MINGGU, 11 Juni 1946 bertempat di Gereja Seminari Passionis, Haastrecht, Negeri Belanda, diadakan Perayaan Ekaristi yang diikuti oleh seluruh anggota tarekat Congretio Passionis (CP) Provinsi Bunda Harapan Suci (Mater Sanctae Spei) Negeri Belanda.
Perayaan Ekaristi kali ini menjadi momen sangat bersejarah. Karena pada kesempatan itu, Kongregasi CP Provinsi Mater Sanctae Spei Negeri Belanda akan segera mengutus tiga imam mudanya.
Ketiga imam muda itu calon misionaris yang siapa dikirim menjadi misionaris gelombang pertama menuju Tanah Kayong, Borneo Barat, Indonesia.
Tanah Kayong adalah sebutan akrab lokal untuk wilayah Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara, Kalbar.
Kelak akan jadi misionaris dan uskup
Dalam kotbahnya, Pater Provinsial CP Provinsi Negeri Belanda Pater Gabriel Wilhelmus Sillekens CP menyampaikan kepada umat informasi penting nan bersejarah itu. Tahun-tahun kelak, Pastor Sillekens CP ini juga berangkat ke Ketapang sebagai tenaga imam misionaris dan malah menjadi uskup pertama untuk Keuskupan Ketapang.
Ada tiga imam yang akan menjadi misionaris perintis ke Tanah Misi di Tanah Kayong, West Borneo, Hindia-Belanda.
Mereka adalah Pater Plechelmus Dullaert CP, Pater Bernardinus Knippenberg CP, dan Pater Canisius Pijnappels CP.
Perayaan Ekaristi itu berlangsung meriah. Para seminaris menyanyikan lagu-lagu pujian.
Pada saat perpisahan dinyanyikan lagu Bintang Laut. Pada permulaan perjalanan mereka diiringi dengan lagu Maria.
Menuju tanah misi
Senin, 12 Juni 1946.
Ketiga pastor Passionis yang masih sangat muda ini mulai berangkat meninggalkan Rotterdam. Mereka bergerak menuju Indonesia dengan perjalanan laut menggunakan kapal militer Volendam.
Mereka berangkat dari Pelabuhan Joskade di Rotterdam menuju Southampthon di Inggris lalu menuju Mesir.
Dari Terusan Suez di Mesir, Kapal Volendam berlayar menuju Kolombo di Sri Lanka dan mengarah ke arah timur hingga akhirnya berlabuh di Singapura. Dari Singapura, mereka naik kapal lagi menuju Batavia (Jakarta).
15 orang misionaris
Di Kapal Volendam itu sebenarnya ada 15 orang misionaris yang menumpang dalam pelayaran jarak jauh itu. Tentu saja, termasuk ketiga imam Passionis calon misionaris.
Ketiga imam Passionis tersebut sengaja memelihara jenggot agar betul-betul menampakkan diri sebagai misionaris.
Demikianlah pengakuan dari mereka sebagaimana nanti akan dijelaskan dalam buku baru bertitel Menelusuri Jejak Para Pahlawan Iman di Tanah Kayong.
Ketika dalam perjalanan di Kapal Volendam, terjadi kecelakaan yang mengakibatkan lengan P. Plechelmus Dullaert patah.
Setelah ia tiba di Ketapang, lengannya sakit lagi. Kemudian ia kembali lagi ke Pontianak untuk pengobatan secara intensif.
Belakangan setelah sembuh, lengannya tetap bengkok, sehingga oleh umatnya ia sering dipanggil Tuan Sengkong atau Pastor Sengkong.
Sesampai di Jakarta, ketiga imam misionaris Pasionis disambut oleh para imam Ordo Fransiskan, pegawai-pegawai keuskupan, dan langsung diantar ke Pastoran OMF di Jl. Kramat Raya.
Untuk sementara, mereka harus tinggal di situ. Sembari menunggu saat bisa bertolak dan berangkat ke Pontianak.
Selama menunggu waktu bisa melakukan perjalanan dari Batavia menuju Pontianak, Pastor Plechelmus CP dan Pastor Bernardinus CP membantu pelayanan pastoral di kalangan militer.
Setelah beberapa hari di Jakarta, maka tanggal 26 Juli 1946 ketiga misionaris Passionis terbang dengan pesawat Dakota menuju Pontianak.
Kedatangan mereka di Pontianak disambut sangat baik. Bahkan Pastor Gerardus OFMCap sampai mengantar ketiga calon misionaris baru ke gereja untuk mengucap syukur pada Tuhan. Karena perjalanan berjalan lancar.
Sore harinya, ketiga imam Passionis datang menghadap Vikaris Apostolik Borneo-Belanda berkedudukan di Pontianak: Mgr van Valenberg OFMCap.
Sementara, daerah Ketapang yang akan menjadi tujuan misi mereka waktu itu diberitakan masih dalam keadaan rawan.
Karena itu, hanya Pater Plechelmus Dullaert CP saja yang kemudian pergi ke Ketapang. Ia juga dianjurkan untuk sementara jangan pergi dulu ke pedalaman.
