Budi Kleden SVD dan Pedro Casadaliga (2)

0
126 views
Uskup Terpilih Keuskupan Agung Ende: Pastor Paulus Budi Kleden SVD. (Ist)

SEJAK Vatikan menetapkan dan mengumumkan Pastor Paul Budi Kleden SVD sebagai Uskup Terpilih untuk Keuskupan Agung Ende, Flores, muncul begitu banyak ucapan proficiat. Juga ulasan kenangan yang menegaskan bahwa Budi Kleden memang sangat layak menjadi uskup.

Ulasan dan kesan tentang Budi Kleden tidak hanya datang dari orang-orang yang pernah mengenal dia secara langsung: mantan mahasiswa IFTK Ledalero, teman kelas dan rekan imam, senior. Tetapi juga orang yang mengenal Budi hanya lewat tulisan-tulisannya di media atau buku.

Gereja Flores dan Nusa Tenggara gembira dan bangga atas warta Vatikan ini dan mengimaninya sebagai “berkat“ serta menaruh harapan besar untuk perkembangan Gereja Lokal Keuskupan Agung Ende.

Pada momen liburan musim panas kemarin di Roma, saya sempat berjumpa dengan Budi Kleden. Kurang lebih 10 tahun silam kami pernah bertemu di Sankt Augustin, Jerman, ketika ia mengadakan visitasi Generalat SVD.

Tidak ada perubahan yang mencolok dari Budi Kleden. Pembawaan diri yang ramah dan rendah hati seperti ketika masih di Bukit Ledalero masih menjadi aura yang menyelimuti kepribadiannya. Kesederhanaan dalam berpenampilan sebagaimana kesaksian orang-orang yang pernah bertemu dengannya. Bukan hanya etiket sosial yang disematkan oleh orang lain pada dirinya, melainkan produk jiwa yang tulus dan jujur dari seorang Budi.

Di dapur milik biara SVD di Roma itu, kami masak dan makan bersama. Budi Kleden juga ikut membantu mengeringkan cucian seperti piring, periuk dan sendok.

Ketika mendengar berita penunjukkan dirinya sebagai Uskup Agung, saya langsung membayangkan sosok Budi Kleden dengan lencana uskup: mitra di kepala, tongkat uskup berbalut emas atau perak di genggaman tangannya, serta cincin emas yang melingkar lebar di jarinya. Kita dapat mereka-reka berapa harga untuk semua lencana uskup.

Paus Fransiskus tunjuk Superior General SVD Pastor Paulus Budi Kleden SVD menjadi Uskup Terpilih Keuskupan Agung Ende. (Ist)

Uskup: antara glamor “Yang Mulia”, kemilau lencana dan kesederhanaan umat

Dom Pedro Casadáliga (kelahiran Spanyol 1928 dan meninggal 2020) adalah Uskup Sao Felix, Brasil (1971-2005). Misionaris Claretian ini masuk dalam daftar Teolog Teologi Pembebasan dan pejuang HAM di Brasil dan wilayah-wilayah Amazona.

Untuk wilayah Amerika Latin, Pater Pedro Casadáliga juga dikenal sebagai penyair ternama yang tidak hanya merefleksikan tema religius, tetapi juga politik dalam karya literernya seperti puisi.

Pada tahun 1971, ketika ia diangkat Paus Paul VI menjadi Uskup, Pedro Casadáliga mengajukan beberapa syarat.

  • Syarat pertama adalah meminta persetujuan dari para imam, biarawan-biarawati dan juga umat, apakah mereka menginginkan dirinya sebagai uskup.
  • Syarat kedua bersedia menerima topi dari daun lontar/jerami milik petani kecil di Amazona sebagai mitra; dan cincin serta tongkat sebagai representasi penduduk asli (indigene), yakni: cincin dari tempurung buah Tucum (Latin: Astrocaryum, buah dari tanaman spesies palma yang banyak tumbuh di wilayan Amazon). Buah ini dapat dimakan dan diolah menjadi minyak goreng. Tempurung buah Tucum digunakan oleh penduduk asli Amazona untuk membuat cincin (cincin hitam).

Pada abad ke- 18 cincin hitam ini merupakan simbol ikatan janji nikah bagi para budak dan penduduk asli yang tidak mampu membeli cincin yang terbuat dari emas. Hingga kini cincin itu menjadi simbol persahabatan dan solidaritas serta perlawanan terhadap tatatan sosio-politik yang cenderung mengeksploitisir alam dan manusia.

Untuk kalangan misionaris Katolik, cincin hitam merupakan simbol keberpihakan kepada dan bersama kaum miskin dan bentuk dukungan dalam memperjuangkan HAM dan keadilan sosial.

Uskup Casadáliga pernah berujar demikian.

“Saya merasa terganggu dan kesal ketika melihat pada uskup muda yang baru saja dilantik, tampil dengan segala atribut uskup, seolah-oleh mereka adalah kaum bangsawan dan kelompok manusia yang mesti dihormati”.

“Kini di usia saya yang sudah tidak muda, saya tidak lagi menggunakan tongkat uskup, melainkan tongkat orang jompo untuk bisa menopang saya dalam melangkah,” lanjut Casadálida dengan tertawa (Seiterich, Publik-Forum 6: 2013).

Kegelisahan yang senada juga pernah melengking dari suara profetis Budi Kleden. “Budaya Nusa Tenggara yang begitu mengagungkan kedudukan imam dapat menggiring misionaris muda kepada sikap klerikalismus” (Kleden, Steyler Missionschronik: 2013).

