“Computers are not magic. Teachers are.” (Anonim)
HARI Guru kembali tiba. Kali ini mengingatkan saya akan cerita lama dari seorang murid kelas 4 SD, di pinggir kawasan Tangsel, Banten.
Namanya Sendiko. Kejadian sudah dua puluh lima-an tahun lampau.
Alkisah, suatu siang di bulan September. Pulang sekolah, wajah Sendiko berbinar-binar. Dia bercerita dengan antusias.
“Aku dan teman-teman sekelas diberi bu guru uang seribu. Disuruh jajan sendiri”.
Kami tahu, Bu Tanti, nama sang guru, hari itu berulang tahun. Tapi, membagi uang dan membiarkan murid-muridnya jajan di kantin adalah peristiwa langka.
Sorenya, baru kami tahu, mengapa kali ini ulang tahunnya dirayakan berbeda. Tentunya murid-muridnya bersukacita dan suasana berubah gegap gempita.
“Maaf pak, saya tak sempat membuat atau membeli kue untuk dibagikan kepada murid-murid. Saya suruh mereka jajan sendiri di kantin”.
Nampaknya Bu Tanti tak mau mengecewakan murid-muridnya, ketika kue ulang tahun hari itu tiada.
Entah mengapa, rasa haru tiba-tiba menggumpal di dada.
Cerita menyentuh tentang murid sekelas yang sekonyong-konyong mendapat tambahan uang saku, tak mudah dihapus dari ingatan di kepala dan hati kami.
Bukan karena jumlah uangnya yang kala itu cukup besar. Lebih berkesan karena ungkapan perasaan sang guru kepada murid-muridnya dengan tulus-ikhlas.
Penghayatannya terhadap panggilan sebagai pendidik yang begitu passionate, menjadi syarat utama dan pertama dalam keberhasilan proses belajar-mengajar.
Itulah pangasuhan. Mendidik dengan hati, mengasuh dengan sungguh-sungguh, melalui relasi dengan bahasa kasih.
Timbul pertanyaan-pertanyaan menggelitik, saat menyaksikan hubungan murid-guru yang begitu cepat berubah.
Apakah “kedekatan” yang ditunjukkan oleh Bu Tanti dan murid-muridnya saat itu, sekarang masih ada?.
Apakah revolusi digital dan “lembah antar generasi” (generation gap) telah memporak-porandakannya?.
Apakah bentuk-bentuk relasi yang melibatkan rasa dan karsa sudah berubah wujud menjadi hubungan antar gadget, yang meski lebih efisien tapi kurang intensif dan tak sampai ke dasar hati?.
Bisa jadi jawabannya pun berbeda-beda. Tergantung daerah, tingkat sosial, budaya, dan lain-lain.
Bila Bu Tanti di Tangsel, ada cerita lain tentang pak Sugeng Purnomo, yang juga mengabdikan dirinya sebagai guru di desa Oi Bura, Kabupaten Bima, NTB.
Sudah 13 tahun pak Sugeng mengajar di SDN Tambora untuk mendidik 73 murid yang terdaftar di sekolah itu. Apa daya, kehadiran para murid, rata-rata hanya berkisar 25% saja.
Selebihnya, pak Sugeng dan rekan-rekan guru dengan telaten “mengejar-ejar” mereka agar mau datang ke sekolah.
Proses pembelajaran dengan mendatangi para murid di rumahnya pun sering dilakukan. Padahal, jaraknya bisa sampai 2 kilometer dari sekolah.
Jawaban yang mengenaskan keluar ketika ditanya kemana sisa murid yang jarang hadir di sekolah.
“Mereka bekerja untuk membantu orang tua agar asap dapur tetap mengepul.”
Para siswa harus lebih sering berladang di kebun kopi, ketimbang duduk manis di bangku sekolah.
Bukan karena ruang kelas yang jauh dari nyaman tapi, sekali lagi, kebutuhan biaya hidup memanggilnya lebih keras.
Lantas, bagaimana cara pak Sugeng mencerdaskan para muridnya?.
Sulit mencari jawabnya.
Faktanya hanya satu guru di SDN Tambora berstatus PNS. Delapan lainnya tercatat sebagai guru honorer, termasuk Pak Sugeng.
Imbal jasa yang diterima sebesar 300 ribu rupiah sebulan, dibayarkan 3-4 kali setahun.
Tangsel dan NTB dua daerah yang berjauhan. Perbedaan tingkat sosialnya pun menganga lebar. Sementara panggung sandiwara terus berganti latar belakang dengan begitu cepatnya.
Dunia boleh lari untuk terus maju sampai setinggi langit mana pun. Revolusi digital telah menyeret (sebagian) peradaban manusia untuk lebih canggih. Tetap saja, yang ajaib bukan komputer, melainkan guru.
Bu Tanti dan Pak Sugeng berbeda kondisi. Tetapi keduanya mempunyai “panggilan hidup” yang mirip dalam mengabdi kepada profesi yang telah dipilihnya.
Bu Tanti beruntung karena mempunyai lebih banyak pilihan untuk mendidik murid-muridnya. Mentraktir mereka pada hari jadinya adalah salah satu bentuk penanaman nilai.
Yang harus dicatat, pendidikan bukan hanya masalah raga atau kepala. Tetapi juga dengan mengasah imajinasi, mempertajam naluri dengan nuansa hiburan.
Karena sesuatu yang menyenangkan anak-didik adalah bentuk pengajaran yang sangat efektif.
“Entertainment and learning are not opposites; entertainment may be the most effective mode of learning.” –
Herbert Marcuse, (1898-1976), filsuf Jerman-Yahudi, teoretikus politik dan sosiolog, anggota Frankfurt School,
“Untuk para pahlawan tanpa tanda jasa, Selamat Hari Guru Nasional 2021. Jasamu tiada tara”.
@pmsusbandono
26 November 2021
Ref: https://www.tribunnews.com/pendidikan/2021/08/16/kisah-inspiratif-guru-sugeng-mengabdi-di-daerah-terpencil-menembus-hutan-untuk-berbagi-ilmu?page=all