Renungan Harian
Kamis, 8 Juli 2021
Bacaan I: Kej. 44: 18-21. 23b-29; 45: 1-5
Injil: Mat. 10: 7-15
SUATU sore, saya kedatangan tamu seorang bapak ingin berkonsultasi. Bapak itu memperkenal diri bahwa dirinya berasal dari luar kota. Juga ia sebenarnya beragama katolik, namun sudah hampir 30 tahun meninggalkan Gereja.
Setelah memperkenalkan dirinya dan berbasa-basi sejenak, bapak itu mulai bercerita.
“Romo, saya lahir dan besar sebagai orang Katolik dan bertumbuh dalam keluarga Katolik. Sejak kecil, saya sudah aktif dalam kehidupan menggereja.
Saya ikut menjadi misdinar, saya aktif di mudika. Saat itu kegiatan saya banyak di Gereja.
Demikian juga, ketika saya kuliah saya aktif bahkan menjadi Ketua KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik). Perjalanan saya menjadi berbelok, ketika saya bekerja.
Saya jatuh cinta dengan teman kerja yang beragama lain.
Pada waktu itu keluarga sudah mengingatkan, tetapi saya merasa bahwa saya tidak akan meninggalkan iman saya.
Dalam perjalanan, ketika kami mulai serius akan melanjutkan hubungan kami ke jenjang perkawinan, keluarga pacar saya menuntut agar saya ikut agama pacar saya.
Romo, waktu itu saya tidak berpikir panjang, karena saya tidak mau kehilangan dia. maka saya setuju.
Maka terjadilah saya menikah menurut agama isteri dan mengikuti keyakinannya.
Keluarga amat marah dan tidak mau datang pada waktu perkawinan kami. Kira-kira setelah lahir anak kedua, keluarga baru bisa menerima kami.
Romo, hidup berkeluarga kami baik-baik dan bahagia, namun dalam hidup beragama saya sungguh mengalami kesulitan.
Selama ini, saya ikut ibadah berdoa dengan keyakinan baru saya. Namun saya tidak menemukan rasanya.
Saya selalu merasa tidak berdoa dan belum menemukan sesuatu yang saya cari.
Saya selalu gelisah dan merasa bahwa bukan ini yang seharusnya aku jalani dalam hubungan saya dengan Tuhan.
Romo, apakah masih mungkin bagi saya untuk kembali ke Gereja Katolik,” bapak itu mengakhiri ceritanya.
“Bapak, Tuhan Mahacinta dan Maharahim maka akan selalu terbuka untuk menerima. Nah, langkah yang harus ditempuh adalah membereskan perkawinan bapak dalam Gereja Katolik. Oleh karenanya, bapak berbicara dengan isteri apakah mengizinkan bapak untuk kembali ke Gereja Katolik. Juga apakah isteri bersedia, kalau perkawinannya dibereskan dalam Gereja,” begitu saya menjelaskan.
“Baik Romo, saya akan bicara dengan isteri saya. Mohon doa ya Romo, agar isteri saya merelakan,” bapak itu menjawab.
Dua pekan kemudian, bapak itu datang lagi menyampaikan kabar gembira bahwa isteri dan anak-anaknya setuju dan merelakan kalau bapak itu kembali menjadi Katolik.
Bahkan isterinya mau, kalau perkawinannya dibereskan dalam Gereja Katolik. Bahkan anak-anaknya mau datang untuk melihat saat perkawinannya dibereskan.
“Romo, ini mukjizat besar bagi saya. Saya butuh cari waktu untuk bicara dengan isteri, saya khawatir kalau pembicaraan ini menjadi sumber keretakan keluarga saya.
Tetapi ternyata ketika saya bicara, isteri saya bisa menerima dengan lapang dan bahkan mendukung. Romo, saya merasakan bagaimana cara Tuhan menuntun saya.
Saya yang tidak tahu harus bagaimana dan hanya bisa pasrah sembari berusaha semampu saya,” bapak itu mengungkapkan kegembiraannya.
Tuhan selalu punya cara untuk menyelamatkan umatnya, sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Kejadian, Yusuf yang dibuang oleh saudara-saudaranya menjadi sarana untuk menyelamat keluarga Israel dari bahaya kelaparan.
“Tetapi sekarang janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri karena kalian menjual aku ke sini, sebab demi keselamatan hidup kalianlah Allah menyuruh aku mendahului kalian ke Mesir.”
Bagaimana dengan aku?
Bagaimana aku melihat pengalaman penderitaan dalam hidupku?