BEBERAPA waktu lalu, seorang karib berkata pada saya tentang sosok Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Maarif:
“Buya telah mencapai taraf kedamaian spiritual. Orang Jawa bilang, ilmunya telah menep atau mengendap dalam, bukan lagi di bagian perasaan atau pikiran, tetapi di kolbu. Padahal, ia dulu fundamentalis.”
Saya tercenung.
“Buya kini satu frekwensi dengan Franz Magniz, bahkan dengan Gus Dur, Gus Mus dan Cak Nur. Bahasa mereka sama, bahasa kemanusiaan yang paling dalam. Kata-katanya menjadi sederhana, tak sulit dicerna, tetapi sampai pada tujuannya, sumeleh, jembar, ayem tentrem.”
Saya lalu teringat pada pemikiran dosen saya, Franky Budi Hardiman, di buku Heidegger dan Mistik Keseharian, yang bertutur bagaimana kehidupan sunyi filsuf Jerman, Martin Heidegger, yang dijuluki Sang Pelihat dari Messkirch. Franky punya kata-kata indah untuk Heidegger yang hidupnya ngajar di kampus dan pulang ke rumah, ngajar lagi di kampus dan pulang lagi ke rumah—persis kehidupan seorang Buya, guru besar di IKIP Jogja dan pulang ke rumah di Godean, ngajar di kampus dan pulang ke Godean—ia adalah pelihat yang mencapai keheningan, penutur peristiwa yang kelewat biasa dan remeh. Tetapi, konteks apa yang membuat Buya pantas digelari sang mistikus keseharian?
Globalisasi melahirkan dua hal:
- Hasrat kapitalis dengan budaya konsumeris, serta
- Rutinitas yang menjemukan.
Manusia umumnya terseret, melebur dalam roh kapitalisme, berjuang sekuat tenaga mereguk semua yang hedon dan glamor dalam sorotan perabadan, tetapi terbelenggu dalam lingkaran rutinitas. Ketika sorotan itu mulai memudar dan ia menjadi letih, sekuat tenaga hal itu dilawan agar kembali terang dan segar, begitu seterusnya: pudar-letih-terang-segar-pudar-letih-terang-segar-pudar-letih… Semua gerak rutin ini tanpa kesadaran dipicu oleh belitan kegelisahan, kecemasan, dan ketakutan akan kehilangan eksistensi di panggung kehidupan. Bukan kegelisahan karena batas ‘adanya’ atau kematian, tetapi kegelisahan karena tak lagi kondang, nyaman dan nikmat.
Di sisi lain, manusia yang unggul mampu menjaga jarak dari dunia material, tidak terseret arus besar peradaban dan tenggelam dalam waktu. Ia mampu menjaga jarak dari rutinitas dan eksis secara otentik. Ia mampu melihat kehidupan secara bening, transparan, dan semakin hening. Kesadarannya dilatari kegelisahan dan kecemasan eksistensial, menyadari batas kemanusiaan adalah kematian. Semakin hal itu disadari maka semakin dalam pula ia merasakan hidup dalam waktu obyektif dan mampu memberi makna-makna untuk setiap pilihan hidupnya.
Maka, kita bisa menafsir lebih dalam tulisan Afnay Malay, (Dua Sahabat, Amien dan Syafii. 10/11/2016). Kita memberi bingkai yang transparan bagaimana sosok yang satu, Amien, selalu gelisah dan cemas mencerna eksistensinya di dunia material ini. Bagaimana waktu objektif akan menelan dan membuatnya tak lagi punya arti. Kegelisahan dan kecemasan yang superfisial, beredar soal kemasan dan pesona manusia.
Sementara, sosok yang satunya, Buya, sudah melalui kegelisahan eksistensialnya, dan mampu berjarak dari dunia material. Maka, apa yang bagi Amien masih terus menggairahkan dan harus selalu diraih bahkan dikuasai, bagi Buya bukan lagi hal-hal esensial dari kefanaan manusia. Maka, Buya menggemari laku yang memelihara kesahajaan, mesu-budhi, jauh dari kesenangan dan kemewahan dunia.
Ketika Amien masih meriung dalam keriuhan duniawi, Buya sudah masuk alam hening, di mana kehidupan, dunia dan akherat tidak lagi dikotomis atau sekuens dimensional. Melainkan, sebuah satu kesatuan proses, bagaimana kehidupan saat ini memiliki makna positif bagi dunia yang terhubung pada akherat. Yang baik di dunia ini menyambung yang Ilahi, sebaliknya yang buruk merusak hubungan dengan yang Ilahi.
Ironisnya, manusia yang sudah manep, yang dalam tasauf digelari sufi atau dalam kekatolikan disebut mistikus, masih saja dicerca dan dihina. Sang pencerca dan sang penghina itu selalu memiliki ciri yang sama, sekawanan mahkluk berjiwa kerdil, banal kesadarannya dan tumpul akal sehatnya. Yang lalu mudah dibodohi dan dijadikan alat-alat untuk pembusukan kebaikan dan pengeroposan keluhuran budi. Sekawanan pengikut yang menggonggong keras saat sang majikan terganggu kepentingannya, tanpa tahu apa isi kepentingan yang digonggongnya.
Maka, kita tahu betul tentang kaum seperti ini, tak ada satu pun yang berpikir apalagi merasakan. Karenanya, seorang nabi sekalipun tak bakal membuat hati mereka yang degil itu menjadi baik, bahkan bakal mereka cerca dan hina serta salibkan, karena mengganggu kualitas iman mereka—yang sesungguhnya mereka sendiri tidak nyaman beriman.
Buya manusia manep, melihat dunia ini dengan mata yang berbeda. Satu frekwensi dengan Magniz, Gus Dur, Cak Nur, Gus Mus dan semua yang memilih jalan yang jarang dilalui manusia kebanyakan, apalagi yang mudah kebakaran jenggot.