Buku “Jalan Berlumpur, Sungai Beriam: OSA Membangun Ketapang”, Modal Bonek Suster Augustinessen (1)

5
360 views
Buku "Jalan Berlumpur, Sungai Beriam: OSA Membangun Ketapang", Modal Bonek Suster Augustinessen (1)

KEUSKUPAN Ketapang di Provinsi Kalbar mencakup wilayah Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara.

Luasnya lebih besar dari wilayah Provinsi Jateng atau Jatim.

Di areal pastoral maha luas inilah, Kongregasi Suster Santo Augustinus dari Kerahiman Allah (OSA) Indonesia berawal mula di tahun 1949 dan sejak tahun itu pula mulai berkarya membangun Ketapang.

Kelima suster OSA misionaris perintis karya misi di Ketapang, Kalbar, mulai tanggal 6 Desember 1949. Mereka berfoto bersama Prefek Apostolik Borneo-Belanda Mgr. Tarcisius HJ van Valenberg OFMCAP (kiri) dan Provinsial Kongregasi Passionis (CP) Negeri Belanda Pastor Gabriel Wilhelmus Sillekens CP yang tahun-tahun berikutnya ikut menjadi misionaris di Ketapang dan bahkan didapuk Vatikan menjadi Uskup pertama Keuskupan Ketapang. (Dok. Biara Induk OSA/Mathias Hariyadi)

Lima misionaris

Tanggal 6 Desember 1949, sebanyak lima orang Suster OSA misionaris dari Biara Mariënheuvel di Heemstede, Negeri Belanda, tiba untuk pertama kalinya di Ketapang.

Mereka datang ke Ketapang karena ingin memenuhi permintaan para pastor misionaris Congregatio Passionis (CP). Mereka diminta untuk merintis dan mengelola karya kesehatan dan pendidikan informal berasrama untuk kaum remaja lokal Dayak dan Tionghoa di Ketapang.

Bertindak sebagai promotor misi Kongregasi Suster OSA ini adalah:

  • Prefek Apostolik Borneo-Belanda Mgr. Tarcisius HJ van Valenberg OFMCap dan
  • Provinsial Kongregasi CP Negeri Belanda: Pastor Gabriel Wilhelmus Sillekens CP.

Tahun-tahun berikutnya, selepas menyelesaikan tugas pengabdiannya sebagai Provinsial CP Negeri Belanda, Pastor Sillekens CP malah ikut pergi menjadi misionaris di Ketapang.

Setelah didapuk menjadi Administrator Apostolik Vatikan, beberapa tahun kemudian Pastor Sillekens CP malah ditunjuk Tahta Suci Vatikan menjadi uskup pertama Keuskupan Ketapang.

Dua misionaris CP tewas tenggelam di Sungai Pesaguhan

Tantangan alam berupa jalan panjang penuh lumpur pekat dan debu serta aliran sungai dalam penuh riam sampai tahun 2021 ini masih tetap menjadi pemandangan harian di wilayah reksa pastoral Keuskupan Ketapang, Kalbar.

Bahkan, hidup Superior Misi Kongregasi CP Ketapang Pastor Raphael Kleyne CP dan Br. Caspar de Ridder van der Schueren CP mesti berakhir tragis di jalanan.

Pada tanggal 27 Februari 1952, mereka berdua tewas tenggelam, karena terseret arus deras Sungai Pesaguhan.

Pastor Raphael Kleyne CP (ki) dan Bruder Gaspar Ridder van der Schueren CP tewas tenggelam di Sungai Pesaguhan di kawasan hilir Tumbang Titi dalam perjalanan pulang dari Ketapang naik kapal motor “Bintang Timur” menuju Tumbang Titi. Perahu mereka tenggelam karena bebatuan cadas dan kemudian terseret pusaran air sungai. Insiden ini terjadi pada tanggal 27 Februari 1952. (Dok CP-OSA/Mathias Hariyadi)

Insiden ini terjadi, ketika kapal motor “Bintang Timur” sarat muatan barang yang mereka tumpangi menabrak berbatuan cadas di dasar sungai di sebuah titik pusaran arus deras.

Akibatnya, KM “Bintang Timur” berikut semua barang bawaannya perlahan-lahan tenggelam, setelah mesin utama kapal motor ini meledak karena kemasukan air.

Mereka berdua secepatnya berusaha berenang ke tepian sungai untuk menyelamatkan diri.

Namun baik Pastor Kleyne CP dan Bruder van der Schueren CP tidak berhasil berenang sampai ke tepian. Mereka berdua kemudian ikut hanyut tenggelam di dalam aliran arus Sungai Pesaguhan yang sangat deras.

