ADANYA Otokhus (otonomi khusus) dan pemekaran wilayah Asmat menjadi kabupaten, maka yang kemudian terjadi adalah kemajuan cukup berarti di pelayanan transportasi, komunikasi, fasilitas kesehatan, dan juga pendidikan.
Wilayah Asmat yang awalnya hanya terdiri dari lima kecamatan kemudian diperbanyak menjadi 19 kecamatan. Ini merupakan langkah positif dari konsekuensi pemekaran Asmat.
Kini bisa dilihat bahwa di ‘pusat kota’ Agats itu sudah ada RSUD yang representatif untuk melayani kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan.
Kontraproduktif
Salah satu bagian kebijakan Otonomi Khusus itu juga melahirkan praktik kontra-produktif. Yakni, keberadaan motorboat itu telah ‘memanjakan’ penduduk asli Asmat sehingga mereka sampai ‘lupa’ membuat perahu sendiri.
Semakin banyak perahu bermesin motor seperti hari-hari ini, maka semakin banyak orang Asmat itu menjadi terpuruk, kehilangan jatidirinya sebagai masyarakat dengan budaya tinggi dan kemampuan yang piawai membuat perahu dan berdiri dengan gagah berani di ‘kabin’ perahu.
http://www.sesawi.net/2018/02/12/catatan-tentang-agats-asmat-di-papua-dahulu-kini-dan-masa-depan-7/
Dampak lainnya adalah terjadinya usaha perbaikan sarana tempat tinggal di kampung-kampung dengan banyaknya dibangunkan rumah percontohan hidup sehat. Seperti di wilayah Yaosakor, sudah ada rumah percontohan yang dibangun oleh Pemda.
Perumahan sehat gaya modern juga meninggalkan permasalahan. Antara lain, bagaimana bisa mengatasi cara hidup lama yang dulu terbiasa menggunakan tungku api bernyala di rumah untuk mengusir nyamuk, namun kini harus menggunakan kelambu.
Usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat itu patut dipuji. Dengan dibangunnya fasililitas perumahan bagi perangkat desa, hal itu merupakan kemajuan yang patut dihargai sebagai langkah percontohan rumah sehat.
Tantangan bidang pendidikan dan kesehatan
Namun, yang masih merupakan kendala ialah bagaimana bisa meningkatkan sektor pendidikan dan kesehatan disertai pemberdayaan tenaga terampil di bidang kesehatan dan pendidikan. Tersedianya sumber daya manusia yang andal di Puskesmas masih menjadi tantangan yang harus direspon sebagaimana mestinya. Belum lagi ditambah dengan sarana transportasi dan fasilitas yang tersedia, terutama obat-obatan.
Sektor pendidikan pun juga masih memprihatinkan. Itu karena kurang tersedianya tenaga guru.
YPPK (Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Katolik) Yan Smits milik Keuskupan Agats itu melayani seluruh wilayah Keuskupan Agast.
Walaupun perumahan guru dan ruangan kelas telah diperbaiki, tetapi kalau tanpa disertai pengadaan tenaga guru yang memadai, maka pastilah itu akan menjadi persoalan sangat serius di sektor pendidikan.
Gambaran sekilas tentang kesehatan dan pendidikan sebenarnya bisa dibaca di Asmat Peramu Sejati Mengukir Jatidiri yang pernah penulis dokumentasikan dalam bentuk sebuah buku.
Kaya uang?
Dengan pemekaran wilayah Asmat menjadi kabupaten plus diberlakukannya Otokhus untuk Papua, maka secara teroritis kita bisa mengatakan Asmat mulai kaya dengan uang. Tetapi uang yang melimpah itu juga tidak akan ada artinya. Apalagi di sana ketersediaan aneka macam prasarana dan sarana wilayah itu serba terbatas plus ongkos pembiayaan yang sangat mahal untuk bisa melakukan pembangunan di segala bidang.
Inilah fakta yang tersaji di sana sudah jelas. Projek-projek pembangunan untuk masyarakat Asmat memang akan menelan biaya pembelanjaan yang mahal.
Pendek kata, masa kini, Pemda Asmat bisa lebih leluasa melaksanakan pembangunan dibanding Misi zaman dulu, terkait ketersediaan biaya pembangunan. Bahkan terkadang Pemda pun malah ikut memfalisitasi Misi agar bisa melakukan karyanya ketika belum tersedia dana untuk keperluan itu.
Misi Keuskupan Agats di Asmat antara lain ikut memperbanyak tersedianya tangki-tangki penampungan air untuk menadahi air hujan. Tujuan strategisnya adalah agar supaya di semua wilayah itu tersedia air bersih di kampung-kampung, terutama untuk minum dan aneka kebutuhan hidup sehari-hari.
Ingat bahwa di Asmat, kalau tidak ada hujan, maka juga tidak bisa makan-minum, memasak, keperluan cuci-mencuci dan berbersih dari di WC dan kamar mandi
Sarana seperti di atas ini sudah lazim digunakan di kalangan Pemerintah Kecamatan sebagai salah satu penunjang hidup sehat, karena air hujan itu merupakan satu-satunya pilihan yang bisa diandalkan untuk terus hidup.
Mencari solusi bersama
Dengan terjadinya KLB di Asmat baru baru ini, sebenarnya kita bisa merefleksi atau mengambil suatu studi mengapa sampai terjadi penurunan taraf hidup sehat di wilayah Asmat secara khusus dan Papua pada umumnya; termasuk dunia pendidikan.
