SAYA seorang kepala keluarga Katolik dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga Katolik yang kental. Saat ini, saya memiliki tiga anak lelaki yang sangat baik dan patuh pada orang tua. Sifat dan karakter mereka berbeda satu sama lain, tetapi saling menghargai dan menghormati sesama saudara. Ini yang saya kagumi dari ketiga anak lelaki saya ini.
Pada suatu waktu, pertengahan tahun 2007, keluarga saya hadir dalam misa pagi di Kapel Susteran SFIC St. Antonius, Sui Jawi, Pontianak. Pada tahun itu, masih berdiri kapel yang lama dan sederhana.
Pagi itu, misa dipimpin oleh Pater Petrus (sapaan akrab alm. Pater Simon Petrus Rostandy, OFMCap) pada pukul 05.30 WIB seperti hari-hari lainnya. Pada hari Minggu tersebut diumumkan bahwa uang kolekte hari itu akan disumbangkan untuk pendidikan para calon imam di Sumatera.
Dalam khotbah yang singkat, jelas, dengan bahasa yang dirangkai secara sederhana, sungguh mudah dipahami, beliau mengatakan kepada seluruh umat, dengan mengutip pemberian sedekah janda miskin, “Firman Allah betul-betul hidup.”
Kemurahan Tuhan
Saya tersentak mendengar kalimat pada akhir tersebut. Ada sentuhan dan gerakan roh yang membuat saya selalu mengenangnya hingga detik ini.
Saya merasakan kemurahan Tuhan hadir bersama keluargaku sampai pada hari ini. Kemurahan yang selalu diberikan tak pernah putus, yang nyata dalam suatu tindakan kasih Tuhan melalui keberhasilan para putraku.
Dalam khotbah yang menyentuh itu, saya tergugah untuk memberi seperti seorang janda miskin sesuai dengan perikop yang dibacakan pada hari itu.
(Bdk. Mrk 12:43-44: Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kekurangannnya, semua yang ada padanya yaitu seluruh nafkahnya).
Dilanjutkan lagi dalam kotbahnya, Pater Petrus dalam kalimat tanya berkata, “Pernahkah satu dari sekian banyak umat, pada saat memberikan kolekte, uang yang ada di dalam dompet saudara-saudari dikeluarkan semua untuk disumbangkan? Dan bukan berarti pada saat misa selesai, saat kita kembali ke rumah, maka dompet kita akan dipenuhkan kembali oleh Tuhan. Ingat, Tuhan punya banyak cara untuk membalasnya; Ia sudah mengaturnya untuk kehidupan kita di masa datang.”
Pemberian berharga bukan diukur dari banyak atau sedikitnya yang kita berikan, melainkan lebih besar artinya lagi ketika kita mampu memberi dari segala kekurangan. Tuhan akan terlibat di dalamnya untuk melengkapi kekurangan itu.
Balasan Tuhan tak berkesudahan melihat hati yang berbagi penuh ikhlas justru dari rasa kurang itu. Tentu balasan Tuhan hadir dalam aneka rupa pada tiap-tiap orang.
Tuhan punya banyak cara untuk menyatakan kehadiran-Nya itu kepada umat manusia.
Beliau menekankan, selain firman yang sungguh hidup, kita harus belajar untuk percaya akan Dia yang hadir dalam sabda-Nya itu.
Misa berlangsung seperti biasa. Sampai pada saat kolekte, bakul persembahan tiba di tempatku. Secara spontan aku mengeluarkan seluruh isi dompetku dan tidak sepeser pun tertinggal.
Tak kuhitung lagi berapa nominal yang kuberikan pada saat itu, padahal biasanya aku memilih lembaran mana yang layak kuberikan sesuai hati nuraniku. Kondisi dompetku kosong melompong, namun aku abaikan semua itu. Entah apa yang menggerakkan hati dan tanganku sehingga tiada lagi perhitungan untuk memberikannya kala itu.
Aku tercengang ketika anak pertamaku, Erwin yang duduk di sampingku berbisik di telingaku:
- “Apakah Papa tahu apa yang baru saja Papa lakukan?”
- Tanyaku kembali “Apakah kamu tidak mendengar khotbah pastor Petrus tadi?”
Anakku Erwin diam dan tersenyum tanpa menyahut.
Firman itu nyata
Waktu berlalu. Peristiwa itu seakan lewat begitu saja dan tak ada artinya. Kami bahkan melupakannya untuk waktu yang cukup panjang.
Selang beberapa bulan, saya menerima kabar luar biasa. Erwin anakku mendapatkan beasiswa pendidikan S-2 ke luar negeri di Taiwan setelah menamatkan pendidikan S1 di ITB. Padahal telah dikabarkan sebelumnya bahwa Erwin tidak mendapat beasiswa lagi karena sudah memenuhi kuota. Namun, Erwin berusaha menanyakan kembali agar dipertimbangkan untuk mencari beasiswa tersebut, sebab dari pihak keluarga pada masa itu mengalami kesulitan keuangan untuk mendanai sendiri kuliah S-2 Erwin.
