Buku Suster PMY, Bongkar Rahasia St. Yosef yang Tersembunyi 200 Tahun di Kongregasi

0
799 views
Dua suster Kongregasi PMY aktif menulis artikel dan buku. (Dok PMY)

DI Indonesia, budaya tutur atau lisan lebih berperan dalam menyampaikan suatu ilmu ataupun cerita.

Seperti folklore atau cerita rakyat, ilmu tentang pertanian di Jawa diwariskan dari generasi ke generasi sejak zaman kerajaan. Beberapa cerita rakyat atau kearifan lokal di suatu budaya tertentu ditulis oleh orang Eropa, termasuk oleh para misionaris.

Kita wajib bersyukur karenanya, setidaknya ada hal positif dengan masuknya orang Eropa ke Indonesia, yaitu pengarsipan dan dokumentasi tentang Indonesia.

Budaya menulis dan membaca pun sampai sekarang belum terpatri di benak  banyak orang Indonesia. Kecuali hal tersebut merupakan bagian dari  pekerjaan atau tugas yang harus dikerjakan.

Kisah sejarah panggilan bak kue donat

Bagi Sr. Emilia PMY, menulis adalah panggilan jiwa, karena sejak dulu dia suka membaca dan menulis.

Tulisan pertamanya tentang donat dimuat di Majalah Rohani terjadi, ketika dirinya masih yunior (suster muda). Tulisan itu mengisahkan refleksi dirinya dalam menanggapi panggilan hidup sebagai religius.

Bagaimana proses panggilan tersebut bagaikan membuat donat, semua bahan diramu, dibanting banting, diuleni, diberi ragi, dibiarkan mengembang selanjutnya digoreng sehingga menghasilkan donat yang empuk, tidak bantat.

Bagaikan donat yang enak, hidupnya pun dapat dipersembahkan kepada Allah dan sesama.

Ilustrasi: Toko dan pemuat Roti yang karyawannya disabilitas bisu tuli di China. (Ist)

“Put Out Into the Deep”

Tentang bukunya Put Out Into the Deep yang berisikan kekayaan spiritiualitas dan kharisma Kongregasi PMY, maka ia pun lalu berkisah demikian.

Buku ini ditulis sebagai suatu tugas pengutusan dari hasil Kapitel tahun 2013.  

Ide penulisan berasal dari Pimpinan Umum PMY saat itu: Zr. Rosa DMJ.

Beliau meminta agar suster Indonesia sendiri yang menulisnya, dengan pertimbangan bahwa masa depan Kongregasi ada di Indonesia.

Jika suster tidak mengetahui sejarah dan akar spiritualitas Kongregasi, maka nanti akan semakin berbeda.

Suster Indonesia diibaratkan ranting dari pohon Kongregasi yang sudah besar itu. Sifat-sifat yang ada di Indonesia berbeda dengan para suster misionaris Belanda.

Jika suster Indonesia tidak menyadari hal itu dan tidak menggali pasti akan semakin berbeda dan semakin jauh sifatnya dari akar atau visi dan misi dari pendiri Kongregasi.

Belajar di Irlandia

Setelah lulus program master di bidang spiritualitas di Universitas Dublin, Irlandia, tahun 2014, Sr. Emilia PMY melakukan riset di bawah bimbingan Prof. Dr. Hein Blommestijn O.Carm dan Dr. Charles Caspers.

Riset itu membutuhkan waktu lima tahun, dari tahun 2014 sampai 2019.

Karena riset, tuntutannya pun jadi sangat akademis. Kesulitannya selama hampir 200 tahun Kongregasi berdiri, kebanyakan penulis tentang Kongregasi PMY adalah orang lain yang dibayar. Ketika orang luar menulis sejarah dan spiritulitas Kongregasi, mereka memakai kacamata mereka yang kadangkala dirasa kurang pas.

Dengan tugas yang cukup berat ini, akhirnya lahirlah buku tersebut.

Sr. Emilia PMY berharap dengan lahirnya buku itu, yang mungkin isinya tidak baru, namun dapat memberikan wacana dan cara pandang baru.

