Catatan Redaksi:
Paparan ini disampaikan Ketua Presidium KWI Mgr. Ignatius Suharyo di hari ke-4 Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI ke 4) tahun 2015, hari Kamis petang tanggal 5 November 2015.
——————-
1. Amat sulit untuk menyampaikan catatan mengenai Sinode Biasa XIV ini dalam waktu yang sangat terbatas. Pertemuan intensif selama tiga pekan bersama para peserta sinode dengan berbagai macam latar belakang, keahlian, dan sikap pastoral membuat proses sinode ini tidak mudah akan mencapai hasil yang diharapkan.
Namun berkat tuntunan Roh Kudus, arahan Bapa Suci yang amat jelas dan sikap dasar para bapa sinode untuk bersama-sama menemukan kehendak Allah bagi Gereja dan khususnya bagi keluarga, sinode berakhir dengan sangat melegakan: 94 pernyataan yang semuanya diterima melalui pemungutan suara tertutup dengan hasil mayoritas mutlak – artinya 2/3 peserta setuju.
2. Sinode Para Uskup pada tahun 2015 ini adalah lanjutan dari Sinode Luar Biasa Para Uskup pada bulan Oktober 2014. Kesan-kesan mengenai sinode 2014 ini saya sajikan pula dalam catatan yang lain. Tema Sinode 2014 adalah “Tantangan-tantangan Pastoral Keluarga dalam Konteks Evangelisasi”. Sedangkan, tema Sinode 2015 adalah “Panggilan dan Perutusan Keluarga Dalam Gereja dan Dunia Sekarang Ini”.
3. Menjelang dan selama sinode berlangsung, muncul berbagai macam penerbitan mengenai tema ini dari berbagai pihak. Konferensi Waligereja Jerman, misalnya menerbitkan buku kecil berjudul “Membantu Pasangan Cerai yang menikah kembali melalui jalan-jalan yang bertanggung-jawab secara teologis dan pastoral”.
Sementara it, para Uskup Afrika menulis buku “Tanahair Kristus yang baru: Afrika”. Selain terbitan dari lembaga-lembaga seperti itu, terbit pula buku yang berisi pengalaman beberapa perempuan dalam hidup berkeluarga dengan berbagai macam liku-liku permasalahannya. Buku ini berjudul “Perempuan Katolik Berbicara”.
Sementara itu, melalui berbagai media massa, beredar berbagai berita, yang tidak jarang tidak sesuai dengan kenyataan dalam ruang sinode.
4. Untuk memperoleh gambaran umum hasil akhir dari sinode 2015 ini, baik kalau saya kutipkan daftar isi naskah akhir yang disetujui oleh para Bapa Sinode.
Hasil sinode ini dibagi menjadi tiga bagian :
Bagian I: Gereja Mendengarkan Keluarga
Bagian ini berisi analisa sosio-budaya, religius, antropologis, ekonomis, ekonomis dan ekologis. Disebut antara lain: individualisme yang semakin kental, agama yang semakin ditempatkan dalam lingkup privat, konsumerisme, kesadaran diri manusia yang berubah, pengaruh media masa, gerakan jender, feminisme, konflik, pengungsi, migran, keluarga-keluarga yang harus meninggalkan tanah air karena penganiayaan, narkotika, peranan negara terhadap keluarga, kemiskinan, ekologi, industrialisasi, berkurangnya angka kelahiran khususnya di negara-negara yang disebut maju, orang-orang yang berkebutuhan khusus, perkawinan beda agama/beda gereja, hidup bersama pasangan sejenis, perkembangan teknik biomedis dan sekian banyak masalah yang lain.
[Perlu diingat pula kiranya, jarak yang jauh antara ajaran resmi Gereja mengenai perkawinan dan keluarga dengan pemahaman sebagian besar umat; antara cita-cita hidup berkeluarga dengan kenyataan hidup berkeluarga].
Bagian II: Keluarga dalam Rencana Allah
Bagian ini berisi ajaran Gereja mengenai perkawinan dan hidup berkeluarga, untuk membaca tantangan-tantangan yang dipaparkan pada bagian pertama. Berisi antara lain uraian mengenai keluarga menurut Kitab Suci, Ajaran Konsili Vatikan II, (Beato) Paus Paulus VI, Santo Yohanes Paulus II, Paus Fransiskus.
