Tulisan di bawah ini merupakan catatan kecil yang dibuat oleh Superior General Ordo Serikat Jesus Pater Adolfo Nicolas SJ. Catatan mengenai kisah-kisah perjalanan mengemban tugas sebagai misionaris yang dilakoni Santo Jacques Berthieu SJ di Madagaskar (Afrika) mengemuka menjelang dilakukannya acara kanonisasi orang kudus oleh Bapa Suci Paus Benedictus XVI pada Hari Raya Minggu Misi Sedunia, 21 Oktober 2012.
————————
“TAHUN 1875 ia berlayar menuju Pulau Runion dan Sainte Marie, dua pulau koloni Perancis (kini bernama Nosy Bohara) di sekitar Madagaskar untuk belajar bahasa setempat dan mempersiapkan misinya. Tahun 1881, pemerintah Perancis menutup daerah-daerah koloninya bagi gerakan misi para Yesuit sehingga P. Berthieu harus berpindah ke daerah yang sangat luas di Madagaskar. Pertama, ia bekerja di daerah Ambohimandroso Ambalavao, Fianarantsoa, daerah pegunungan di selatan.
Selama Perang Perancis-Madagaskar I, Pater Berthieu melakukan karya pelayanan di wilayah pesisir timur dan utara. Dari tahun 1886, ia berkarya di Ambositra, sekitar 250 km selatan Antananarivo dan kemudian melanjutkan misinya di Anjozorofadyâ Ambatomainty di utara ibukota.
Perang yang kedua memaksanya pindah lebih jauh lagi. Tahun 1895 pecahlah pemberontakan Menalamba atau Kerudung Merah dimana orang-orang Kristen dan kulit putih menjadi target serangan. Ia meminta tentara Perancis melindungi para target serangan tetapi usaha itu sia-sia karena P. Berthieu pernah mengkritik secara tajam seorang kolonel Perancis atas kegemarannya main perempuan dengan para perempuan setempat. Tidak mendapat perlindungan, akhirnya ia memimpin para pengungsi
berjalan menuju Antananarivo dan berhenti di desa Ambohibemasoandro.
Tanggal 8 Juni 1896, para pemberontak Menalamba menyerang desa tersebut dan menemukan P. Berthieu sedang bersembunyi di sebuah rumah temannya. Mereka menangkapnya dan melepas jubahnya secara paksa. Salah seorang di antara mereka merebut salibnya dan berkata, inikah jimatmu? Dengan ini pula kamu menyesatkan orang-orang? Apakah kamu akan terus berdoa selamanya?
P. Berthieu menjawab, ‘Aku harus berdoa sampai ajalku tiba’. Mendengar jawaban seperti itu, salah
seorang diantara mereka mengayunkan goloknya dan menyasar kening P. Berthieu. Ia terjatuh, berlutut, dan banyak darah keluar dari lukanya. Para pemberontak kemudian membawanya pergi jauh. Karena darah mengucur terus dari lukanya, ia meminta izin kepada salah seorang pemberontak untuk mengambil sapu tangan di sakunya untuk membersihkan darah yang menutupi matanya agar bisa melihat jalan yang dilaluinya.
Dalam perjalanan jauh itu, ketika salah seorang mendekat, P. Berthieu bertanya, ‘Anakku, apakah kamu sudah dibabtis?’ Jawabnya, ‘Belum’. P. Berthieu kemudian mengambil sebuah salib dan dua medali dan memberikannya kepada orang yang ditanyainya itu, ‘Berdoalah kepada Kristus sepanjang hidupmu. Kita tidak akan pernah bertemu kembali, tetapi jangan lupakan hari ini. Belajarlah agama Kristiani dan mintalah babtis kepada pastur.
Setelah menempuh 10 km perjalanan, sampailah mereka di Ambohitra di tempat berdirinya gereja yang dibangun P. Berthieu. Seseorang bersikeras bahwa tidak mungkin Berthieu masuk ke dalamnya karena akan membuat najis tempat suci itu. Tiga kali orang-orang melemparinya batu dan ia jatuh untuk ketiga kalinya karena sangat keletihan. Tak jauh dari desa itu, seorang pemberontak mengambil saputangan.
P.Berthieu dan mencelupkannya pada air kotor berlumpur, kemudian mengikatkannya pada dahi Berthieu sambil melontarkan penghinaan-penghinaan: ‘Lihatlah, inilah raja kulit putih (vazaha). Beberapa orang kemudian melukai dan mengebirinya sehingga ia semakin banyak kehilangan darah.
