HARI Selasa (26/12/2017), kami masih merayakan Natal di stasi-stasi. Romo Andreas Suparman SCJ merayakan Natal di Stasi St. Paulus Karang Nongko dan Stasi St. Andreas Margorejo.
Perayaan Natal di Stasi Karang Nongko dilaksanakan dalam Bahasa Jawa. Ia mengendarai motor menuju stasi ini. Hal ini disebabkan oleh banyaknya lobang yang dalam, meski sudah banyak jalan desa yang telah dicor semen.
Catatan Perjalanan ke OKU Timur – Sumsel: Tabernakel dan “Gereja Musiman” (5)
Banyak lobang di jalan
Sedangkan, saya merayakan Ekaristi Natal di Stasi St. Ignatius Taraman dan Stasi St. Stefanus Sumegar. Dua stasi ini berlain arah, meski masih berada dalam satu wilayah. Seperti di stasi-stasi lain, jalan menuju dua stasi ini berlobang dalam. Karena itu, kami menggunakan mobil Panther yang lebih tinggi.
Perayaan Ekaristi Natal di Stasi Taraman dilaksanakan pukul 08.00 WIB. Sepagi itu karena begitu selesai sarapan, kami harus segera berangkat ke tempat lain. Kami melintasi sejumlah desa dengan jalan berlobang dalam dan berlumpur. Begitu memasuki jalan poros Desa Taraman, jalan tampak mulus.
Pak Lurah Sugiyono telah mencor jalan sepanjang desanya. Tiga puluh menit kemudian, kami tiba di depan kapel stasi.
Salam hangat dari Pak Lurah
Belum banyak umat yang hadir di dalam gereja atau di luar gereja, meski waktu menunjuk pukul 07.45 WIB.
Orang pertama yang menyalami kami adalah Pak Lurah Sugiyono. Ia adalah seorang Muslim yang sangat toleran.
Tahun 2016 lalu, ketika saya merayakan Paskah di stasi ini, orang pertama yang saya salami adalah Pak Lurah Sugiyono yang aslinya berasal Blitar, Jawa Timur ini.
Semangat merayakan iman
Lima menit kemudian, umat telah memenuhi gereja stasi. Koor dan para petugas liturgi sudah siap untuk memeriahkan Perayaan Natal. Tampak juga sejumlah anak kecil yang mengenakan pakaian Jawa. Rupanya mereka akan menari saat persembahan.
Meski lokasinya hanya di stasi, Liturgi Perayaan Natal ini telah disiapkan dengan baik. Kelompok koor menyanyikan lagu-lagu Natal dengan sangat semangat dan penuh penghayatan. Sungguh tidak kalah dengan kelompok koor orang kota.
Para gadis berdandan dengan manis. Sedangkan para ibu mengenakan pakaian Jawa yang modis. Pemuda-pemuda dan bapak-bapak juga berdandan rapih untuk merayakan Natal.
Perayaan Ekaristi Natal berakhir pada pukul 09.15. Saya sengaja berkotbah tidak panjang-panjang, karena masih ada misa di Stasi St. Stefanus Sumegar pada pukul 11.00. Apalagi jalan menuju Desa Sumegar lebih sulit, karena lobang yang dalam dan berlumpur. Kesempatan yang masih ada kami gunakan untuk kunjungan ke rumah umat yang telah menjadi tradisi bertahun-tahun.
Begitu tiba di rumah umat, kami menyalami tuan rumah yang sudah tiba lebih dahulu. Sementara Pak Lurah Sugiyono menyusul di belakang kami. Tidak lama duduk dan bercerita, saya memimpin doa makan. Tuan rumah menyediakan opor ayam, sayur kacang panjang dan tempe.
Meski masih kenyang, karena sarapan agak banyak, saya tetap menyantap hidangan menjelang siang itu.
Setelah makan, tuan rumah masih mengeluarkan makanan kecil berupa kacang rebus dan kue-kue Natal.
- “Romo mau minum teh atau kopi?” tanya tuan rumah.
- “Teh saja. Tidak biasa ngopi,” kata saya sambil melempar senyum.
Pukul 10.15 kami melanjutkan perjalanan menuju Stasi Sumegar. “Lewat jalan yang biasa saja. Lewat Jembatan Besi,” begitu pesan Pak Lurah Sugiyono. (Berlanjut)