Diuraikan juga mengenai sakramentalitas perkawinan, indisolubilitas perkawinan, kesuburan perkawinan, keindahan perkawinan, kerahiman Allah. Tema kerahiman Allah merupakan salah satu pembicaraan yang hangat dalam sinode.
Ini berkaitan dengan “isu” mengenai orang menikah secara katolik, cerai dan menikah lagi secara sipil, apakah diperkenankan menerima komuni. Dalam rangka ini dinyatakan:”Gereja berangkat dari keadaan nyata keluarga-kelurga jaman ini, yang semuanya membutuhkan kerahiman Allah, mulai dari yang paling menderita.
Dengan kerahiman/kemurahan hati Yesus, Gereja harus mendampingi anak-anaknya yang paling lemah, yang terluka dan kehilangan kasih, dengan memberi mereka ini kepercayaan dan harapan …. Kerahiman Allah tidak bertentangan dengan keadilan, melainkan ungkapan sikap/tindakan Allah terhadap orang miskin” (no. 55).
Bagian III: Perutusan Keluarga
Bagian ini menurut skema yang diikuti dalam proses (melihat, menilai, melaksanakan) berisi pandangan dan pemikiran pastoral bagi keluarga. Yang pertama dibicarakan adalah pembangunan keluarga (persiapan perkawinan, perayaan perkawinan, pendampingan tahun-tahun pertama hidup berkeluarga, pembinaan para calon imam dan pekerja pastoral yang lain).
Selanjutnya pada bab kedua dibicarakan mengenai penerusan hidup, keluarga bertanggungjawab, nilai hidup sejak awal sampai akhir (keluarga bertanggungjawab, abortus, hukuman mati), adopsi, pendidikan anak (peranan sekolah katolik).
Bagian ketiga berjudul “Keluarga dan Pendampingan Pastoral”. Dari judulnya dapat dibayangkan bahwa bab ini berisi “isu-isu” yang sangat konkret dan diperdebatkan : hidup bersama tanpa menikah yang bertambah banyak, perkawinan menurut tradisi (yang berbeda-beda), semakin banyak pasangan yang memilih untuk menikah sipil saja, perkawinan campur dan disparitas cultus, keluarga yang anggotanya mempunyai kecenderungan homoseksual, negara yang memaksakan pendapatnya melalui undang-undang, penerimaan komuni oleh pasangan yang bercerai dan menikah kembali secara sipil.
Disebut juga Motu Proprio Paus Fransiskus Mitis Iudex Dominus Iesus dan Mitis et Misericors Iesus – yang akan berlaku pada tanggal 8 Desember 2015 mengenai “perampingan” proses anulasi. Pemberlakuan Motu Proprio ini bertepatan dengan Pembukaan Tahun Suci Luar Biasa Kerahiman Allah.
Dari antara tema-tema yang dibicarakan dalam bagian ini ada bagian yang paling “hangat” yang berjudul “Penegasan dan Integrasi”, yang terdiri dari tiga nomor. Hangatnya diskusi dapat dilihat dari hasil pemungutan suara: No 84: 187/72/1; No 85: 178/80/0; No 86: 190/64/2 (setuju/tidak setuju/abstain).
5. Untuk memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai isu seperti apa yang menjadi isu “hangat”, saya terjemahkan (secara sangat bebas) beberapa bagiannya: (84) Orang-orang yang dibaptis, menikah, bercerai dan menikah lagi secara sipil, haruslah lebih “diterima” dalam komunitas kristiani, dengan berbagai cara yang mungkin, dengan menghindarkan setiap kemungkinan batu sandungan.
Logika penerimaan (integrasi) adalah kunci pendampingan pastoral. Tidak hanya supaya mereka tahu bahwa mereka termasuk Tubuh Kristus, yaitu Gereja, tetapi juga agar mereka mempunyai pengalaman yang menggembirakan. Partisipasi mereka dapat dinyatakan dalam berbagai pelayanan gerejawi : oleh karena itu perlu dipikirkan manakah bentuk-bentuk pengucilan atau peminggiran yang sekarang ini terjadi di dalam bidang liturgi, pastoral, pendidikan dan institusi, dapat diatasi.
