Kamis, 21 Juli 2021
Pesta Sta. Maria Magdalena
Kid.3:1-4a.
Yoh. 20:1.11-18.
SUATU hari ada seorang ibu datang ke pastoran menemui saya. Ibu itu cukup aktif di paroki.
Namun kedatangannya siang itu bukan untuk membahas kegiatan gereja. Melainkan ada masalah yang tengah dihadapi keluarganya.
Ibu itu sedang bingung, marah. Kecewa karena suaminya punya hubungan asmara dengan sahabatnya yang merupakan sesama aktivis gereja.
“Saya tidak tahu harus mulai dari mana. Aebenarnya saya sangat malu membicarakan ini. Tetapi saya sungguh perlu bantuan Romo,” katanya dengan menahan emosi.
“Tenang, Bu. Atur napas dan pikiran. Apa yang terjadi?,” jawabku sambil menenangkan ibu itu.
“Awalnya saya kira hanya gosip belaka. Tetapi ternyata benar adanya,” kata ibu itu.
“Anak perempuan saya membaca isi WA suami saya dengan ibu itu. Lalu di-forwad ke HP saya,” lanjutnya.
“Saya benar-benar kecewa. Karena ternyata mereka sudah jalan bareng hampir satu tahun. Tega sekali mereka. Menikam saya dari belakang,” tuturnya dengan geram.
“Suamiku benar-benar keparat. Anak-anak tahu dan sangat kecewa dengan bapaknya,” lanjutnya.
“Saya sudah bicara dari hati ke hati dengan suamiku. Juga dengan ibu itu di hadapan suaminya dan anakku perempuan,” katanya
“Meski dengan hati yang perih, ketika ibu itu dan suamiku menangis. Minta maaf padaku dan pada suami ibu itu. Saya berusaha tegar dan mengampuni suamiku dan ibu itu, meski hati ini sangat sakit,” katanya
“Saya ingin suamiku kembali dengan sepenuh hati. Namun selalu muncul keraguan. Tidak percaya padanya dan rasa cemburu terus-menerus,” tutur ibu itu.
“Ini yang juga dialami anak-anak. Mereka sangat kecewa dengan bapaknya. Mereka sungguh tidak bisa percaya bahwa bapaknya punya perilaku seperti ini,” lanjut ibu itu.
“Sekarang suamiku seperti orang bodoh. Diam saja dan malu keluar rumah. bahkan tidak mau ke gereja,” kata ibu itu.
“Saya mau minta tolong Romo, apa yang harus saya lakukan?” tanyanya.
“Ibu sudah melakukan apa yang mesti ibu lakukan. Mengklarifikasi masalah dengan suami dan ibu itu.
Bahkan sudah sangat baik, karena ibu tidak berjalan sendiri. Tetapi mengajak suami ibu itu dan anak perempuan ibu yang melihat isi percakapan mereka.
Saatnya pengampunan yang sejati ibu tunjukkan kepada suami.
Rasa cemburu dan terluka, dan tidak percaya adalah sangat wajar. Tetapi jangan sampai menjadi penghalang kuasa pengampunan yang ibu berikan.
Dalam perjalanan waktu, jika ibu sudah berdamai dengan hati ibu dan menerima suami dengan sepenuh hati, anak-anak pasti akan luruh dan menerima bapaknya lagi,” kataku
“Pertobatan itu sebuah proses dan perlu waktu, suami ibu semoga saja ada dalam proses itu,” lanjutku.
Pertobatan dan pengampunan itu dua sisi perjalanan batin yang sangat menghidupkan namun menuntut sebuah pengorbanan.
Bagaimana denganku?