Minggu, 17 Juli 2022
- Kej. 18:1-10a.
- Mzm. 15:2-3ab,3cd-4ab,5.
- Kol. 1:24-28.
- Luk. 10:38-42,
DEWASA ini orang sudah tidak asing lagi mendengar istilah stres.
Stres di tempat kerja yang tidak teratasi membuat penderita, kehilangan semangat bekerja, bahkan kehilangan minat untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
Kondisi ini lebih banyak terjadi pada orang yang sering memaksa diri untuk terus bekerja, kurang mendapatkan apresiasi pekerjaan dari atasan, memiliki beban kerja yang berat, atau memiliki pekerjaan yang monoton.
Istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi stres berat yang dipicu oleh pekerjaan adalah burn out.
Seorang sahabat merasakan sakit di bagian pencernaan, merasa selalu mual yang tidak kunjung sembuh.
Semua makanan yang dimakannya ditolak oleh perut dan dimuntakan kembali.
Dia sudah bolak balik ke rumah sakit, namun setiap kali dinyatakan sembuh, dan kembali ke tempat karya, dalam beberapa waktu dia akan kembali jatuh sakit dengan keluhan yang sama
Melihat kondisi seperti ini, pimpinannya meminta dia istirahat dan mengambil waktu serta jarak dengan tempat karyanya.
Tidak perlu waktu lama, bahkan tanpa berobat ke rumah sakit, dia tidak lagi mengalami gangguan pencernaan, mual-mual pun hilang.
Suatu hari, ketika keadaan sudah baik dan tenang, dia bercerita bahwa dia merasa lelah dan tidak lagi tahu harus bagaimana menangani karyanya.
Permasalahan datang bertubi-tubi, dari soal komunikasi dengan team, masalah keuangan, hingga adanya penolakan dari sebagian pengurus.
Dia merasa seakan-akan bekerja sendiri dan tidak mendapat dukungan bahkan dia merasa banyak orang yang berusaha menghalangi-halangi pekerjaannya.
Teman serumah pun malah menciptakan polarisasi di tengah umat. Dia seakan mendukung kelompok yang anti dan bersebrangan dengannya.
Dia sudah berusaha mengatasi masalah itu dengan berbagai cara bahkan pernah minta pimpinan memediasinya, namun banyak niat dan kesepakatan yang tidak dijalankan hingga jatuh dalam keruwetan masalah yang sama.
Keadaan itulah yang membuatnya stres dan merasa semuanya sia-sia.
Akibat kekacauan itu, dia sulit tidur dan bahkan kehilangan nafsu makan hingga sakit seperti itu.
Dia merasa sudah bekerja keras dan melakukan banyak hal baik, namun tidak diterima dan tidak dihargai.
Tetapi dia juga menemukan hikmah dari pengalaman kepahitan itu. Muncul kesadaran bahwa selama ini dia sangat menekankan efektivitas kerja, kurang membangun semangat batin atau kehidupan rohani hingga permasalahan itu muncul dan tumbuh hingga sulit diatasi.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,
Tetapi Tuhan menjawabnya: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.”
“Berani mengambil bagian yang terbaik” merupakan tema sentral teks ini, tetapi terbaik menurut ukuran Tuhan, bukan menurut ukuran manusia, bukan menurut kebiasaan dunia, bukan menurut pemahaman kebanyakan orang.
Pertanyaannya ialah bagaimana kita tahu bahwa bagian terbaik yang kita pilih sudah sesuai dengan ukuran atau standar Tuhan?
Apabila kita selalu lebih dulu mendengarkan suara Yesus kita akan memiliki kemampuan untuk mengambil bagian yang terbaik dalam kehidupan ini; hanya dengan mendengarkan dan bersekutu dengan Tuhan kita akan dimampukan juga untuk berbuat, bekerja, dan melayani dengan memenuhi kriteria Tuhan, bukan kriteria dunia ini.
Banyak orang, yang justru mengalami kekeringan spiritual karena berbagai faktor, salah satunya adalah “ketiadaan” waktu untuk duduk dengan tenang mendengarkan firman Tuhan dan bersekutu dengan Kristus.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku sudah memilih yang terbaik?