BUKU Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi ditulis oleh Sigit Kurniawan, lebih tepatnya FX Sigit Kurniawan.
Saya kira menuliskan nama penulisnya secara lengkap, sampai menyebut pula nama baptisnya perlu di sini, karena nama baptis FX (Fransiskus Xaverius) menjelaskan kedalaman spiritualitas tertentu dari sang penulis.
Seperti sudah kita mahfumi, Fransiskus Xaverius adalah seorang misionaris besar, yang menyebarkan iman Kristiani hingga ke India, Jepang, dan Indonesia. Karena karya dan pengorbanannya, Gereja menganugerahinya gelar sebagai Pelindung Misi.
Yang juga kita tahu adalah bahwa Fransiskus Xaverius ini adalah salah satu Yesuit awal dan merupakan sahabat dekat Ignatius Loyola. Bahkan, saat Fransiskus sudah menjalankan misi di tanah asing, persahabatan antara keduanya tetap hangat seperti terbukti dari surat-menyurat di antara keduanya.
Nah, tampaknya semangat dan “tali persahabatan” yang indah namun subtil semacam ini jugalah yang telah mengilhami Sigit untuk menulis sketsa-sketsa renungannya yang terkumpul dalam Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi.
Spiritualitas Ignatian
Sigit, yang adalah mantan Yesuit, meski sudah “berjarak” dan berkarya di “tanah asing”, masih sangat erat dan hangat dalam bersahabat dengan nilai-nilai dan spiritualitas Ignatian. Dalam prolog buku tersebut, ia bahkan mengingatkan pembacanya kepada anotasi 19 dalam Latihan Rohani. Lalu berurutan, muncullah ceplosan tentang sikap lepas-bebas, ketidakmelakatan, asas dan dasar, juga AMDG (Ad Maiorem Dei Gloriam).
Selain kental dengan renungan filosofis dan spiritual yang mendalam dan khas Ignatian, tulisan-tulisan Sigit juga berpusar pada aspek-aspek yang sangat manusiawi.
Ia selalu berkisah tentang cerita manusia-manusia yang dijumpainya, mulai dari lingkaran terdekat keluarganya (Mbak Sumijati yang adalah ibu kandungnya), teman-teman seangkatannya di Seminari Mertoyudan dan seperjuangannya di Serikat Yesus (yang dikisahkannya secara romantis, dengan kata-kata yang nostalgic), tetapi juga orang yang dijumpainya dalam kaitannya dengan konsen dan pekerjaannya sebagai wartawan, seperti Maria Sumarsih, Maria Manu, dan Myuran Sukumaran.
Kemanusiaan dan remah-remah kisahnya yang oleh narasi besar biasanya disingkirkan dan dianggap remeh, oleh Sigit diangkat, dimuliakan, direnungkan, dan dicantoli makna yang mendalam: membuat kita terperangah dan bertanya, ke mana saja kita selama ini sampai meluputkan hal sebermakna itu?
Kisah-kisah yang Sigit tuturkan adalah narasi subaltern yang selama ini tidak bersuara atau, jika bersuara, terbiasa kita marjinalkan. Keberpihakan Sigit, misalnya, terlihat dalam cerita tentang Maria berkaki satu, yang dalam pendar cahaya lilin menjelang penuhnya malam, condong ke arah si pendoa, seakan-akan mendengarkan sahabatnya yang tengah berkisah atau berkeluh-kesah.
Beberapa sketsa di dalam buku Perempuan yang Pergi Pagi-Pagi juga sangat personal, berkaitan dengan orang-orang terdekat Sigit dan tentang tema yang sangat intim, termasuk kematian, tetapi perenungan yang mengikutinya membawa pembaca pada pemahaman bahwa, “Iya, aku juga mengalami itu, aku mengerti apa yang terjadi, dan aku rasa itu juga ceritaku.”
Membaca sketsa-sketsa Sigit dalam buku ini seperti membaca perenungan khas penulis Yesuit lain, yaitu Romo Sindhunata SJ. Mungkin karena keduanya dibesarkan di bawah pengaruh bintang yang sama, atau mungkin juga karena Sigit sangat kental mendalami spiritualitas Ignatian dalam kehidupannya sehari-hari.
Apa pun itu, dengan sangat jelas, tulisan-tulisan Sigit, seperti halnya sketsa Romo Sindhu dalam Aburing Kupu-Kupu Kuning adalah suara yang selama ini terlewatkan, yang terbawa gerusan angin besar dan hiruk-pikuk narasi pascakebenaran yang mencekau kita.
Ia punya potensi untuk mengembalikan kita pada kewarasan dan kebenaran.