhir, ia baru saja mengikuti pameran virtual bersama para seniman Indonesia-Hongaria, tanggal 27 Juli 2021.
Pameran rame bareng-bareng ini dikuratori Supantono Suwarno – juga seorang pelukis.
Refleksi energi kejujuran jiwa
Melihat karyakarya Chryshnanda, maka yang segera terlihat di depan mata adalah lukisan yang rata-rata berukuran sedang dan besar. Selalu dominan akan sapuan-sapuan kwas besar.
Dengan warna primer cat akrilik saling berbaur yang agak encer. Kadang terkesan hal itu malah disengaja dimunculkan. Ditampilkanlah arsiran-arsiran hasil “dleweran” cat. Dan itu malah bisa menambah efek artistik.
Pengalaman artistik ini tentu didapat dari eksplorasi dan konsistensi berkarya.
Aksi “bat-bet” kwas Chryshanda adalah cerminan dari refleksi energi kejujuran suara jiwanya. Yang ingin dia ungkapkan secara jujur.
Juga sangat berani. Tidak peduli apakah karya itu nantinya bisa laku atau tidak. Tak acuh apakah orang akan senang melihatnya atau tidak. Semua itu tak menjadi masalah buat Chryshnanda.
Yang penting, melukis dan melukis. Sebuah proses kreatif yang membuat dia bisa berkreasi – mencipta dari yang tidak ada menjadi ada.
Atau menurut “rumus” baru Renee Descartes, lalu berbunyi: “Je desine, donc je suis – (Karena saya melukis, maka saya ada)”.
Tempo sesingkat-singkatnya
Chryshnanda berkarya sangat cepat. Bisa jadi satu lukisan berhasil dia selesaikan antara 15-20 menitan. Sungguh luar biasa.
Terakhir di bulan Juli 2021, Chryshnanda melakukan aksi melukis on the spot (OTS) di sekitaran kawasan Candi Borobudur dan Candi Mendut, Magelang, Jawa Tengah.
Melihat wujud karya OTS-nya, maka semakin meyakinkan akan ekspresi dari gemuruh energi suara jiwanya. Yang diwarnai emosi selalu tidak pernah ragu, namun juga penuh kejutan spontanitas.
Karya serial bertitel Bulan di Atas Borobudur sangat jelas mengindikasikan kekonsistennya Chryshnanda dalam berkarya.
Spontanitas berani dari sapuan kwas besarnya terlihat sangat merdeka dan artistik. Komposisi dan penggunaan warna primer berbenturan. Sesekali mencuat warna hitam, terlihat apik berjalan alami ke arah harmonisasi, lalu jadi serasi.
Hasil pungkasannya jelas. Jadi enak dipandang mata.
Penggunaan warna-warna primer ikut mendukung konsep saling berbenturan itu. Dilakukan melalui sapuan kwas dan penggunaan warna hitam.
Itu terjadi pada sosok Candi Borobudur.
Hasilnya jadi sangat harmonis. Karena warna hitam bisa menambah sebagai warna pengunci –setidaknya menurut sesanti penting dalam ilmu dasar disain elementer seni rupa.
Berkarya seni apa pun tentunya sangat memerdekakan seniman itu sendiri. Bisa melahirkan kepuasan batin. Malah juga bisa migunani (bermanfaat) bagi diri sendiri dan orang lain.
Terutama penikmat seni lukis. Karena, seni adalah bagian kebutuhan hidup manusia. Di mana pun kita berada. Berkat seni, hidup manusia menjadi semakin beradab dan indah.
Menurut saya, karya-karya Chryshnanda lama kelamaan akan semakin terlihat kematangannya. Boleh dikatakan sebetulnya juga sudah “layak” untuk tampil mejeng di dalam event gelaran pameran di Galeri Nasional depan Stasiun Gambir, Jakarta Pusat.
Nah, ditunggu saja tanggal mainnya.
Sabtu 31 Juli 2021
Kasongan, Bantul, DI Yogyakarta