Berikutnya, Pastor Canisius CP berkarya di Nyarumkop dan Pastor Bernardinus CP sementara tetap tinggal di Pontianak di Keuskupan untuk menambah pengetahuan tentang bahasa Tionghoa dan tata kelola administrasi keuskupan.
Tiba pertama kali
Dari ketiga misionaris Pasionis perintis dari Belanda yang pergi ke Tanah Kayong, Pater Plechelmus Dullaert CP adalah imam misionaris CP yang pertama kali berhasil tiba di Ketapang.
Ia sampai tiba di Ketapang akhir bulan Juli 1946.
Karena waktu itu transportasi dari dan ke Ketapang masih kurang lancar, maka kedatangan P. Plechelmus merupakan kejutan bagi kedua imam misionaris Ordo Kapusin (OFMCap) yang waktu itu sudah “ngepos” berkarya di Tanah Kayong. Yakni, Pastor Martinus Venbastraelen OFMCap dan Pastor Leo de Yong OFMCap.
Pada 1 Oktober 1946, Pater Bernardinus Knippenberg CP akhirnya tiba di Ketapang.
Ia menumpang kapal laut milik Lim Seng Bok yang biasa dipanggil Tek Seng.
Perjalanan ini berjalan sangat lambat, karena kapal sering kali macet. Sesampai di Kuala Ketapang, kapal tersebut tidak bisa berjalan sama sekali.
Pastor Bernardinus dan rombongan lalu meneruskan perjalanan menuju Ketapang dengan sebuah kapal motor kecil.
Pada 16 Oktober 1946 barulah Pastor Canisius Pijnappels CP menyusul menuju Ketapang.
Ia datang dari Pontianak bersama dengan Pater Gerardus OFMCap, seorang imam Kapusin, yang sebelum Perang Asia Timur Raya, sudah berkarya di Tumbang Titi.
Kondisi masih sangat rawan
Situasi Ketapang ketika tiga imam misionaris Pasionis ini bertugas di masih sangat memprihatinkan.
Pater Bernadinus, dalam catatannya, melukiskan keadaan tersebut sebagai berikut:
“Di Ketapang ada sebuah kapel sederhana dan sebuah rumah tempat tinggal guru agama. Di samping rumah guru, ada sebuah gudang, dan di belakangnya ada sebuah bangunan yang belum diselesaikan.
Rumah tersebut dibangun sebelum Perang Dunia II, dengan serambi di depan, ada satu tempat kosong, ditengah ada kapel dengan tempat pengakuan.
Rumah ini dibangun oleh Sekolah Pertukangan Pontianak dengan arsitek Br. Cosmas OFMCap.
Keadaan rumah cukup kuat, berdinding semen, dengan sejenis metal yang dikatakan paling tahan.
Dalam keadaan perang, rumah tersebut mengalami kerusakan, di mana pintu-pintu dibongkar.
Kemudian rumah tersebut diperbaiki bersama-sama oleh umat Katolik setempat.
Kapel yang lama tetap dipakai, altar disempurnakan beserta tempat pengakuan, bangku-bangku bekas masih dapat digunakan, satu peti alat misa dikumpulkan bersama oleh orang Katolik”.
Isi buku
Buku ini terdiri dari tiga bagian.
Bagian pertama berbicara tentang jejak-jejak Kongregasi Passionis di Tanah Kayong. Bahan sumber untuk bagian ini diambil dari buku Catatan Harian Pater Bernardinus Knippenberg CP yang telah diterbitkan Keuskupan Ketapang.
Lalu, tulisan Pastor Vitalis berjudul Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Ketapang.
Bagian II buku ini menyajikan proofil singkat para msionaris Passionis Belanda yang pernah berkarya di Indonesia, khususnya Ketapang.
Bahan untuk tulisan ini berasal dari edisi khusus Trika; dalam rangka Perayaan 40 Tahun Karya Pasionis di Indonesia, Ketapang (1986) dan Catatan Pater Bernardinus Knippenberg CP.
Sedangkan Bagian III buku ini menyajikan kesaksian para imam Passionis kelahiran Tanah Kayong (Ketapang).
Ada enam orang pastor yang hasil wawancara dengan mereka dimuat di sini. Kami hanya membatasi dengan para pastor kelahiran Ketapang mengingat waktu yang terbatas dan situasi Covid-19 yang membatasi ruang gerak kita.
Ucapan terimakasih
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada Bapak Henrykus Jahilin, Pastor Damianus Sepo CP, dan jajaran Panitia Peringatan 75 Tahun Pasionis di Ketapang yang telah mengusahakan dana demi penerbitan buku ini.
Saya juga berterima kasih kepada rekan penulis Bapak F. Alkap Pasti yang telah menambah, mengedit dan memoles isi buku ini sehingga menjadi seperti sekarang.
Besar harapan kami agar buku ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi sejarah pengabaran iman di Tanah Kayong yang kita cintai ini. Kami sadar buku ini jauh dari sempurna.
Segala kritik dan saran akan kami terima dengan senang hati.