Lalu kata Yesus kepada mereka: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat 22:21b)
“Mungkinkah umat Katolik ambil bagian dalam pemberantasan korupsi?”.
Pertanyaan ini nampak naif, apalagi apabila dikaitkan dengan situasi di Indonesia bahwa pemberantasan korupsi hanya menjadi ranah lembaga terkait (KPK, kepolisian, kejaksaan, dll), dan bahkan umat Katolik secara umum cenderung “alergi” untuk masuk ranah yang penuh resiko itu.
Namun sebagai pengikut Yesus, perintah “berikanlah kepada Kaisar…….”, menghalangi jalan mundur dari upaya ambil bagian dalam memberantas penyakit sosial yang menjadi akar banyak masalah di negara ini.
Hadirnya buku baru bertitel Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi, yang ditulis oleh B. Herry Priyono, justru membuka peluang bagi umat Katolik, bahkan yang paling sederhana, untuk terlibat dalam misi mulia ini.
Ini berangkat dari kegelisahan atas tidak tersedianya literatur pendukung memadai tentang korupsi. Juga kenyataan bahwa badan global sekelas UNCAC (United Nations Convention Againts Corruption) juga tidak mampu menjawab pertanyaan mendasar tentang “apa itu korupsi?”.
Romo Herry B. Priyono SJ, yang hidup dan karyanya jauh dari praktik korupsi, “terpanggil” untuk memulai penelitian yang berujung pada terbitnya buku ini.
Sekitar 600 judul tulisan berbobot telah mengisi 32 halaman daftar pustaka penunjang (hal 615-647). Lebih dari 1.700 catatan kaki dikutip untuk membangun argumen-argumen kokoh isi buku ini.
Ini gambaran keseriusan dan komitmen Romo Herry dalam menjawab tantangan Yesus “berikanlah kepada Kaisar…….”, dalam buku setebal 647 halaman ini.
Kurun waktu sangat panjang
Penelitian dimulai dengan penelusuran pemikiran atas korupsi sejak tahun 3.000 SM sampai saat ini. Penggalian arti korupsi mengalir dari pemikiran: Yunani kuno (Aristoteles), Romawi kuno (Cicero, Plutarch), kebijaksanaan India kuno dalam Kitab Arthasastra, pandangan filsuf/teolog Kristen abad pertengahan: Agustinus dan Thomas Aquinas, Pemikiran Islam Mohamed Arafa, ayat al Quran: Al-Baqarah, hadis Imam Ahmad, sampai pemikiran Ibn Khaldun (Muqaddimah).
Sejauh ini, korupsi dimengerti dalam konteks kemerosotan moral agen.
Apa yang tadinya dianggap masalah moral, ternyata dalam perjalanan waktu mengalami penyempitan arti. Filsuf zaman Renaissance, Niccolo Machiavelli, melekatkan korupsi pada urusan tata negara. Gejala penyempitan ini menguat pada zaman modern.
Korupsi cenderung dimengerti sebatas korupsi politis dan birokratis. Hal ini dipicu kemunculan tata negara modern dengan ciri mandatoris jabatan publik atau kontrak sosial pada masa itu. Pemikiran Thomas Hobbes, Montesquieu, Adam Smith, J. Bentham, punya andil dalam perubahan ini.
Puncak penyempitan arti korupsi terjadi pada zaman kontemporer lewat pemikiran Max Weber. Ia menempatkan masalah korupsi dalam kerangka reformasi birokrasi semata. Birokrasi yang objektif, rasional, diyakini sebagai solusi atas korupsi.
Korupsi merajalela
Faktanya, reformasi birokrasi tidak cukup efektif melawan korupsi. Di beberapa negara, korupsi justru makin merajalela. Perampokan uang publik oleh pihak swasta yang terjadi di Afrika Selatan (State Capture), menjadi salah satu contohnya.