Dalam menghayati dan menghidupi kekayaan spritualitas dan karisma Kongregasi yang telah diwariskan oleh pastor pendiri Kongregasi dan para suster pertama Kongregasi.

Buku “Put Out Into the Deep” merupakan hasil riset sejarah Kongregasi PMY. (Dok. Kongregasi Suster PMY)

“St. Joseph, Our Spiritual Father”

Buku ini terbit sebagai hadiah ulang tahun dari Sr. Emilia PMY untuk para kolega suster PMY Indonesia yang merayakan HUT ke-80 Kongregasi berkarya di Indonesia. Diberikan, karena pada waktu itu ia belum dan tidak dapat pulang ke Indonesia.

Sejatinya, buku itu adalah bagian bab I dari buku Put Out Into the Deep.

Mengapa St. Yosef?

Karena kisah tentang St. Yosef sampai saat itu masih “tersembunyi“ selama 200 tahun di dalam sejarah panjang keberdaan Kongregasi Suster PMY.

Dan dari pengalaman menyadarkan bahwa St. Yosef sungguh-sungguh orangtua rohani yang harus ditempatkan sama dengan Bunda Maria.

Terutama oleh para Suster PMY.

Ketika di Belanda, Sr. Emilia PMY mengalami kesaksian hidup dari beberapa Suster DMJ yang sederhana dan tidak pernah mendapatkan jabatan penting dalam kongregasi. Zr. Clara DMJ dan Zr. Alexia DMJ, keduanya banyak bekerja di dapur dan ruang produksi roti.

Salah satu di antara mereka sangat kuat berdevosi kepada St. Yosef. 

Setiap pukul tiga sore, beliau berdoa Rosario keliling taman Komunitas Den Bosch dan dilanjutkan berdevosi kepada St. Yosef di hadapan patungnya.

Jika musim dingin, doa Rosario dan devosi kepada St. Yosef dilakukan di belakang kapel.

Ketika ditanya, mengapa?

Jawabnya, “Saya lahir pas bertepatan dengan Pesta Kanak-kanak Yesus. Dan patung St. Yosef yang mengendong Kanak-kanak Yesus membuat saya lalu mencintai St. Yosef beserta keteladanan dan kesederhanan yang tersembunyi.”

Kerja sederhana dan rutin

St. Yosef mencintai pekerjaan apa pun. Hal ini menginsipirasinya yang bekerja di dapur. Keduanya tidak mengeluh bekerja di dapur terus, tersembunyi dan tidak pernah tampil di depan, sederhana, dan melakukan rutinitas harian yang mungkin membosankan.

Orang tidak melihat apa yang dikerjakan. Tetapi mereka menikmati hasilnya yaitu masakan yang disajikan. Hasilnya sangat dirasakan oleh para suster yang bekerja di sekolah.

Bagaimana kalau mereka pulang tidak ada makanan?

Dari kesaksian Zr. Clara DMJ dan Zr. Alexia DMJ itulah, cinta Sr. Emilia PMY akan sosok St. Yosef semakin berkembang.

Diakuinya bahwa ia tidak bisa langsung mencintai St. Yosef, karena dia merasa lebih berdevosi kepada Bunda Maria.

Namun cintanya kepada St. Yosef semakin lama juga semakin berkembang. Diakuinya, hal itu rupanya berawal dari pergulatan dengan almarhum bapaknya

Bapak kandungnya dia alami sebagai orangtua yang murah hati, mau mengampuni kesalahannya sebagai anak.

Ini adalah suatu pertobatan yang mendekatkannya kepada St. Yosef hingga sekarang.

Menggali kekayaan tradisi Kongregasi

Di Gereja St. Yohanes Katedral Den Bosch yang terkenal dengan patung Bunda Maria dari Den Bosch, ada patung St. Yosef, namun patung itu malah ditempatkan tersembunyi.

Kini, foto patung yang tersembunyi itu malah menjadi wajah sampul muka buku St. Joseph, Our Spiritual Father.

