MESKI bukan Katolik, namun jangan tanya soal semangat toleransi Lurah Sugiyono kepada umat Katolik di Stasi Taraman.
Lurah kelahiran Blitar di Jatim ini selalu menampilkan etos kerjanya sangat antusias. Terutama ketika ia mengajak segenap umat Katolik di wilayah administraif kelurahannya agar bisa berkhusyuk merayakan Hari Kelahiran Tuhan pada Natal 2017 di Stasi Taraman ini.
Catatan Perjalanan ke OKU Timur – Sumsel: ‘Jebakan Batman” dan Semangat Merayakan Iman (6)
Berikut ini kisah pendeknya.
“Ayo cepat. Sembahyangnya sudah mulai,” pinta lelaki berkulit hitam manis ini kepada seorang anak perempuan yang baru berumur sekitar lima tahun.
Usai bersalaman dengannya, anak perempuan itu pun bergegas diri dan cepat berjalan menuju Gereja Stasi Taraman.
Sekilas mirip polisi
Gagah laksana seorang polisi, laki-laki yang kini berusia 47 tahun ini lalu berdiri di depan teras Gereja Katolik Stasi St. Ignatius Taraman, Kecamatan Semendawai Suku III, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatera Selatan.
Tidak sampai lima menit, seorang lain yang sudah sepuh (tua) berjalan dari halaman menuju gedung gereja.
“Tak emat ne, ben tahun, sampeyan ki telat terus. Ndang mlebuh. Sembahyange wis wiwit” yang artinya, “Saya amati, setiap tahun kamu telat terus. Cepat. Ibadatnya (Perayaan Ekaristi) sudah mulai,” kata Pak Lurah menegur seorang umat Katolik.
Tidak mendengar apa yang dikatakannya, seorang bapak sepuh sambil terseok-seok malah berjalan ke arahnya. Mereka berjabatan tangan. Setelah itu, ia berbisik ke arah telinga orang tua tersebut yang akhirnya melanjutkan langkah kakinya ke dalam gereja.
Datang duluan sebelum lainnya muncul
Nama bapak super semangat ini adalah Sugiyono. Meski bukan seorang Katolik, tetapi ia tampak selalu sibuk setiap kali Gereja Katolik Stasi Taraman merayakan hari raya besar, misalnya Natal dan Paskah.
“Nanti kita akan lihat Bapak Lurah. Ia itu rajin sekali. Umat belum datang ke gereja, dia sudah berjaga di depan Gereja Stasi,” kata Romo Frans de Sales SCJ di Pastoran Paroki Para Rasul Kudus Tegalsari, sesaat sebelum kami naik mobil.
“Setiap tahun selalu begitu: senantiasa antusias membantu kita ,” tambahnya penuh semangat, sembari meminta kami membawakan peralatan Ekaristi yang sudah dibawanya dari Kota Palembang.
Lurah Sugiyono memang rajin.
Setengah jam sebelum Perayaan Ekaristi dijadwalkan harus dimulai dan ketika kami berlima mulai turun dari mobil., kesibukan Pak Lurah itu sudah terlihat jauh di depan mata.
Pak Lurah Sugiyono terlihat tengah sibuk menyalami segenap umat yang hadir. Itu yang kami berlima saksikan di depan mata para hari Selasa (26/12/2017) lalu.
Ikut membuatnya
Ini kali kedua saya bertemu dengan Pak Lurah Sugiyono. Ia berkomitmen akan terus hadir dalam kegiatan-kegiatan besar keagamaan di Desa Taraman yang dia pimpin. “Tanggal 24 malam, pukul 12 malam, saya baru pulang,” katanya.
Saat ditanyai mengapa ia mau bergadang ‘mengawal’ umat Katolik yang merayakan Natal di gereja stasi, maka dengan tangkas ia langsung menjawab ini: “Saya ikut membuat itu,” jawabnya sambil menunjuk ke arah Kandang Natal yang berada di sebelah kiri altar gereja.
Semangat Pancasila
Ikut serta mendukung dan memfasilitasi kegiatan-kegiatan keagamaan merupakan hal penting bagi Lurah Sugiyono.
Baginya, bunyi sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi semacam amanah yang harus diamakan dalam kesehariannya sebagai pemimpin masyarakat lokal di Taraman.
“Agama apa pun bagi saya ya sama. Nggak ada bedanya. Yang utama adalah ajarannya agar kita bisa hidup rukun,” jelasnya.
Merawat kebhinekaan Indonesia
Relasi antarumat beragama di Desa Taraman sangat kondusif. Ada tiga agama yang dipeluk oleh sekitar 2.700 orang yang bermukim di desa yang mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani ini. Mereka memeluk Islam, Kristen Protestan dan Kristen Katolik.
“Islam sekitar 80%, sisanya non-Islam. Ada sekitar 32 atau 34 KK yang non-Islam. Ada 2 KK yang Kristen (Protestan) yang lain Katolik,” tuturnya.
Meski berbeda-beda, namun hidup persaudaraan di desa yang terletak 170-an km dari Kota Palembang ini sangat harmonis tenteram. Lurah Sugiyono menceritakan, jika ada kerja bakti yang diselenggarakan umat Islam, umat Kristiani ikut membantu, begitu pun sebaliknya.
Melihat fenomena negatif terkait isu SARA (Suku, Ras, Agama dan Antargolongan) yang sedang terjadi di Indonesia, lurah yang menjabat dari tahun 2015 ini lalu angkat bicara.
“Kita di Desa Taraman ini semuanya baik (relasi antaranggota masyarakatnya). Saya selalu mengingatkan mereka, agar jangan mudah terpancing komentar atau saran dari oknum-oknum yang tidak baik. Sampai sekarang, kami selalu rukun,” kata pria asal Blitar, Jawa Timur, yang gemar bergaul ini.
Harapan terhadap umat Katolik
Menutup perbincangan kami, pria kelahiran Sriwangi di Blitar tangga 15 Agustus 1970 ini berharap agar umat Katolik dapat bersatu dengan umat beragama lain.
“Selama ini, umat Katolik baik. Harapan saya semoga umat Katolik bisa bersatu, hidup sejahtera dan damai. Kunci orang hidup itu kan damai, baik dalam lingkungan keagamaan maupun yang lainnya,” tandasnya.
Usai Perayaan Ekaristi, Lurah Sugiyono ikut bersilahturahmi dan bersantap siang di rumah salah seorang umat. (Selesai)