PADA masa Prapaska nanti, Teater Senthir dari Balai Budaya Rejosari akan mementaskan happening art di Paroki Pati dengan lakon Sumunaring Danapati. Pentas ini terasa “tinuntun jumbuh” karena bersamaan dengan perayaan mengenangkan kesengsaraan Yesus Kristus.
Masa Prapaska menjadi kesempatan untuk menghidupi khasanah warisan simbol gerejani yang amat kaya: jalan salib, mahkota duri, uang, perjamuan makan roti, minum anggur, keringat darah, salib, kokok ayam, jatuh tiga kali, air bercampur darah. Semua simbol itu mencapai dan menyentuh kita bukan hanya bagian dari kesenian, tablo, drama Paska namun masuk ke relung hidup keagamaan kita. Tidak salah orang mengatakan bahwa manusia itu adalah animal symbolicum. Hanya dengan menggunakan simbol-simbol, manusia dapat mencapai potensi dan tujuan hidupnya yang tertinggi.
Dengan menggunakan simbol, kita sesungguhnya mengambil bagian dalam realitas yang membuat kita mampu mengerti. Partisipasi ini pada suatu yang lebih tinggi. Simbol bukanlah sekedar tanda lahir dan kelihatan untuk suatu konsep yang abstrak. Nilainya yang tinggi terletak dalam substansi bersama ide yang disajikannya. Seorang pengarang besar mengatakan dalam simbolisme yang sejati, yang khusus mengungkapkan yang universal, bukan sebagai impian atau bayangan melainkan sebagai wahyu yang hidup, dari yang tidak dapat diduga. Maka seperti pernah ditunjukkan pengarang lain lagi, sebuah simbol itu sampai pada suatu tingkat “tanda tangan imanensi Allah”.
Kini kita hidup dalam dunia yang seolah dikuasai oleh hukum, aturan, fatwa. Bahasa hukum memang harus kaku dan bermakna tunggal. Tidak dimungkinkan penafsiran longgar atas bahasa aturan. Ini gambaran orang cenderung ingin semua seragam, pasti dan tidak diartikan salah. Sementara simbol berarti keterbukaan, berarti menunjuk pada kemungkinan-kemungkinan alternatif, berarti kesiapsediaan untuk mengadakan percobaan dengan harapan akan memperoleh pemahaman yang lebih penuh tentang kenyataan. Oleh karenanya Thomas Mann pernah mengatakan, “Hidup yang menggunakan simbol-simbol berarti kebebasan sejati”.
Simbol api
Dalam happening art kali ini Teater Senthir mengeksplorasi simbol api. Sebagaimana air, api merupakan salah satu bentuk simbolis yang paling kuat dan paling luas penerapannya. Api bisa mengacu pada begitu banyak manfaat dna sekaligus banyak bahaya. Api tidak pernah bisa diperlakukan serampangan tanpa tahu akibatnya. Oleh karenanya pernah ada seruan orang yang melihat api sebagai simbol katarsis tertinggi; Allah kita adalah api yang melalap.
Dalam Perjanjian Lama, kita ingat simbol api yang menawan daya imaginasinya yakni semak bernyala. Api ini memukau, menjadi magnet bagi Musa karena “semak belukar yang bernyala-nyala namun tidak terbakar”. Adegan lain yang dramatis kita lihat saat turunnya api dari langit sebagai jawaban atas permohonan Nabi Elia di atas Gunung Karmel.
Dalam Perjanjian Baru, ucapan Yesus amat terkenal dan misterius saat mengatakan bahwa Ia telah melemparkan api ke bumi.
Selain dalam kitab suci, api memainkan peranan penting dalam banyak mitologi, legenda, puisi, dan dalam sejarah. Di Purwodadi pun ada Perapian Mrapen, suatu panorama alam yang ajaib karena api yang muncul dari kedalaman bumi tak pernah mati. Api berfungsi secara sempurna sebagai simbol yang berhubungan dengan kehidupan, menghangatkan namun juga menghancurkan.
Api juga menjadi simbol pembersihan atau pemurnian yang dramatis. Seorang romo Belanda pernah menceritakan di Eropa ada tradisi pembakaran patung seperti patung Yudas Iskariot. Ketika patung itu dibakar di muka umum timbullah rasa puas yang aneh seolah telah membersihkan tanah dari pengaruh jahat yang berasal dari sumber itu. Meski sesudah membakar patung Yudas Iskariot, orang-orang yang garang itu tidak puas, lalu berkeliling kota membakar rumah-rumah orang Yahudi yang dipercaya bertanggungjawab atas kematian Yesus. Abad kelam kita juga diwarnai oleh pembakaran bidaah dan ahli sihir. Drama api seolah menjadi cara yang paling efektif untuk melenyapkan unsur yang jahat. Pembakaran bendera suatu negara kan menyimbolkan protes publik yang hebat. Pembakaran diri seperti pernah terjadi pada seorang biksu di Vietnam membangkitkan emosi yang amat kuat untuk menentang kebijakan resmi.
Dalam berita tentang kerusuhan atau demo, tidak ada kiasan yang lebih mencolok ketimbang api yang menyala-nyala. Pelemparan bom-bom minyak, pembakaran mobil yang dijungkirbalikkan, pembakaran ban memberikan kepuasan emosional yang liar sebagai simbol perlawanan. Penolakan tatanan yang ada disimbolkan dengan menggunakan api.
Di lain pihak, api menjadi simbol sumber tenaga yang ingin dimiliki manusia. Manusia ingin sekali memiliki dalam dirinya semangat yang berkobar-kobar, gairah yang berapi-api. Kesaksian umat Kristen perdana tentang Pentakosta membangkitkan daya imaginatif yang luar biasa hingga kini. Dikisahkan “tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras… dan lidah-lidah seperti nyala api”. Maka orang Kristen berusaha untuk dibaptis dengan api untuk mempunyai api di dalam hati mereka, untuk berkobar-kobar dengan api ilahi.
Inilah kekuatan dari simbol. Simbol memiliki makna dan nilainya sendiri. Simbol juga membukakan pintu kepada sebuah dunia yang lebih besar, yang penuh dengan ciri-ciri yang tak diketahui sampai saat ini dan bahkan pada akhirnya pada sebuah dunia misteri yang melampaui segala kemampuan deskriptif manusia. Selain itu, simbol juga memiliki daya kekuatan untuk menggerakkan manusia. Karena simbol itu bersifat emotif, ciri hakiki dari simbol adalah merangsang orang untuk bertindak.
Transformasi
Dalam happening art ini akan digambarkan Sang Pengutus yang menyulut api pada sang duta. Duta itu diutus untuk menggelorakan api kepada semua orang meski rintangan dan tantangan menghadang.
Duta itu ada untuk diutus. Duta itu ada untuk membawa api. Duta itu mesti membaptis orang dengan api agar gelora ilahir tertancap di tiap sanubari. Kalau ia sempat berfikir seperti nabi Yeremia untuk tidak mengingat DIA dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi NamaNYA, maka dalam hatinya ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangnya, ia berlelah-lelahuntuk menahannya tetapi ia tidak sanggup.