Saya tersadar akan kotbah Pater Petrus pada hari yang lama berlalu.
Segera kusampaikan pada anakku:
- “Inilah firman Tuhan yang hidup. Dia selalu memenuhi dan menggenapi firman-Nya.”
Erwin tersenyum tanda mengamini perkataanku. Dan bukan itu saja, Tuhan memberikan kelimpahan berkat pada keluargaku bahwa selain mendapat beasiswa pendidikan S2, ia juga melanjutkan ke jenjang S-3 dengan beasiswa hingga selesai.
Aku mengalami sungguh bahwa semua ini balasan Tuhan dengan cara-Nya yang ajaib, mendebarkan dan membahagiakan. Cara yang tak pernah teramalkan sebelumnya.
Tuhan menganjar kemurahan hati
Selang beberapa tahun kemudian, Tuhan tak berhenti menunjukkan kelimpahan-Nya dalam keluargaku.
Aswin Lim, anak kedua saya, setelah menamatkan pendidikan di Universitas Parahyangan, kembali mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di National Taiwan University Science and Technology. Sebuah universitas ternama di Taiwan yang berdiri tanggal 1 Augustus 1974.
Aswin memperoleh kesempatan menyelesaikan S-3 sekaligus di National Taiwan University of Science and Technology yang merupakan universitas teknik pertama di Taiwan dengan sistem pendidikan kejuruan. Dari universitas teknik ini diharapkan muncul lulusan yang mampu menjawab tantangan perkembangan ekonomi dan industri yang cepat dari negara Taiwan.
Alangkah bahagia dan harunya kami sebagai orangtua diberi jalan terbaik bagi anak-anak kami. Saya tak pernah berhenti bersyukur oleh karenanya.
Dan sungguh kasih Tuhan seperti air mengalir dan terus mengalir tiada henti dalam keluargaku.
Putra bungsuku, Edwin, yang baru menyelesaikan pendidikan S-1 di ITB, memperoleh beasiswa S2 hingga selesai S3 di negara adidaya. Yakni, di Georgia Institute of Technology, Atlanta yang berdiri sejak 13 Oktober 1885.
Tidak pernah kumimpikan Edwin akan mengenyam pendidikan di Georgia Institute of Technology, yang juga dikenal sebagai Georgia Tech, di mana merupakan perguruan tinggi berpangkat tinggi dan salah satu universitas riset terkemuka di Amerika Serikat. Georgia Tech memberikan pendidikan yang berfokus pada teknologi kepada lebih dari 25.000 mahasiswa sarjana dan pascasarjana di bidang mulai dari teknik, komputasi, dan sains, hingga bisnis, desain, dan seni liberal.
Selama 50 tahun pertama, Tech tumbuh dari sekolah perdagangan yang terfokus secara sempit ke universitas teknologi yang diakui secara regional.
Pada tahun 1948, nama sekolah diubah menjadi Institut Teknologi Georgia untuk mencerminkan fokus yang berkembang pada penelitian teknologi dan ilmiah mutakhir.
Edwin menyelesaikan S3 pada tahun 2017 di universitas yang menerima mahasiswa perempuan pada tahun 1952 untuk mengenyam pendidikan lanjutan, dan pada tahun 1961, Georgia Tech menjadi universitas pertama di Deep South yang mengakui siswa Afrika-Amerika tanpa perintah pengadilan.
Maka ketiga putraku, menyelesaikan pendidikan mereka di fakultas tehknik sipil dengan baik, lancar, memuaskan dan tentu membahagiakan. Pengalaman ini sungguh teramat luar biasa bagiku dan isteriku.
Sungguh takkan pernah terlupakan dalam hidup kami.
Hatiku sangat tersentuh-terkenang kembali kotbah alm. Pater Petrus yang pernah menggugahku dalam kotbahnya semasa hidupnya. Tuhan menyapaku untuk senantiasa menjadi orang yang rendah hati dan murah hati berbagi.
Tuhan akan mencukupkan segala kekurangan itu. Dan buahnya amatlah manis dalam hidup keluargaku hingga kini.
Semoga lewat sharing ini, banyak orang tergugah untuk memberi tanpa pamrih karena tugas kita sebagai manusia ialah berbuat baik dan terus berbuat baik dalam keadaan susah sekalipun.
Inilah salah satu pengalaman rohani yang senantiasa menguatkan imanku, dan keluargaku.
Teriring salam dan doa bagi semua keluarga Katolik di manapun Anda berada.
PS: Pengalaman rohani keluarga Bapak Andry, seorang insinyur dan dosen dan ditulis kembali oleh Sr. Laura SFIC di Pontianak.