Ada analisis masuk akal yang diungkapkan oleh para misionaris maupun guru-guru senior di wilayah Papua. Secara umum, mereka bertanya mengapa sektor pendidikan dan kesehatan di Papua kurang maju atau terhambat?
Salah satu faktor penyebabnya adalah keputusan Pemerintah Pusat tahun 1987-1988 yang menghambat (untuk tidak mau mengatakannya sebagai ‘melarang’) adanya bantuan ‘asing’ untuk memberi bantuan kepada Misi di bidang pendidikan dan kesehatan di wilayah Papua (Irian Jaya pada waktu itu).
Bayangkan saja, pada masa itu, untuk mengirim satu drum bahan bakar ke pedalaman saja, maka harus tersedia satu pesawat Cessna agar bisa membawanya tiba sampai tempat tujuan. Belum lagi harus diperhitungkan masalah pendanaan untuk karya kesehatan dan pendidikan yang dilakukan oleh Misi.
Nah itu juga merupakan faktor penyebab keterpurukan di sektor kesehatan dan pendidikan.
Melihat Asmat ke depan
Sulit untuk menjawab bagaimana masa depan Asmat dengan tidak mempertimbangkan faktor sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Persoalan sangat serius untuk membangun wilayah Asmat adalah menjawab pertanyaa penting ini: dari mana dana itu bisa didapatkan?
Selama masih ada Otokhus, Pemda Asmat pasti tidak akan ada kesulitan dengan masalah finansial. Tetapi apabila Otokhus berhenti, masalah besar akan menghadang karena sumber dana dari daerah boleh dikatakan minim.
Keuskupan Agats di Asmat
Sedari dulu hingga sekarang, Keuskupan Agats masih tetap mengandalkan bantuan dana dari luar untuk mengelola roda operasional keuskupan. Pendek kata, diperlukan dana abadi yang harus tetap mengalir ke Keuskupan Agats di Asmat.
Lantas dari mana dana abadi ini bisa didapatkan?
Dulu, sewaktu masih ada banyak misionaris Amerika berkarya di sana, maka dana bisa didapatkan dari relasi dan sumber dana luar yang merasa bersimpati dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat Asmat. Setelah para misioaaris Amerika itu tidak ada lagi, maka solidaritas antar keuskupan di Indonesia ini lalu menjadi tulang punggung bantuan finansial.
Relasi dengan dunia luar dalam bentuk bantuan dana Misi itu masih tetap ada, namun tidak sebesar dulu.
Dalam buku berjudul Sejarah Ordo Salib di Asmat (1982) sudah saya isyaratkan bahwa di masa mendatang persoalan dana untuk membiayai kebutuhan operasional Keuskupan Agats ini harus dipikirkan secara matang. Itu karena wilayah Asmat ini merupakan daerah Misi yang benar-benar tidak produktif.
Mempromosikan karya seni Asmat
Meratapi apa yang telah terjadi dan menyesali kegagalan yang ada memang tidak ada gunanya. Nasi telah menjadi bubur. Kini yang jauh lebih penting adalah mempersiapkan anak-anak bangsa untuk menatap hari depan yang gemilang supaya cita-cita negara menjadi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur terlaksana.
Asmat secara khusus dan Papua pada umumnya juga merupakan bagian dari negeri ini.
Mari kita bantu Asmat di Papua ini dalam hal upaya peningkatan mutu pendidikan dan kesehatan.
Dengan niat baik pula, kita perlu membantu Bupati Kabupaten Asmat bersama jajarannya; juga Bapak Uskup Agats Mgr. Aloysius Murwito OFM dengan para misionarisnya agar mereka ini bisa saling bahu-membahu mengerjakan ‘Pekerjaan Rumah’ yang besar untuk demi masa depan anak-anak Asmat.
Wilayah tidak mudah diakses
Asmat adalah bagian kecil dari wilayah negeri besar bernama Indonesia. Namun, wilayah Asmat ini punya karakteristik geografis sangat khas yakni yang tidak mudah diakses. Asmat h anya bisa dicapai dengan pesawat terbang ringan dan kemudian naik motorboat melintasi aliran-aliran sungai besar dan ‘kali potong’. Atau, dari Timika naik kapa feri selama 10 jam pelayaran dengan catatan jadwa pelayaran kapal feri ini tidak menentu.
Inilah hal-hal teknis-praktis yang tidak mudah bisa dimengerti oleh kebanyakan orang. Tentu saja, aneka tantangan riil ini juga susah dibayangkan oleh mereka yang sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya di Asmat yang sangat terisolir ini.
Pada kesempatan bertemu Bapak Uskup Agats Mgr. Aloysius Murwito OFM di Bandara Moses Kilangin di Timika, Papua, tanggal 10 Februari lau, beliau mengatakan hal ini.
- Keuskupan Agats selalu terbuka menanti uluran kasih Anda sekalian untuk berbagi dan melakukan aksi-aksi pengabdian kemanusiaan untuk masyarakat Asmat di Papua.
- Utamanya, kata Mgr. Aloysius Murwito OFM, kerelaan menyumbangkan tenaga dan pikiran serta keahlian untuk segala upaya peningkatan mutu kesehatan dan pendidikan khususnya di wilayah Asmat.
Hello! Is this Fr Albert who studied his masters in the Philippines?
Kindly email me to mhariyadi@yahoo.com