Berbagai kritik datang dari para pemikir menyikapi hal ini. Dunia menyikapi situasi ini dengan munculnya gerakan masif anti korupsi. Perubahan besar dalam kebijakan World Bank (WB) terjadi ketika korupsi yang tadinya dianggap sebagai masalah politik, oleh James Wolfenson (Presiden WB) dirumuskan kembali sebagai masalah sosial ekonomi.
Transparency International menindaklanjuti dengan meluncurkan “Corruption Perception Index (CPI). Artikel dan studi tentang korupsi meningkat diseluruh dunia. Sayangnya, praktik korupsi masih merajalela.
Penyempitan pengertian korupsi sebatas yang berkaitan dengan pejabat publik, tata kelola institusi negara, dan kerugian keuangan negara, ternyata telah mengosongkan pengertian korupsi dari konsep moral.
Masalah moralitas
Padahal korupsi sejatinya adalah masalah moral.
Fakta bahwa di Indonesia korupsi ditangani di luar konsep moral yang menjadi inti pengertian menurut semua agama, adalah sebuah ironi. Dengan menyempitkan korupsi sebatas permasalahan mandat pejabat publik semata, maka gerak moral masyarakat terkait korupsi tidak punya tempat.
Pemberantasan korupsi hanya terbatas agenda institusi terkait (KPK, Kejaksaan, dll). Masalah moral yang luas coba diatasi hanya dengan pendekatan hukum, tata negara, dan ekonomi, yang lebih sempit.
Selain berhasil mengangkat fakta-fakta penting lainnya, buku ini juga menawarkan solusi. Lewat analisis yang ketat terhadap beberapa gejala korupsi, penulis berhasil menunjukkan bahwa inti masalah korupsi berkaitan erat dengan integritas moral institusi.
Tindakan korup sejatinya menghalangi kemampuan institusi mencapai tujuan baiknya, yaitu: tatanan masyarakat yang baik (the good society). Pengertian moral institusi yang ditawarkan buku ini mengembalikan pengertian korupsi pada konsep moral yang luas, mencakup: cara berpikir dan bertindak masyarakat luas.
Moral institusi dapat dibangun melalui pembentukan kesadaran umum masyarakat. Kesadaran bahwa semua tindakan korup menghalangi institusi mencapai tujuan utamanya, yang berupa kebaikan bersama.
Institusi hukum bertujuan menghadirkan keadilan yang tidak memihak. Institusi pendidikan bertujuan mewariskan kebenaran pengetahuan. Institusi olahraga bertujuan kompetisi prestasi olahraga yang sportif, dan seterusnya. Kesadaran masyarakat akan integritas moral institusi dapat dibangun lewat proses panjang pendidikan dengan melibatkan semua elemen masyarakat.
Umat Katolik ikut berantas korupsi
Dengan demikian, agenda melawan korupsi menjadi tanggungjawab bersama seluruh elemen masyarakat, termasuk di dalamnya: umat Katolik.
Umat Katolik dipanggil untuk bertanggungjawab untuk menjaga semua institusi yang ada disekitarnya mencapai tujuan baiknya. Tidak ada solusi instan untuk mengatasi korupsi, melainkan perlu perjuangan panjang yang melibatkan semua pihak.
Dalam Injil Matius, gambaran yang diberikan Yesus perihal pengadilan terakhir adalah: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan;ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku”. (Mat 25:35-36)
Korupsi merupakan akar yang menyebabkan banyak permasalahan: lapar, haus, diasingkan, telanjang, sakit, di negara ini.
Ambil bagian dalam membangun kesadaran masyarakat akan integritas moral institusi, berarti juga ambil bagian dalam memberantas korupsi. Ambil bagian dalam menghadirkan banyak kebaikan bagi “saudaramu yang paling hina”.
Ini sekaligus membekali diri menghadapi “pengadilan terakhir.
Membaca buku yang luar biasa ini, dapat menjadi langkah awal yang sangat direkomendasikan.