Pemikiran klerikalis ini juga sudah lama tergumpal dalam ruang berpikir umat seperti frase: istana keuskupan, takhta keuskupan dan juga label “yang mulia” – menempatkan uskup – yang adalah gembala umat – pada superioritas keagamaan yang sulit atau pun enggan untuk dijangkau; apalagi dikritik.

Budi Kleden adalah seorang pemikir kritis dan teolog yang membumi. Sebagai orang Flores: ia lahir, dibesarkan, belajar, hidup dan melayan di Flores. Saya yakin, ia tahu conditio humanae – situasi dan persoalan masyarakat di Flores pada umumnya dan Gereja Keuskupan Agung Ende. Cara dan sikap hidupnya sudah membias harapan di wajah umat.

Uskup Terpilh Keuskupan Agung Ende Pastor Budi Kleden SVD berdiri di ujung belakang kanan di samping Uskup Assisi. Foto ini terjadi di Assisi pertengahan Mei 2024, ketika berlangsung pertemuan para Superior General tarekat-tarekat religius. (Dok. Romo Ag. Purnama MSF)

Namun harapan-harapan itu tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab Budi Kleden sebagai Uskup.

Harapan itu merupakan cita-cita dan mimpi bersama sebagai orang-orang yang dibaptis untuk turut mengambil bagian dalam misi pengutusan seperti yang telah disabdakan Sejak perjanjian Lama: “Sebab orang-orang miskin tidak hentinya akan ada di dalam negeri itu; itulah sebabnya aku memberi perintah kepadamu, demikian: Haruslah engkau membuka tangan lebar-lebar bagi saudaramu, yang tertindas dan yang miskin di negerimu.“ (Ulangan 15: 11).

Menerima dan memahami realitas sosial setempat menjadikan kita rendah hati dan manusiawi. Kesombongan pengandalan diri sendiri yang berlebihan tidak mendapat tempat dalam situasi krisis umat, sebab hal -hal itu tidak dapat saling menopang, melainkan justru menghancurkan.

Pada sebuah kesempatan berkunjung ke Roma, Uskup Casadália menulis:

Aku, seorang uskup yang berdosa, mengaku, bahwa saya muncul di Roma dengan tongkat peziarah yang kekar – mengagetkan angin di antara barisan tiang-tiang;
Memberanikan diri meniup seruling di hadapan pipa-pipa organ yang bombastis.
Di Assisi aku tiba, di antara bunga apiun.

Aku, seorang uskup yang berdosa, mengaku, bahwa aku bermimpi tentang Gereja yang hanya berdandan Injil dan sandal;
Bahwa saya mengimani Kerajaan Allah dalam setiap keadaan dan perjalanan di Gereja.

Aku, uskup yang berdosa, mengaku, bahwa aku telah melihat Yesus dari Nazaret, bagamaina ia mewartakan Kabar Baik kepada orang-orang miskin di Amerika Latin;
Bahwa saya berseru kepada Maria: “Sahabat kami, salam.”
Bahwa saya mengenang darah korban mereka yang setia dalam perjalanan ziarah hidup.

Aku, uskup yang berdosa, mengaku, bahwa aku mencintai Nicaraguita, gadis yang mempesona.

Aku, Uskup yang berdosa, mengaku, bahwa aku setiap pagi membuka jendela waktu,
berbicara dengan sesama sebagai saudara dan saudari tanpa melupakan mimpi, nyanyian dan tawa,
merawat bunga-bunga harapan dalam luka-luka Dia yang bangkit.”

Selama masa pembinaan dan studi, Budi Kleden sudah belajar bagaimana merawat harapan seperti yang geluti dalam disertasinya Kristologi dalam Fragmen-fragmen. Sebuah pembahasan tentang Jesus Kristus dalam ketegangan antara harapan dan penderitaan pada pemikiran Johann Baptist Metz“ (Christologie in Fragmenten. Die Rede von Jesus Christus im Spannungsfeld von Hoffnungs- und Leidensgeschichte bei Johann Baptist Metzt: Münster 2000).

Pada baris terakhir disertasinya, Budi menulis sebagai berikut.

Sejarah iman kristiani mengandung keduanya: pengharapan dan kisah-kisah penderitaan, tanpa tergesa-gesa mendamaikan keduanya, melainkan membawa “Ketidak-Identikan” keduanya di hadapan Allah, sepertinya yang dinyatakan oleh Metz sendiri:

Tahukah Anda, jika kekristenan hanya tentang moral dan tanpa harapan, jika itu hanya merupakan sebuah lakon pentas etika dan bukan eskatologi – dan itu banyak terjadi – seperti yang dikatakan oleh banyak teolog, lalu saya pun benar-benar tidak tahu untuk berkata apa-apa: tentang apa yang menghempaskan saya bukan pada sikap skeptis, bahkan mungkin juga sikap pasrah.

Untuk Budi Kleden:

  • “Kemuliaan“ itu sudah ada dalam refleksi filosofis-teologisnya.
  • “Kemilau“ juga terpancar dalam kesederhanaan hidupnya’ dalam pergaulan dengan orang-orang yang ia jumpai.

Tuà Budi, Salam Proficiat. Lewo nei lodo, Tuá Alla pana gewayan. (Berlanjut)

PS: Redaksi menerima tulisan ini dari Romo Ferry Plato SVD, imam misionaris Indonesia di Brazil.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here