Ketika berdevosi di hadapan patung tersebut, Sr. Emilia PMY bernadar ingin menggali kekayaan Kongregasi tentang St. Yosef. Yang saat itu masih “tersembunyi” selama 200 tahun keberadaan Kongregasi.

Dalam usahanya menggali kekayaan Kongregasi tentang St. Yosef, maka buku Akar Ranting Daun Dari Pohon Kehidupan berisi tentang Kongregasi dan spiritualitas PMY.

Sang penulis Dr. Charles Caspers bahkan tidak menyinggung banyak soal St. Yosef. Jadi, St. Yosef seperti tersembunyi di dalam Kongregasi PMY, karena tidak digali kekayaannya.

Kemudian Sr. Emilia PMY seperti diajak Tuhan untuk membuka tabir St. Yosef yang “tersembunyi” di Kongregasi hampir 200 tahun.

Dalam dokumen tentang sosok Pastor Jacobus Antonius Heeren, tokoh pendiri Kongregasi PMY, terdapat sebuah warisan penting. Dalam bentuk sebuah buku rohani yang ditulisnya dalam bahasa Belanda kuno.

Di situ ditemukan tulisan panjang lebar tentang St. Yosef. Hal itu tidak diketahui sama sekali oleh para suster di Indonesia, meski spiritualitasnya telah mereka hayati sejak lama.

Ilustrasi – Santo Yusup

Paus Fransiskus tentang sosok St. Yosef

Pastor Heeren menulis tentang St. Yosef dengan kisah sangat luar biasa. Menakjubkannya devosi kepada St. Yosef itu ternyata telah dilakukan jauh lebih awal.

50 tahun sebelum Paus Pius XII akhirnya menetapkan St. Yosef sebagai Santo Pelindung Gereja Universal di dalam dekrit Quemadmodum Deus.

Dalam mengenangkan 150 tahun dekrit tersebut tahun lalu, Paus Fransiskus mengajak untuk melihat kebapakan St. Yosef; terutama kaitannya dengan situasi pandemi saat itu.

Dalam buku tersebut ditulis tentang sosok St. Yosef sebagai orangtua rohani bagi Kongregasi PMY. Bagaimana St. Yosef yang selama ini masih “tersembunyi” dua abad lamanya. Terutama di Gereja Katolik ritus barat.

Dikatakan masih tersembuyi, karena kalah pamor kisahnya dibandingkan dengan mereka – para martir yang menumpahkan darahnya demi imannya kepada Kristus.

Selanjutnya, sosok St. Yosef mulai perlahan-lahan ditampilkan; terutama oleh santo-santa besar seperti Santa Theresia Avilla dan Santo Fransiskus de Sales.

Tertulis juga pandangan Paus Fransiskus tentang St. Yosef. Karena Paus Fransiskus sangat mencintai St. Yosef sehingga banyak menulis katekese tentang St. Yosef.

Terakhir tahun lalu setelah penutupan Tahun Santo Yosef, Paus Fransiskus masih menulis katakese tentang keheningan St. Yosef yang perlu direnungkan terus-menerus.

Selanjutnya tertulis bagaimana para Suster PMY belajar meneladani keutamaan St. Yosef. Taruhlah itu semangat kesederhanaan, kerendahan hati, kelembutan hati, ketaatan, keberimanan, berani untuk tersembunyi, tidak sombong menampilkan diri di depan, mencintai pekerjaan apa pun.

Juga bisa menghargai pekerjaan -entah itu “kasar” atau “halus”- dan yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan.

“Patris Corde”

Seperti itulah yang St. Yosef hayati, sebagai kepala Keluarga Nazareth yang bekerja untuk menghidupi keluarga. Tidak memandang pekerjaannya yang tukang kayu sebagai perkerjaan kasar.

Dan itulah juga yang dihayati oleh Tuhan Yesus Kristus. Di dalam dokumen Patris Corde, Yesus meneladan St. Yosef yang bekerja.

Yesus bekerja untuk menunaikan tugas misi dari Allah Bapa dengan tuntas. Itu berkat ajaran St. Yosef.