Suster Roovers, seorang tenaga perawat berkebangsaan Belanda, berhasil lolos dari maut.

Ia berhasil selamat, hanya karena ikatan rambutnya tersangkut pada dahan pohon yang “mentiung” melengkung merendah di permukaan aliran sungai sehingga kemudian regu penolong bisa “menggaetnya” ke daratan.

Sejumlah penumpang lain berhasil selamat dari insiden kapal motor tenggelam ini.

Jenazah Pastor Raphael Kleyne CP dan Bruder Caspar de Ridder van der Schueren CP baru bisa ditemukan beberapa hari kemudian di dua lokasi berbeda.

Penemuan kedua jenazah itu berlokasi sangat jauh dari lokasi TKP.

Lima suster misionaris OSA generasi pertama bersama Direktur Kongregasi Pastor E. Stolwijk dan Moeder Sr. Agneta van der Laan OSA. Kelima perintis karya misi OSA di Ketapang ini difoto di Biara Induk Heemstede, Negeri Belanda, sebelum mereka bertolak menuju Ketapang di bulan November 1949. (Buku “Jalan Berlumpur, Sungai Beriam: OSA Membangun Ketapang” edisi terbit tahun 2021)

Tantangan alam masih besar hingga tahun 2021

Mengakrabi tantangan alam seperti itu menjadi keseharian para pastor, bruder, dan suster yang saat ini berkarya di Keuskupan Ketapang sampai sekarang di penghujung akhir tahun 2021.

Para imam misionaris Passionis Belanda mulai berkarya di Ketapang sejak tahun 1946.

Tiga tahun kemudian, para suster misionaris Augustinessen (OSA) mulai menjejakkan kaki mereka di Ketapang.

Sejak mereka datang untuk pertama kalinya di Ketapang, Kalbar, tahun 1946 itu, segenap Suster OSA misionaris telah menunjukkan mental tahan bantingnya.

Hal itu juga dihayati para Suster OSA generasi-generasi setelahnya. Hingga sampai sekarang.

Modal bonek

Buku baru Jalan Berlumpur, Sungai Beriam: OSA Membangun Ketapang (2021) ini berkisah tentang pernak-pernik pengalaman para Suster OSA membangun Ketapang.

Utamanya, upaya serius ingin merintis karya bidang layanan kesehatan dan pendidikan keterampilan khas remaja puteri untuk remaja perempuan Dayak dan Tionghoa di Ketapang. Atau untuk mereka yang berasal dari kawasan pedalaman untuk bisa “bersekolah” di kota.

Dari murid-murid asrama dari kawasan pedalaman itulah, di kemudian hari Kongregasi Suster OSA malah mendapatkan calon-calon suster dari kalangan pribumi Dayak dan Tionghoa.

Semua paparan dalam buku setelah 732 halaman ini diwarnai dengan aneka kisah para suster misionaris OSA dari Negeri Belanda. Secara keseluruhan, karya misi para suster OSA di medan sangat luas dan berat tantangan alamnya itu boleh dikatakan hanya bermodal bonek.

Para suster yang waktu itu masih muda-muda belia ini selalu bernyali besar untuk menempuh risiko. Mereka berani masuk hutan belantara gung liwang-liwung.

Mereka mulai mengampu karya kesehatan dan pendidikan vokasional di antara para remaja puteri Dayak dan Tionghoa.

Semua tugas itu mereka lakoni dengan penuh kesetiaan dan dedikasi penuh, meski keseharian hidup mereka selalu bersaput dengan minimnya fasilitas hidup layak.

Taruhlah itu seperti tiadanya air bersih, akses jalan acak kadut – karena yang ada hanya “jalan sungai”.

Buku Jalan Berlumpur, Sungai Beriam: OSA Membangun Ketapang ini banyak berkisah tentang sejumlah tantangan alam yang dialami para suster misionaris OSA dan para pastor misionaris Passionis (CP).

Saat itu, hidup keseharian mereka di Ketapang dilakoni sebagai hari-hari sulit. Salah satunya adalah karena praktis hidup para suster OSA dan pastor CP misionaris itu ibarat tinggal di tengah hutan belantara. (Berlanjut)

5 COMMENTS

  1. Pada kata pengantar buku ini ada nama Romo Kurdo, beliau memberkati jenazah Ibu Maria Hartati ibuku pada April 2011.
    Juga ada nama Br Martin Handoko FIC pernah berkunjung/mampir ke rumah ketika beliau ada rapat di Lawang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here