Mereka ini tidak hanya tidak boleh mereka dikucilkan, melainkan dapat hidup dan menjadi matang sebagai anggota yang hidup dalam Gereja yang sebagai ibu yang selalu menerima mereka, memperhatikan dengan kasih dan mendorong mereka dalam perjalanan hidup dan (nilai-nilai) Injili. Bagi komunitas kristiani, memperhatikan saudara-saudari semacam ini bukanlah melemahkan iman atau kesaksian akan indisolubilitas perkawinan; sebaliknya Gereja mengungkapkan kasih dalam perhatian ini” [187/72/1].
[85] Santo Yohanes Paulus telah memberikan pegangan yang cermat yang tetap dipakai sebagai dasar untuk menilai keadaan ini. Lalu dikutip Familiaris Consortio No 84. Dalam bagian ini dibedakan beberapa keadaan : antara mereka yang sungguh berusaha untuk mempertahankan pernikahan pertama tetapi secara tidak adil dan mereka yang karena kesalahan mereka membuat hancur perkawinan yang sah secara kanonik.
Ada pula yang menikah lagi demi anak-anak, dan kadang-kadang menurut suara hati yakin bahwa perkawinan yang pertama yang tidak dapat diperbaiki, sebenarnya tidak pernah sah. Demikian juga dikutip Katekismus Gereja Katolik 1735 yang mengatakan: ”Tanggungjawab atas perbuatan dapat berkurang, malahan dapat dihapus sama sekali, oleh ketidakpahaman, ketidaksadaran, paksaan, perasaan takut, kebiasaan, emosi yang berlebihan, serta faktor psikis atau faktor sosial lain”.
Oleh karena itu meskipun tetap berpegang pada norma umum, perlulah menerima bahwa tanggungjawab terhadap perbuatan atau keputusan tertentu tidaklah sama untuk semua kasus [178/80/0]. [86] Proses pendampingan dan penegasan adalah mengarahkan orang-orang beriman ini menyadari keadaan mereka di hadapan Tuhan [190/64/2].
6. Sejauh saya tangkap, diskusi hangat terjadi dalam hal adanya “tegangan” antara suara hati dan aturan, antara kerahiman Allah dan keadilan. Dalam hal-hal adanya ketegagan ini dikatakan dengan jelas bahwa “Gereja menyerupakan sikapnya dengan sikap Yesus yang dengan kasih tanpa batas, memberikan diri untuk semua, tanpa kecuali” (Misericordiae Vultus, 12).
Inilah yang sejak awal sinode ditegaskan oleh Paus Fransiskus ketika beliau mengatakan bahwa “Sabat adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat”. Beliau mengajak para Bapa Sinode untuk berjalan bersama melakukan penegasan “dengan keberanian rasuli, kerendahan hati Injili dan doa yang tekun”. Sebab tradisi Gereja bukanlah museum melainkan “sumber air yang hidup”.
7. Dengan mengikuti proses yang lumayan panjang itu, saya yakin bahwa Paus Fransiskus menghendaki bahwa seharusnya bagi murid-murid Kristus tidak ada jalan buntu. Dalam hal ini Gereja – artinya kita semua – mesti menampilkan sikap sebagai “ibu” yang lemah lembut sekaligus sebagai “guru” yang jelas. Paduan antara kedua sikap itu akan bermuara pada kehati-hatian dan kebijaksanaan pastoral.
Rasanya dengan sengaja tidak diberikan perumusan yang tegas “harus begini” dan “harus begitu”. Tentu ini tidak memuaskan bagi yang menghendakinya, tetapi rumusan terbuka seperti ini akan mendorong para gembala umat untuk selalu berusaha menemukan kehendak Tuhan “dengan keberanian rasuli, kerendahan hati Injili dan doa yang tekun”.
Semoga dengan demikian keluarga akan menjadi “sekolah kemanusiaan” (GS 52).
+ I. Suharyo
Peserta Sinode
Kredit foto: Romo FX Adisusanto SJ/Dokpen KWI