Malam semakin larut di desa Ambiatibe, 50 km dari Antananarivo. Keputusan untuk menghabisi nyawa P. Berthieu sudah bulat. Ketua pemberontak memerintah 6 orang bersenjata untuk menembak P Berthieu. Berthieu berlutut. Tembakan pertama dari dua orang di depannya meleset. Ia lalu membuat tanda salib, menundukkan kepalanya, dan berdoa. Seorang ketua pemberontak mendekatinya dan berkata,
‘Tinggalkan agamamu yang memuakkan itu dan jangan lagi sesatkan orang-orang, maka kami akan mengampunimu, menjadikanmu sebagai penasihat dan ketua kami’.
Berthieu menjawab,’Aku tidak mau. Daripada begitu, lebih baik aku mati!
Dua orang lalu menembaknya, tetapi lagi-lagi meleset. Berthieu kembali menundukkan kepala dan berdoa. Tembakan kelima mengenainya tetapi Berthieu tidak mati dan tetap berlutut dalam doa. Akhirnya, orang keenam mendekatinya dan menembaknya dari jarak sangat dekat. P. Berthieu rebah dan akhirnya tewas.
Sebagai seorang misionaris, P. Berthieu menggambarkan tugasnya begini. Menjadi misionaris itu berarti menjadikan diri segalanya bagi orang lain, jiwa dan raga, dan dengan hati besar serta tulus bertanggungjawab atas semua ciptaan demi keselamatan mereka. P. Berthieu mewujudkan semangat misi ini dalam karya pendidikan, mendirikan rumah-rumah, membangun irigasi, taman, dan pelatihan pertanian.
Dia adalah seorang katekis yang tak kenal lelah. Seorang guru muda yang menemaninya dalam perjalanan pernah menyaksikan P. Berthieu masih membuka buku katekismusnya bahkan ketika ia naik kuda. Ia kemudian bertanya, ‘Pater, mengapa Pater masih harus belajar katekismus?’
Jawabnya, ‘Anakku, buku katekismus ini tidak bisa dipahami secara mendalam dalam waktu singkat karena ini berisi seluruh ajaran agama Katolik’.
Pada masa tersebut, jika seseorang sudah berangkat ke tanah misi, ia tidak akan pernah tahu lagi kapan bisa kembali. Tuhan pasti tahu betapa aku masih sangat mencintai tanah kelahiranku. Tetapi Tuhan telah memberiku rahmat untuk lebih mencintai tanah Madagaskar yang belum tergarap ini, tanah tempat aku hanya bisa merengkuh sedikit saja jiwa-jiwa untuk Tuhanku.
Karya misi akan tetap berjalan maju, meski di beberapa tempat buahnya belum begitu nampak atau bahkan terkesan gagal. Tetapi itu bukanlah soal. Asal kita setia menabur dengan baik, pada masanya nanti Tuhan pasti menunjukkan yang terbaik.
Sebagai pendoa, P. Berthieu sungguh mampu menimba kekuatan dari doa. Salah seorang katekis mengatakan bahwa setiap kali ia mencari P. Berthieu, pasti ia menemukan P. Berthieu sedang berlutut dan berdoa di kamarnya. Saksi lain berkata, ‘Saya tidak pernah melihat pastur lain berdoa begitu lama di depan Sakramen Maha Kudus. Mudah sekali menemukan beliau jika kita mau mencarinya.’
Seorang Jesuit yang sekomunitas dengannya juga bersaksi, ‘Pernah ketika ia dalam masa penyembuhan dari sakitnya, setiap kali saya masuk ke kamarnya, pasti menemukan ia sedang berlutut dan berdoa.
Rekan-rekannya menjulukinya sebagai ‘œtia vavaka’ atau Sang Sinuci, karena rasa cintanya kepada Tuhan yang sangat mendalam tersebut. Ia selalu membawa rosario atau buku doa harian. Imannya nampak dalam devosinya kepada Sakramen Maha Kudus. Ekaristi menjadi sumber hidup rohaninya. Ia juga berdevosi kepada Hati Yesus dan menyerahkan diri kepadaNya di Paray le Monial sebelum berangkat ke tanah misi dan iapun menjadi rasul devosi ini bagi orang-orang Kristiani di Malagasi.
Ia juga seorang pendevosi Santa Perawan Maria yang sangat kuat dan ia sering berziarah ke
Lourdes. Doa favoritnya adalah rosario dan doa ini pulalah yang ia daraskan saat ia menyongsong ajalnya. Ia juga sangat menghormati Santo Yusuf.
Sebagai seorang imam, ia menyapa umatnya persis seperti Kristus dalam Yohanes
13:33: “Anak-anakku”.
Juga kepada para pembunuhnya, ia menyapa mereka dengan sebutan œry zanako anak-anakku.
