Cak Narto Sudah Ketemu Idolanya: Didi Kempot

0
344 views
Didi Kempot by Ist

NAMANYA Sunarto, kerjaannya menjadi pengemudi kantor. Posturnya tinggi besar, kulit legam, kumis melintang di atas bibirnya. Karena berasal dari Jombang, Jawa Timur, kami memanggilnya Cak Narto.

Cak Narto adalah pengemudi favorit. Mengemudi dengan terampil, sikapnya ringan-tangan, wajahnya ramah, pelayanannya prima. Satu hal yang mengesankan adalah kesiapannya memutar musik melalui kaset atau CD yang dibawanya. Nampaknya, ia penggemar lagu-lagu Indonesia.

Suatu hari, sekian belas tahun lampau, dia menyajikan lagu-lagu ber-genre campursari, berbahasa Jawa. Volumenya agak keras.  Ia ikut berdendang perlahan-lahan. Kemudian kami tahu, itu lagu-lagu Didi Kempot.

Waktu itu, Didi Kempot adalah penyanyi yang baru kami kenal. Tapi, karena lagunya ringan dan mudah dicerna, kami langsung hafal. Kami akrab dengan beberapa di antaranya. Tak hanya itu, kami jatuh hati dan mulai ikut menyanyikan Setasiun Balapan, Sewu Kutho”, Layang Kangen  atau Cidro.

Agak berbeda, Cak Narto kesengsem berat dengan lagu  Cintaku Sekonyong-konyong Koder.  Meski fasih berbahasa Jawa, saya tak paham betul makna judul itu. Sampai sekarang pun, tak tahu persis, apa itu arti koder. Kami sering “terpaksa” mendengarkannya sambil sekali-kali mengikutinya. Jadilah paduan suara sumbang terdengar di mobil itu.

Suatu malam, sekirar 7 tahun lalu, saya mendengar Cak Narto dirawat di rumah sakit.  Kabarnya, dia kena serangan stroke. Belum sempat kami menengok, berita duka menyusul mengagetkan kami. Cak Narto meninggal dunia.

Kami sedih, kehilangan seorang teman-kerja yang luar biasa. Pengabdiannya sebagai seorang pengemudi sangat mengesankan. Yang paling dominan tentunya warisan lagu-lagu Didi Kempot.

Satu hal yang barusan terpikir adalah “kekuatan” mengirim pesan dari lagu-lagu Didi Kempot.  Lagu-lagunya yang (dulu) baru digemari kalangan grass root dengan mudah dibawa Cak Narto kepada kami. Beberapa di antaranya kami hafal, sampai sekarang. Sekaligus membuktikan bahwa lagu-lagu Didi Kempot tak mempunyai batas untuk dinikmati, siapa saja.

Ketika dua pekan lalu saya mendengar Didi Kempot meninggal dunia, ingatan saya langsung terbang ke Cak Narto.

Seolah-olah terdengar kembali alunan suaranya saat menyanyikan lagu kesukaannya, Koder. Terkenang sekian tahun lampau, Cak Narto dengan wajah jenaka, sambil kadang-kadang tersenyum, melihat kami tak mampu mengikuti Didi kempot yang seolah sedang berduet dengan dia.

Bayang-bayang berikutnya muncul seolah Cak Narto sedang “bertemu” idolanya dan minta dinyanyikan lagu kesayangannya. Mungkin tidak hanya sekali. Mereka belum sempat tatap muka, ketika masih sama-sama di dunia.

Cak Narto ikut membuktikan bahwa lagu-lagu Didi Kempot menerjang kalangan tanpa batas. Kaya atau miskin, tua dan muda, sekolahan mau pun preman pinggir jalan, laki-laki dan perempuan, pejabat maupun rakyat

Ketika tahun lalu diminta untuk ikut bedah buku berjudul “#MO, Sebuah Dunia Baru yang Membuat Banyak Orang Gagal Paham”, karangan Profesor Rhenald Kasali, saya mengambil “gelombang kedua ketenaran Didi Kempot” sebagai fenomena #MO (Mobilisasi dan Orkestrasi).

Bloentank Poer (sesepuh Rumah Blogger Indonesia/RBI) dan Gofar Hilman (penyiar dan YouTuber) saya “tuduh” sebagai “dalang” yang melakukan “orkestrasi” dan “mobiliasi” kebangkitan kembali Didi Kempot. 

Mungkin mereka tak sengaja, tapi pola yang terjadi, mirip dengan apa yang ditulis di buku itu. Tagar bermunculan, the main is no longer the main, muncul kesempatan baru dan the old power yang diganti dengan the new power

Ditutup dengan sosok Didi Kempot yang menjadi “The Lord of Broken Heart”.

“Halalbihalal RBI” (Mei 2019) dan “Munas Loro Ati Nasional” (Juli 2019) adalah dua acara di Taman Balekambang, Solo,  yang menjadi titik awal, bagaimana kaum muda dari segala strata sosial seolah dihipnotis mencintai Didi Kempot. 

Tanpa diduga, antusias penonton luar biasa. Media sosial menggarapnya kemudian. Mereka ikut menyanyikan lagu-lagunya, meski sebagian tak mampu berbahasa Jawa. Setelah itu, laju Didi Kempot tak tertahankan lagi.

Meski mereka berasal dari “rahim” yang sama, yaitu masyarakat kalangan bawah,  Cak Narto dan Didi Kempot, tak pernah bertemu di dunia ini. Ketenaran Didi Kempot dan kesetiaan melayani Cak Narto adalah kehebatan mereka.

Tiba-tiba teringat bisikan dari sahabat saya, Hernowo Sugiri, yang berkomentar atas meninggalnya Didi Kempot. Akhirnya, kedua anak manusia ini sekarang sudah bertemu di “Atas Sana”, karena semua panggung duniawi, ada akhirnya.

Sic Transit Gloria Mundi. Demikian bunyi pepatah Latin.

@pmsusbandono

11 Mei 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here