ORANG bisa jadi sangat penasaran dan mulai bertanya, bagaimana wabah campak itu ‘tiba tiba’ bisa muncul serentak di Asmat?
Mereka juga harus bertanya, mengapa KLB Campak dan Gizi Buruk itu bisa sampai menjadikan korban jiwa meninggal yang jumlahnya yang tidak sedikit dan itu terkait dengan gizi buruk?
Kenali wilayah Kabupaten Asmat dari dekat
Untuk mengenal kawasan Asmat yang kini menjadi wilayah Kabupaten Asmat, kita perlu melihat Peta Kabupaten Asmat di mana kini sudah mencangkup wilayah 19 Distrik (Kecamatan).
Nah, kalau sudah diberitakan bahwa KLB itu telah berjangkit di setidaknya delapan Distrik, maka memang bisa dikatakan bahwa KLB itu sudah memasuki taraf kritis.
Pertanyaannya, mengapa KLB Campak dan Gizi Buruk itu seakan-akan ‘muncul’ itu bisa terjadi?
Mengapa bisa terjadi
Berdasarkan pengalaman penulis yang pernah melayani umat Asmat selama kurang lebih lima tahunan di seluruh Keuskupan Agats – Kabupaten Asmat, maka kami memberanikan diri mengungkap kesimpulan personal atas fenomena KLB tersebut.
Wabah campak dan gizi buruk hingga masuk tahap KLB itu terjadi karena terjadinya wabah di daerah-daerah pelosok itu kurang direspon cepat oleh instansi yang berkewajiban.
Di kawasan itu, layanan medik tidak berjalan maksimal atas beberapa alasan pokok ini:
- Tenaga medik sangat sedikit dan boleh dikatakan kurang atau tidak ada.
- Kondisi wilayah sangat ‘jauh’ masuk kawasan pedalaman dan susah dijangkau oleh transportasi menggunakan speedboat melalui alur sungai; baik yang besar maupun ‘sungai potong’.
- Sarana komunikasi sangat terbatas.
Sangat terisolir
Kampung As Atat, Kapi ,Aou di mana terjadi KLB itu ada di kawasan wilayah Distrik Pulau Tiga. Posisinya geografisnya memang agak terisolir.
Sungai-sungai di sekitarnya ini memang tidak begitu familier oleh sebagian besar orang Asmat sekalipun. Itu karena kawasan ini berada di ujung barat Kabupaten Asmat yang langsung berbatasan dengan Kabupaten Mimika.
Di situ ada masyarakat Asmat dari Suku Sempan, Kamoro, dan Amungme.
Di sebelah utara, kawasan itu langsung berbatasan dengan Kabupaten Nduga di mana tinggal sebagian besar Suku Nduga, Damal, dan Dani.
Kelompok orang Asmat di wilayah Distrik Pulau Tiga ini pun jarang yang melakukan perjalanan ke Agats sebagai ‘pusat kota’ Kabupaten Asmat. Mungkin, mereka juga jarang ‘main’ dan bersosialiasasi bertandang ke Distrik tetangganya yakni Sawa Erma.
Untuk memudahkan mengenal lokasi, mari kita lihat peta geografis Kabupaten Asmat di Papua ini.
Waktu tempuh 3-4 jam perjalanan dengan speedboat
Kembali pada persoalan lokasi dimana terjadi wabah penyakit campak dan gizi buruk yang menghebohkan itu.
Karena lokasi permukiman warga penduduk itu sangat terpencil dan kurangnya tenaga medik di kawasan itu, maka sering sekali kasus-kasus sakit yang terjadi di kalangan warga tidak bisa ‘terdeteksi’ dari pusat kota lantara komunikasi susah dan sarana transportasi juga minim.
Untuk bisa ke ‘pusat kota’ di Asmat, maka penderita harus rela dibawa dalam perjalanan panjang menuju Asmat dengan speedboat. Itu pun harus rela berpanas-panas ria atau kehujanan di dalam kabin sampan motor itu selama kurang lebih 3-4 jam perjalanan melalui aliran sungai.
Masih ada catatan lagi, keberadaan perahu motor tempel atau speedboat itu pun juga terbatas. Kepemilikan otoritas pemerintahan setempat –baik di pusat kota maupun di kecamatan di Distrik Pulau Tiga di sana- juga terbatas jumlahnya.
Kota di atas papan
Kalau orang luar mau mengunjungi Asmat, sekali lagi akses paling mudah sekarang ini harus tetap melalui Kota Timika: mendarat di Bandara Moses Kilangin baru nyambung perjalanan dengan pesawat kecil menuju ke Ewer dan selanjutnya menggunakan perahu motor menuju ke’pusat kota’ Agats.
Tetapi ingat, jangan sekali-kali ‘berani’ membandingkaan ‘kota’ Agats dengan kota-kota yang lain.
Agats sering berjuluk ‘kota di atas papan’ yang tergelar lebar.
Sebenarnya, kota dengan rumah panggung dihubungkan dengan jembatan dari papan. Tetapi, kini sebagaian sudah memakai konstruksi beton dengan mendatangkan bahan-bahan dari Surabaya.
Benahi sarana kesehatan
KLB Asmat boleh dikatakan sudah tertangani. Justru yang penting ke depannya adalah roadmap membenahi sarana kesehatan, pengenalan akan gizi yang baik, dan juga pemberdayaan SDM (guru,misionaris,kepala kampung) untuk mengetahui penanganan kesehatan primer.
Dan mungkin buku Di mana Tidak Ada Dokter (Wher e there is no Doctor) bisa dipakai lagi di wilayah Asmat.
Dulu, kami juga diajari bagaimana bisa memberi pertolongan darurat bila terjadi ‘mama-mama’ (ibu) melahirkan, terutama menolong seandainya placenta tidak keluar bersama sang bayi.
Selamat mengunjungi Kabupaten Asmat –Keuskupan Agats.
Posisikan batin dan mental Anda bukan sebagai ‘wisatawan kemiskinan’, tetapi sebagi sukarelawan kemanusiaan. Lakukan hal-hal baik itu seperti Bunda Teresa yang berprinsip “Do small things with great love.”
Catatan tentang Agats Asmat: Musibah KLB Gizi Buruk, Jangan Jadi ‘Wisatawan Kemiskinan” (1)
Semangat itulah yang sekarang ini kita perlu kumandangkan lebih nyaring lagi agar menggugah banyak orang bisa bermurah hati kepada umat di Kabupate Asmat – Keuskupan Agats di Papua yang untuk bisa makan kenyang pun amat-amat susah.