Business & Human Rights Regional Workshop di Kemlu RI: Bisnis dan HAM, Korelasi Positif dan Perlu

0
265 views
Business & Human Rights Regional Workshop yang digadang oleh Kemenlu, OXFAM, INFID, dan IGCN tanggal 5-6 Februari di Kemlu, Jakarta Pusat. (Royani Lim)

HAM (hak-hak azasi manusia) dalam bisnis.  Apakah bisa diberlakukan?

Pandangan konvensional bahwa penghormatan terhadap HAM hanya akan merepotkan dan malah bisa  menambah biaya bisnis telah diupayakan untuk dikikis.

Masuknya isu hak-hal asasi manusia pada sektor bisnis mencerminkan perkembangan kesadaran sosial akan dampak kegiatan bisnis pada HAM – internal maupun eksternal. Meningkatkan kesadaran akan tanggungjawab sosial di kalangan bisnis untuk mencegah dan mengurangi dampak negatif dari operasi dunia usaha diupayakan lewat berbagai cara oleh berbagai pihak.

Pada tahun 2011, di New York telah dipublikasikan panduan dasar Bisnis dan HAM PBB yang merupakan hasil riset Prof. John Rugie. Panduan tersebut dirumuskan dalam tiga aspek yaitu Protect, Respect and Remedy (Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan).

Ref:  Protect, respect and remedy: Exercising human rights in business”

Sosialisasi dan diskusi isu bisnis  dan HAM bertumpu pada tiga aspek tersebut terus digalakkan, seperti acara Business & Human Rights Regional Workshop yang digadang oleh Kemenlu, OXFAM, INFID, dan IGCN pada 5-6 Februari bertempat di Kemlu, Pejambon, Jakarta Pusat.

Paparan dari peserta konferensi. (Royani Lim)

Diskusi regional Asia Tenggara ini dihadiri perwakilan-perwakilan dari Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Para peserta berasal dari tiga latar belakang – pemerintah, bisnis, dan CSO (Civil Social Organisation) alias LSM.

Tiga pilar ini merupakan elemen penting dalam sistem pencegahan dan tindakan pemulihan yang saling terkait dan dinamis. Negara bertugas melindungi, bisnis atau korporasi menghormati, LSM mengawasi dan mengadvokasi.

Diskusi-diskusi yang terjadi pada akhirnya menyimpulkan perlunya kerjasama erat antar ketiga pilar ini.

Presentasi masalah dan solusi. (Royani Lim)

Saling curiga tidak akan menyelesaikan masalah; keterbukaan dan niat baik dibutuhkan untuk bersinergi mewujudkan dunia yang lebih ramah dan lebih harmonis.

Mengapa bisnis perlu menghormati HAM?

Menarik paparan dari JW Junardy, Presiden IGCN (Indonesia Global Compact Network) yang menjelaskan alasan bagi dunia bisnis untuk menghargai HAM.

“HAM bagi bisnis bukan biaya, tapi akan membawa banyak manfaat bagi bisnis itu sendiri,” tegas Presiden IGCN yang juga merupakan anggota Board Global Compact di New York ini.

Junardy mengemukakan sembilan dampak positif kalau bisnis dan HAM berjalan harmonis.

“Perusahaan tidak hanya perlu law license, tetapi juga social license. Penghormatan terhadap HAM merupakan faktor utama mendapatkan social license ni,” jelas Junardy.

Selain itu, kata dia,  penghargaan HAM dalam operasional bisnis juga akan meningkatan reputasi perusahaan, product compliance, kesetiaan konsumen maupun karyawan.

Semua ini tentunya berujung pada naiknya produktivitas, menjamin kesinambungan usaha, dan turut menyumbang perdamaian lingkungan sekitar dan dunia secara umum.

Upaya menyelaraskan bisnis dan HAM

Berbagai program yang digagas pihak-pihak yang peduli terhadap keselarasan bisnis dan HAM meliputi: pembuatan rencana aksi nasional, peningkatan kesadaran dan kapabilitas pemangku kepentingan, penelitian akademis, audit HAM dalam bisnis, dan membangun sinergi pihak pemerintah dan pebisnis serta LSM.

Panduan yang bisa digunakan dapat dilihat pada situs resmi PBB. Salah satu pedoman dalam Bahasa Indonesia adalah buku Bagaimana Menjalankan Bisnis dengan Menghormati Hak Asasi Manusia.

Panel diskusi. (Royani Lim)

Buku yang disadur  Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat  (ELSAM) dari Global Compact Network Nederlands ini bisa diunduh di website ELSAM.

Hasil strategi yang telah dijalankan memang belum terlihat dampak secara luas. Paparan pembicara dalam Business & Human Rights Regional ini lebih di tataran konsep. Praktik-praktik dari perusahaan multinasional yang diceritakan oleh manajer CSR dalam panel diskusi tidak secara gamblang menunjukkan data statistik keselarasan HAM dalam bisnis di perusahaannya.

Misalnya kasus penguasaan tanah di Ketapang untuk dikonversi menjadi lahan kelapa sawit secara tidak etis, dilakukan tidak langsung oleh perusahaan tetapi lewat pihak ketiga. Perusahaan menjaga tetap  ‘bersih diri’ dengan sengaja menggunakan jasa outsourcing ke pihak lain.

Masih jauh jalan menuju terwujudnya HAM yang ideal dalam bisnis. Tetapi upaya dan niat baik tentu patut diteruskan dan diapresiasi. Kesadaran, pengetahuan, analisis, dan refleksi yang berwujud pada aksi nyata terukur diperlukan, dengan sinergi dari semua pihak yang terlibat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here