KINI di banyak kota, kita masih bisa menjumpai kereta, dokar maupun andong. Sebagian dari mereka masih dipergunakan sebagai alat transportasi atau pariwisata. Di Balai Budaya Rejosari kami juga memiliki dokar beroda dua pemberian seorang sedulur dari Salatiga.
Dari dokar atau andong itu yang menarik adalah roda. Roda dari kayu yang besar, ruji-ruji dari kayu serta pusatnya yang besar itu bisa memikat banyak orang. Tak mengherankan kita menemukan banyak roda dokar dipajang di lahan pertanian, gerbang masuk rumah, depan toko atau dinding restoran.
Baca juga: Catatan Bersahaja Omah Kuldi: Simbol Api dan Pengutusan
Roda ini bagi banyak orang membantu untuk permenungan pentingnya hidup yang dihidupi dari pusat. Bila kita bergerak bersama pelek atau lingkarannya, kita dapat menggapai satu ruji dengan ruji yang lain. Namun tatkala kita tinggal di pusat, kita dapat bersentuhan dengan semua ruji yang lain sekaligus.
Bergerak ke pusat
Berdoa berarti bergerak ke pusat kehidupan dan pusat cintakasih. Semakin kita dekat dengan pusat kehidupan semakin dekat juga dengan semua yang menerima energi dan kekuatan darinya. Kita cenderung terpecah belah oleh keragaman ruji kehidupan hingga kita sibuk dengan apa yang bukan inti atau esensi kehidupan. Kita seolah sibuk dengan banyak hal namun tidak berfokus. Dengan mengarahkan perhatian kita ke jantung kehidupan, kita tetap menjalin kontak dengan keragaman yang kaya namun tetap memusat (centered).
Apa yang dimaksud dengan pusat? Kiranya ini menunjuk hati kita sendiri, jantung hati Allah, hati dunia. Tatkala kita berdoa, kita memasuki kedalaman hati sendiri, dan di sana berjumpa dengan jantung hati Allah yang berbicara kepada kita tentang cintakasih. Dan kita menyadari bahwa disanalah tempat saudara kita, laki-laki maupun perempuan bersaudara satu sama lain. Paradoks terbesar dalam hidup rohani sesungguhnya adalah “the most personal is most universal, the most intimate is most communal, the most contemplative is most active”.
St. Jerome pernah mengatakan, “Plato menempatkan jiwa manusia di kepala, Kristus menempatkannya di hati”.
Apa pun makna dari pernyataan ini, kita melihat bahwa manusia modern memang kurang berkembang dalam relasinya dengan hati. Namun kita menyadari bahwa hati manusia merindukan sesuatu yang lebih. Jika seseorang tidak mampu membantunya menemukan agama yang sesungguhnya dan relasi dengan Allah yang sejati, dia akan terus mencari pemenuhan dalam pengalaman religius esoterik, mencari guru-dukun-paranormal yang bisa saja menyesatkan. Ada kevakuman yang besar dalam hati yang perlu diisi. Dalam dunia yang sedang mencari ini dia bergelora untuk menemukan kecantikan, persaudaraan, sharing, damai, sukacita, kebersamaan, puisi, penyembahan, dan Allah yang peduli.
Kita kian mengamini konsensus bahwa tujuan manusia bukanlah mengeksploitasi alam namun justru siiring seirama dengan alam, bukan mengeksploitasi sesama manusia namun membantu. Tatkala kita seiring seirama dengan sesama, daya kreativitas kita terbangunkan. Produktivitas bukanlah tujuan gila-gilaan namun hasil yang subur. Hasil itu kian sempurna tatkala manusia mengkaitkannya dengan Allah. Dalam cara pandang ini, segala sesuatu memiliki makna sakramental. Segala sesuatu juga berkaitan satu sama lain.
Orang yang memiliki relasi mendalam dengan Allah selalu mengangkat mata dan mengarahkan hati kepada Yang SATU walaupun hidupnya tetap sibuk dengan BANYAK hal. Hati tetap tenang dan hening meski berada ditengah gonjang-ganjing kegaduhan dunia. Ia tetap menanamkan instink manusiawi akan Allah.
Sejak semula panggilan manusia adalah menyatu dengan Allah, dekat denganNya. Di taman Firdaus, manusia mengalami akses yang luar biasa dengan Arsitek semesta yang utama. Panggilan yang sama tetap ada. Yesus menyebut Allah sebagai Abba, Bapa. Yesus berbicara tentang Allah sebagai seseoarng yang amat dekat, amat erat. Dia memperlakukan Allah begitu dekat namun pada saat yang sama memperlakukanNya dengan penghormatan dan pengagungan yang luar biasa. Dia tidak pernah memperlakukan dengan ukuran setengah-setengah atau suam-suam kuku. Menemukan Allah dalam kehidupan kita merupakan perjalanan rohani ke kedalaman. Ini membutuhkan lebih dari sekedar teknik meditasi atau kedisiplinan matiraga tertentu.
Iklim yang dibutuhkan diciptakan melalui latihan spiritual seperti keheningan, kemiskinan, sikap lepas bebas, kemurnian hati, kesederhanaan, kerendahan hati, juga termasuk yang utama adalah kasih dan persahabatan. Ini berarti mendekatkan diri pada Allah ketimbang kepada sesaama.
St. Dorotheus di abad ke enam pernah membandingkan persahabatan itu dengan roda, “semakin ruji-ruji itu bergerak ke pusat, semakin dekat pula ruji-ruji itu satu dengan yang lain”. Seperti doa Paulus dalam Surat kepada Umat di Kolose, “kami tiada henti-hentinya berdoa untuk mau. Kami meminta supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar untuk mengetahui kehendak Tuhan yang sempurna sehingga hidupmu layak di hadapanNya dalam segala hal dan kamu memberi buah dalam segala pekerjaan yang baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yang benar tentang Allah dan dikuatkan dengan segala kekuatan oleh kuasa kemuliaanNya untuk menanggung segala sesuatu dengan tekun dan sabar”. Kol 1:9-11.
“Di dalam kesatuan dengan Dia, kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh” (Ef 2:22).