Puncta 05.03.23
Minggu Prapaskah II
Matius 17: 1-9
SETELAH sekian kali berhasil menaklukkan puncak-puncak gunung tertinggi di dunia, seorang pendaki pernah berkata, “Keberhasilan seorang pendaki bukan ketika dia berada di puncak gunung, tetapi ketika dia turun dengan selamat sampai di bawah lagi.”
Banyak orang terobsesi untuk menaklukkan puncak gunung, tetapi kadang lupa untuk kembali ke dunia nyata.
Di puncak gunung tertinggi Mount Everest ada zona yang disebut “Zona Kematian” pada ketinggian 26.000 kaki di atas permukaan laut.
Di tempat itu para pendaki melewati beberapa jenzsah yang mati membeku. Ada sekitar 300 orang mati dalam pendakian di Everest.
Sedikitnya ada tiga jenasah terkenal yang tergeletak di jalur pendakian. Salah satu mayat yang sering dilewati para pendaki adalah “Green Boots.”
Dia diyakini bernama Tsewang Paljor pendaki dari India yang meninggal tahun 1996. Di dekat “Green Boots” ada David Sharp yang meninggal dengan posisi duduk sambil memeluk lututnya dan Hennelore Schmatz yang masih utuh karena suhu cuaca yang konsisten.
Banyak orang merasa sukses, jika sudah berada di puncak. Tetapi tujuan pendakian yang sebenarnya adalah menikmati keindahan perjalanan itu sendiri.
Entah perjalanan naik atau pun turun, orang sering lupa menikmatinya. Karena fokusnya hanya puncak yang melelahkan, orang tidak mampu menikmati keindahan alam di sekitarnya.
Yesus mengajak ketiga murid-Nya mendaki sebuah gunung. Di puncak mereka merasakan kemuliaan Tuhan. Yesus berubah rupa dalam kemuliaan.
Petrus sampai terpesona oleh kekaguman sampai lupa diri. “Tuhan, alangkah baiknya kita berada di tempat ini. Biarlah aku dirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.”
Mereka terpesona dan ingin tinggal di puncak terus. Namun Yesus mengingatkan mereka dan mengajaknya untuk turun gunung.
Kembali kepada kehidupan nyata itu penting agar mereka tidak lupa untuk menikmati hidup yang sesungguhnya.
Banyak dari kita terlalu mengejar kebahagiaan surgawi, akerat, tetapi sering lupa untuk bahagia di dunia. Kehidupan di dunia hanya diisi dengan ketakutan, kekawatiran, konflik dengan sesama, persaingan, mencari menangnya sendiri, mengejar kesempurnaan dan merasa paling suci dan benar.
Akibatnya kemudian senang menindas orang lain, menyingkirkan teman sendiri, mengkafirkan yang tidak sepaham. Orang lain dianggap sebagai saingan, bukan saudara seperjalanan.
Seringkali kita terlalu fokus pada tujuan akhir, tetapi lupa menikmati proses perjalanan menuju ke sana. Kita mengabaikan kebahagiaan yang ada di sekitar kita.
Maka Yesus berpesan kepada murid-murid-Nya ketika turun gunung, “Janganlah kamu ceritakan penglihatan itu kepada siapa pun sebelum Putra Manusia dibangkitkan dari antara orang mati.”
Yesus mengajak mereka untuk menikmati kebahagiaan selama dalam perjalanan hidup. Pesan bagi kita adalah “Jangan lupa bahagia saat ini dan di sini.”
Makan dua bakso tidak bisa ditelan,
Di tenggorokan jadi terasa keseretan.
Fokus pada tujuan bikin melelahkan,
Ciptakan bahagia di tengah perjalanan.
Cawas, jangan lupa bahagia…