Budaya “Ubuntu”

0
386 views
Budaya Ubuntu dari Afrika. (Amazine)

Puncta 22.11.21
PW. St. Sesilia, Perawan dan Martir
Lukas 21: 1-4

ADA kata-kata bijak dalam Bahasa Jawa yang berbunyi, “Akeh durung mesti cukup, sethithik durung mesti kurang.

Kalimat bijak itu kurang lebih berarti punya banyak belum tentu cukup, punya sedikit belum tentu kurang.

Sebanyak apa pun harta atau barang-barang yang kita miliki, tetapi kalau kita tidak mempunyai rasa syukur tentu tidak akan mencukupi.

Hati yang serakah, walaupun sudah punya banyak, pasti akan merasa tidak mencukupi.

Sebaliknya, kendati kita hanya punya sedikit, tetapi kita bisa mensyukurinya, maka hal itu akan dirasa cukup, bahkan kita bisa berbagi juga dengan yang lain.

Di sebuah suku asli Afrika, seorang antropolog Barat menunjukkan sebuah permainan kepada anak-anak Afrika.

Dia meletakkan satu keranjang penuh buah di bawah pohon. Dia memberi petunjuk kepada mereka, bahwa anak yang lari pertama kali mencapai pohon, dialah yang berhak mendapatkan sekeranjang buah.

Tetapi ketika sang antropolog memberi aba-aba “mulai…!!”, dia terkejut karena anak-anak berjalan bergandengan tangan bersama-sama tanpa berebut saling mengalahkan.

Ketika si antropolog bertanya, “Kenapa kalian tidak berlari mendapatkan yang pertama untuk sekeranjang buah?”

Mereka menjawab, “Ubuntu…!!!. bagaimana salah satu dari kita bahagia, sedangkan teman yang lain bersedih?”

Ubuntu dalam peradaban mereka berarti “Aku adalah Kita.”

Suku ini memahami rahasia kebahagiaan sesungguhnya adalah ketika kita mau berbagi dan berbelarasa.

Rahasia ini telah hilang di tengah masyarakat modern yang individualistis dan sangat egosentris dimana kita ada di dalamnya.

Janda miskin dalam bacaan Injil hari ini menyadarkan kita kembali bahwa harta benda yang kita miliki itu mempunyai nilai sosial.

Kendati dalam kekurangannya, janda miskin itu masih punya tanggungjawab sosial dengan memberi apa yang dia miliki.

Kebahagiaan tidak diukur dengan apa yang kita miliki, tetapi sejauh mana milik kita itu bisa berguna bagi orang banyak.

Yesus memberi apresiasi kepada janda miskin itu, kendati secara kuantitatif dia tidak memberi lebih banyak dari orang-orang kaya, namun secara kualitatif ia memberikan seluruh nafkahnya.

Bukan soal besar kecilnya pemberian, namun totalitas dan ketulusan hati untuk berbagi dengan sesama.

Persembahan kepada Tuhan semestinya diberikan dengan total tanpa pikir untung rugi buat diri kita sendiri.

Dunia modern yang sangat individualistis membuat kita menutup mata terhadap penderitaan sesama dan hanya berpikir untuk kepentingan sendiri.

Apakah kita masih punya citarasa seperti anak-anak tadi, bahwa “Aku adalah Kita?”

Aku bahagia sendiri tidak ada artinya jika orang lain menderita.

Ke Bali nyeberang pakai kapal.
Berjemur matahari di Pantai Gili.
Harta milik punya nilai sosial.
Tidak hanya untuk diri sendiri.

Cawas, mari berbelarasa…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here