Buku karya Sr. Emilia PMY “Put Out Into the Deep” (Dok. PMY)

Saat ini, Sr. Emilia PMY masih aktif menulis untuk Majalah Rohani setahun sekali dan refleksi di Facebook.

Juga aktif membuat program spritualitas untuk Kongregasi. Itu pun masih tetap disibukkan dengan menjadi editor untuk tulisan para formator dari aneka Kongregasi. Karena menulis menjadi terapi atau healing.

Kesibukannya yang lain mempersiapkan buku Put Out Into the Deep dalam edisi bahasa Indonesia yang harus selesai pada pesta Kongregasi bulan Juli nanti.

Harapannya buku St. Joseph, Our Spiritual Father -setelah direvisi- dapat terbit dan dinikmati oleh umat Katolik, karena masih sedikitnya buku mengenai St. Yosef.

Menjadi Anak Allah

Buku ini dibuat dengan bahasa yang ringan. Pada awalnya, sebuah makalah tentang kaul kemiskinan yang harus dipresentasikan oleh Sr. Yakoba PMY, ketika masih menjadi novis tahun kedua.

Namun karena situasi pandemi Covid-19, program Pekan Kaul Bersama (PKB) dengan para novis tahun kedua dari aneka Kongregasi menjadi batal.

Tetapi untuk live in tetap dilakukan oleh Sr. Yakoba PMY, agar lebih mengenali karya para suster, mengenali suster di tiap komunitas dan mengenali apa yang terjadi di masyarakat.

Setelah makalah dan hasil live in dipresentasikan di depan para suster profes di Hari Kenaikan Tuhan Yesus, Sr. Emilia PMY sebagai magistra lalu mengajak Sr. Yakoba PMY untuk semakin menggali lebih dalam nilai-nilai kaul dan pengalaman live in dan memaknai kesedihannya karena dampak pandemi.

Di awal mendapat tugas menuliskan refleksi ini dirasa berat oleh Sr. Yakoba PMY. Terutama menggali masa lalu yang tidak enak dalam waktu satu tahun.

Seperti pengolahan diri dengan keluarga -terutama dengan orangtua- yang terkadang jauh dari sifat keanakan.

Kenakalan sebagai calon suster

Ini tentang kisah bersama para suster di tiap komunitas dan karyanya, serta kehidupan di masyarakat pada saat live in. Dalam buku tersebut, Sr. Yakoba PMY, mereflesikan hal itu dengan acuan pada Kitab Suci dan dokumen Gereja yang lain; termasuk konstitusi Kongregasi.

Dengan membaca buku Menjadi Anak Allah, Sr. Yakoba PMY berharap para pembaca mengalami pengalaman akan cinta kasih Allah di dalam keluarga.

Sebagai suster yunior, Sr. Yakoba PMY sekarang berkarya di SLB/B Dena Upakara mengajar Agama dan Budi Pekerti. Kesibukannya yang lain adalah menggambar dan menulis untuk Majalah Ranting dan website Kongregasi PMY.

Selain Sr. Emilia PMY dan Sr. Yakoba PMY, beberapa suster Kongregasi PMY lainnya juga telah menulis buku dan artikel.

Seperti Sr. Bernadette PMY yang telah menulis kumpulan doa santap dan buku panduan Sekolah Minggu yang diterbitkan oleh PT Kanisius.

Bersama Sr. Patricia PMY dan suster yang lain, Sr. Bernadette PMY juga menulis artikel di buku In Omnibus Caritas – berisi kumpulan pengalaman dan penghayatan para suster tentang cinta kasih dalam segalanya.

Narasumber:

  1. Sr. Emilia PMY, kini berkarya dan tinggal di Komunitas Novisiat Anna Catharina Wonosobo.
  2. Sr. Yakoba PMY, kini berkarya dan tinggal di Komunitas Nazareth Wonosobo.
  3. Sr. Patricia PMY, kini berkarya dan tinggal di Komunitas Yakobus Antonius Yogyakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here