KETIKA dibaptis, seorang kristiani menerima tiga martabat, yaitu imam, raja dan nabi.
- Sebagai nabi, seorang kristiani menerima tugas pengutusan untuk mewartakan kabar sukacita Kristus kepada orang-orang yang dijumpainya.
- Ia menjadi misionaris yang berkat tanda salib itu membawa Kristus kepada semua orang.
Hari Minggu Misi tahun ini ditetapkan oleh Paus Fransiskus sebagai Hari Minggu Misi Luar Biasa.
Bapa Suci Fransikus mau mengingatkan hal yang penting dalam hidup orang beriman sebagai Gereja yang berkumpul untuk melanjutkan pengutusan Yesus Kristus.
Dia diutus oleh Bapa untuk menjadikan manusia hidup dalam lingkaran kasih Bapa.
Hari Minggu Misi Luar Biasa ditetapkan oleh Paus Fransiskus untuk mengenang surat Maximum Illud (Yang Penting, Besar) dari Paus Benediktus XV yang dirilis tanggal 30 November 1919.
Pemahaman misi
Surat yang telah berusia 100 tahun ini menjadi pintu pembuka bagi konsep pemahaman misi di zaman modern.
Dahulu kala, misi hanya dipahami dengan pergi ke tanah asing dan membaptis. Para misionaris mengumpulkan umat, membangun Gereja dan membaptis umat.
Tetapi Paus Benediktus XV melihat hal-hal yang lebih dari itu. Gereja mesti menyatu dengan masyarakat dan budaya. Gereja tidak boleh berada di luar masyarakat, karena Gereja adalah bagian dari masyarakat.
Karena itu, orang kristiani mesti bangun kebersamaan dalam Gereja dan masyarakat. Mengapa? Karena setiap orang yang telah dibaptis diutus untuk hidup dalam kebersamaan. Orang kristiani membawa terang yang mengalahkan kegelapan.
“Tidak mudah menerima terang, karena terang Kristus itu menghapus dosa.
Dia bangkit untuk mengalahkan kematian. Kita yang sudah dibaptis melanjutkan kabar sukacita Yesus Kristus,” kata Mgr. Aloysius Sudarso SCJ dalam kotbahnya, Minggu (13/10), di Gereja St. Yohanes Penginjil, Bengkulu.
Di Keuskupan Agung Palembang, Hari Minggu Misi Luar Biasa dirayakan di Paroki St Yohanes Penginjil Bengkulu.
Perayaan ini disponsori oleh Karya Kepausan Indonesia Keuskupan Agung Palembang. Sejak Jumat (11/10) hingga Minggu (13/10) diadakan sejumlah kegiatan dalam rangka Hari Minggu Misi Luar Biasa ini.
Kegiatan-kegiatan itu adalah School of Mission Animator (SOMA) bagi para pendamping Serikat Kepausan Anak dan Remaja Misioner, Kegiatan SEKAMI untuk Distrik Benaraya (Bengkulu, Penarik dan Pinangraya), Malam Budaya dan Sarasehan berkenaan dengan misi awal Gereja Katolik di Sumatera Bagian Selatan.
Mgr. Aloysius Sudarso SCJ mengatakan bahwa para misionaris pertama menginjakkan kaki di Bengkulu.
Awalnya dimulai oleh para imam dari Ordo Theatin. Mereka datang atas permintaan Penguasa East Indie Company atau Serikat Dagang Inggris di Madras untuk memberikan pelayanan rohani bagi para tentara dan masyarakat Eropa Katolik di Benteng York.
Pemimpin Ordo Theatin mengirim Pastor Martelli yang tiba di Bengkulu pada Desember 1702. Ia tinggal di Benteng York yang berada di antara Samudera Hindia dan Sungai Serut.
Dalam suratnya, 28 Januari 1703, Pastor Martelli melaporkan bahwa jumlah umat Katolik di Bengkulu mencapai 300 orang.
“Kita bersyukur, karena para misionaris pertama datang ke Bengkulu. Yesus ingin para misionaris menapakkan kaki di Bengkulu ini. Tuhan memilih tempat ini menjadi tempat pertama sukacita itu hadir. Sukacita itu tidak hanya dinikmati sendiri, tetapi selalu dibagikan kepada orang-orang yang kita jumpai,” kata Mgr. Aloysius Sudarso SCJ, Uskup Keuskupan Agung Palembang.
Bagi Mgr. Sudarso, Perayaan Hari Minggu Misi dan Bulan Misi Luar Biasa menjadi tanda bahwa umat mesti melanjutkan tugas pengutusan Kristus, supaya semua orang masuk ke dalam Kerajaan Allah.
Bermula dari Bengkulu
Dari Bengkulu, para misionaris itu beranjak ke Tanjungsakti dan menyebar ke berbagai tempat di Sumatera Bagian Selatan. Benih iman pun tumbuh subur dengan dibaptisnya masyarakat Tanjungsakti.
Para misionaris yang berkarya di tempat ini adalah Ordo Fransiskan Kapusin.
Tahun 1923, Bapak Suci memberikan kepercayaan pengelolaan wilayah ini kepada imam-imam Kongregasi Hati Kudus Yesus (SCJ).
Para suster dari sejumlah kongregasi diundang untuk berkarya di berbagai tempat di wilayah Sumatera Bagian Selatan.
Namun benih iman itu seolah-olah mati, ketika dunia dilanda Perang Dunia II. Para imam dan biarawan-biarawati ditahan di penjara-penjara. Tidak ada pelayanan bagi umat selama perang berlangsung.
“Namun Gereja tetap hidup. Mengapa? Karena umat tetap mewartakan Kristus. Umat tetap berdoa. Tuhan Yesus tetap menyertai mereka. Yesus menjadi jaminan bagi mereka,” tandas Mgr. Sudarso SCJ.
Mgr. Sudarso SCJ mengajak umat untuk menjadikan Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup iman.
Mengapa? Karena Ekaristi menjadi tanda kehadiran Tuhan yang paling utama. Melalui Ekaristi, Tuhan menularkan kasihNya kepada manusia. Melalui Ekaristi itu, umat lebih mengenal Tuhan dalam hidup sehari-hari.
Anastasia Gultom, Ketua Panitia Perayaan Hari Minggu Misi dan Bulan Misi Luar Biasa, merasa bahagia para misionaris mewartakan Yesus Kristus di Bumi Raflesia.
“Perayaan ini kita laksanakan untuk mengingat kembali karya misioner yang diawali dari Bumi Raflesia,” kata Anastasia Gultom.