[media-credit name=”Ulul Huda” align=”alignleft” width=”150″][/media-credit]SUBSTANSI ibadah puasa secara sederhana adalah ritual menahan hawa nafsu. Sayangnya, kultur masyarakat di Indonesia dalam praktiknya terkesan mengabaikan tujuan yang mulia itu. Akibatnya, orientasi ibadah saum pun tereduksi menjadi praktik ‘balas dendam’, melampiaskan hawa nafsu yang terpendam selama berpuasa.
Idul fitri yang sejatinya merupakan simbol kemenangan spiritual berganti menjadi titik kulminasi budaya konsmutif yang materialistis . Tulisan ini merupakan kritik terhadap kultur sosial, bukan dogma teologis, yang menggejala selama bulan suci Ramadan.
Balas dendam
Setiap tahun umat muslim di Indonesia diberi kesempatan untuk berpuasa. Selama itu juga mereka diberi media yang intensif untuk mendekatkan diri secara spiritual dengan Ilahi dan berbuat amal terhadap sesama. Namun kesempatan itu tidak selalu dimanfaatkan dengan baik.
[media-credit name=”Google” align=”alignleft” width=”150″][/media-credit]Di berbagai wilayah pedesaan, nuansa bulan puasa yang khalis masih dapat dirasakan. Di tengah modernitas yang membelenggu, masyarakat pedesaan masih setia dengan orientasi puasa yang telah diwariskan secara turun-temurun. Bahkan, masyarakat desa masih rutin berpuasa di luar bulan Ramadan.
Istilah mutih atau puasa senin dan kamis menjadi bukti bagaimana mereka menghayati kebutuhan spiritualnya. Inti dari kultur ini adalah kesederhanaan. Mutih adalah sebuah kebiasaan yang bersumber dari salah satu aspek agraris masyarakat desa yaitu subsisten.
Masyarakat desa telah terbiasa menjadi kelompok yang bersahaja. Sifat ini, misalnya, mereka tunjukkan secara gamblang dalam hal bercocok tanam. Orientasi bertani bagi masyarakat pedesaan tradisional adalah sekedar memenuhi kebutuhan pribadi atau komunal, tanpa tujuan untuk mencari keuntungan. Lebih dari itu, hasil panen pun mereka simpan dalam lumbung desa yang bersifat kolektif.
Mekanisme yang diterapkan sesuai dengan prinsip subsisten itu, mengambil sesuai kebutuhan sehari-hari. Bila ada kelebihan, baru mereka jual. Itu pun bukan untuk kepentingan menumpuk kekayaan, tetapi sekedar tambahan untuk memenuhi kebutuhan harian yang mendesak.
[media-credit name=”Google” align=”alignright” width=”300″][/media-credit]Bertolak belakang masyarakat pedesaan, kaum urban memaknai bulan puasa sesuai dengan dominasi budaya populer yang identik dengan praktik konsumtif. Nilai spiritual saum yang seharusnya menonjol berganti menjadi simbolisme material. Hampir setiap sore, kaum urban memadati perempatan-perempatan jalan sekedar menunggu waktu berbukan puasa, ngabuburit.
Mereka sekedar mengerubuti para pedagang makanan dan minuman yang kewalahan melayani permintaan yang membludak. Sebagian lagi menghabiskan waktu untuk sekedar duduk dan berbicara dengan koleganya. Selain itu, acara buka bersama yang seharusnya menjadi ajang silahturahmi pun berubah menjadi praktik konsumtif yang berlebihan. Misalnya, sejumlah makanan dipesan dan seringkali berlebihan sehingga tidak habis dimamah.
Fenomena ini bukan saja memakan biaya yang cukup besar, tetapi juga tidak meresapi makna mulia di balik ibadah itu. Ritual saum, bagi kaum urban telah tereduksi menjadi praktik ‘balas dendam’ yang materialistis.
Gejolak harga
Sepanjang bulan puasa dan lebaran di tahun 2010 lalu, The Nielsen Company (TNC) mencatat peningkatan penjualan makanan dan minuman sebesar 24% di supermarket dan 19% di minimarket dibandingkan bulan biasa. Tahun 2009, TNC juga mencatat permintaaan daging dan jenis komoditi pokok di pasar tradisional meningkat tiga kali lipat.
[media-credit name=”Antara” align=”aligncenter” width=”300″][/media-credit]Peningkatan konsumsi masyarakat juga terkonfirmasi dari persiapan kalangan perbankan menghadapi puasa dan Idul Fitri. Tahun 2010 lalu, BCA menyiapkan kebutuhan dana cash menjelang puasa dan Idul Fitri sebesar Rp 10 triliun, meningkat 12,5% dibandingkan dengan hari biasa. Sementara BRI mencatat pencairan pinjaman komersial, baik oleh nasabah baru maupun nasabah lama, menjelang bulan Ramadan sebesar Rp 1,5-2 triliun, atau meningkat 20%-22% dibandingkan posisi tahun sebelumnya.
Sementara proyeksi Bank Indonesia (Juli 2011), kebutuhan uang sepanjang puasa hingga Lebaran mencapai Rp 61,36 triliun, naik sebesar 12% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2010 lalu sebesar Rp 54,78 triliun.
Pemicu inflasi pada bulan puasa dan Lebaran merupakan simptom gabungan dari peningkatan konsumsi masyarakat, penukaran receh baru, peningkatan mobilitas, dan peningkatan jumlah uang beredar. Dalam lima tahun terakhir (2005-2011), uang beredar dalam arti sempit atau m1 naik rata-rata 4,35 persen menjelang momen puasa dan Lebaran.
Tahun 2011, pantauan BPS di pasar komoditi menunjukkan harga beras yang paling banyak dikonsumsi masyarakat pada pekan ketiga juli 2011 naik 16,44% dibandingkan dengan Juni 2010. Beras paling murah juga naik 15%. pada periode yang sama, harga minyak goreng naik 8,95%, bawang merah 13,35%, telur ayam 12,10%, daging sapi 6,29%, dan gula pasir 2,60%. sebaliknya, harga cabai mengalami penurunan tajam hingga mencapai 67,78%.
Jika kita menengok data 2005-2009, kenaikan harga barang-barang menjelang puasa hingga Lebaran rata-rata mencapai1,56%. Inflasi tertinggi di awal puasa terjadi di tahun 2005, yakni saat harga BBM naik sampai 126% tiga hari menjelang puasa. Saat itu inflasi bulanan mencapai 8,7% dan naik lagi menjadi 1,31% saat Lebaran. (Bersambung)
Ulul Huda MA, mengasuk pondok pesantren Al Hidayah di Karangsuci, Purwokerto; bersama para aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU) ikut membentuk Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.