Ia orang yang sangat ramah, juga ketika ia harus mengoreksi pandangan yang salah. Tetapi ia akan sangat tegas ketika ada urusan-urusan Tuhan dan Gereja terancam bahaya. Ia tidak menutup-nutupi tuntutan hidup kristiani, yaitu kesatuan dan sifat tak terceraikan perkawinan monogami.
Poligami menjadi hal umum pada masa tersebut, dan P. Berthieu menjelaskan bahwa poligami dapat menyebabkan ketidakadilan, kekerasan, dan menciptakan permusuhan terutama di antara mereka yang kuat.
Pada malam sebelum dibunuh ketika ia mengungsi bersama orang-orang kristiani lain yang dikejar para pemberontak, P. Berthieu merasa tersentuh melihat seorang yang kakinya terluka. Ia mencarikan baginya orang yang sanggup menggendong dan menawari upah yang besar, tetapi tidak ada yang mau. Ia lalu turun dari kudanya kemudian mengangkat pemuda tersebut ke punggung kuda. Ia sendiri, meski letih, memilih berjalan kaki dan menuntun kudanya. Ia sangat baik hati, sabar, penuh semangat dalam pelayanan. Ia tidak akan menolak kapanpun ia dibutuhkan. Bahkan ketika hari sudah tengah malam dan hujan lebat, kata seorang saksi.
Di daerah selatan Anjozorofady ada dua perempuan penderita kusta. Setiap kali P. Berthieu pulang dari
perjalanan, ia pasti mengunjungi mereka, membawakan mereka makanan dan pakaian, memberi pelajaran agama, dan akhirnya membabtis mereka. Ia menyadari betul bahwa menemani mereka yang sedang sekarat adalah bentuk pelayanan yang terpenting. Jangan ragu untuk memanggil saya, bahkan ketika saya sedang makan atau beristirahat. Bagiku tidak ada kewajiban yang lebih besar daripada mengunjungi mereka yang sedang sakit atau sekarat.
Yang ada dalam hatinya adalah kesetiaan untuk memberikan hidup secara total dan tak tergantikan dalam mengikuti Kristus. Dalam masa sulit, ia tetap mampu menunjukkan rasa humor, rendah hati, suka menolong, dan ramah. Ia senang mengutip bacaan Kitab Suci, ‘Jangan takut dengan mereka yang dapat membunuh tubuhmu, tapi takutlah akan Ia yang bisa mengambil nyawamu’ (Mat 10:28). Dalam khotbahnya, ia sering berbicara tentang kebangkitan orang mati.
Orang-orang beriman tentu ingat dengan kalimat ini, ‘Bahkan ketika kamu dimakan oleh buaya, kamu akan bangkit lagi.’
Apakah ini semacam ramalan akan akhir hidupnya? Pada kenyataannya, setelah ia mati tubuhnya diseret dan dibuang ke sungai Mananara dekat Ambiatibe. Jasadnya tidak pernah ditemukan sejak saat itu.
Serikat Jesus tentu turut berbahagia bahwa Gereja melakukan kanonisasi santo baru dari antara kita dan menjadikannya salah satu teladan bagi orang-orang beriman. Tentu saja konteks historis dan sifat perutusan telah berubah sejak akhir abad 19 hingga sekarang.
Ini merupakan tugas para sejarawan untuk meneliti secara lebih dekat tentang apa yang sebenarnya terjadi dan tugas para peneliti kisah hidup orang kudus (hagiografer) untuk menemukan segi kesucian terpenting dari yang bersangkutan.
Semoga Roh Kudus membantu kita melaksanakan teladan P. Jacques Berthieu, yaitu cinta berkobar terhadap tugas perutusan yang menantang yang membawanya ke negeri, bahasa, dan budaya asing; kedekatannya dengan Tuhan seperti terlihat dalam doa-doanya; semangat pastoral yang luar biasa, rasa cintanya terhadap umat yang dipercayakan kepadanya, komitmennya untuk membawa mereka menapaki lebih jauh cara hidup Kristiani, dan akhirnya, hidup yang dimaknai melulu sebagai anugerah,
pilihan yang dengan setia dijalani hingga kematian mempersatukannya dengan Kristus.
Semoga teladan P. Jacques Berthieu membantu kita mengenali kekuatan yang diberikan kepada kita sehingga meskipun lemah, kita tetap mampu menghidupi panggilan dengan setia dan gembira, serta memberikan diri kita secara total terhadap perutusan yang kita terima dari Tuhan.
Saudara dalam Tuhan,
Adolfo Nicolas SJ
Artikel terkait: Jesuit Nambah Satu Orang Kudus Baru: Santo Jacques Berthieu SJ (1)
Sumber: Inter Nos Provindo SJ