Home BERITA Cerdas Beragama untuk Melawan Radikalisme

Cerdas Beragama untuk Melawan Radikalisme

0
Ilustrasi: Ibadat Sabda oleh OMK Paroki Hati Kudus Yesus Pangkalan Kerinci di Riau. (Ist)

REALITAS radikalisme agama di Indonesia kian hari kian menggelisahkan, khususnya pasca reformasi.

Radikalisme agama ditampilkan dalam tindakan dishumanis (tak manusiawi) yang memilukan, seperti Bom Bali, tragedi Poso dan Ambon, pengeboman beberapa gereja di Surabaya, dan masih banyak lainnya.

Anehnya, tindakan membunuh, menteror, membakar, memusnahkan sesama manusia dibungkus atas nama agama.

Hal yang lebih memilukan lagi adalah para tokoh, pelaksana, eksponen, pelaku kekerasan itu adalah orang-orang yang mengaku beragama.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah agama mengajari orang menjadi radikal dan tega menyakiti sesama ciptaan Tuhan? Apakah artinya agama, jika tidak melestarikan kehidupan manusia?

Asal kata

Kata “radikalisme” secara etimologis berasal dari kata “radix” yang berarti akar. 

Dengan demikian, radikalisme adalah paham atau gerakan yang menginginkan pembaharuan dengan mengembalikan diri mereka ke “akar” secara ekstrim.

Pandangan ini kerap kali  disandingkan dengan gerakan fundamentalisme. Banyak orang membungkus gerakan radikalisme dengan label agama.

Hal ini menunjukan bahwa kurangnya pandangan secara objektif terhadap agama-agama dan kurangnya menghayati agama secara benar dalam konteks Indonesia yang multikultural dan ber-Pancasila.

Tiket masuk surga?

Terorisme atas nama agama mengesahkan  suatu tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi. Mereka berpikir bahwa  dengan tindakan brutal terhadap manusia lain  akan mandapat tiket masuk surga bagi pelakunya.

  • Apakah kebahagiaan akhirat dicapai dengan cara demikian?
  • Bukankah dengan demikian agama menjadi biang kejahatan?

Gerakan radikal dalam membela Tuhan dan agama menjadi aktivitas yang terus berulang dalam sejarah manusia, semenjak manusia mengenal agama, kebenaran agamis dan iman akan Tuhan.  

Provokatif

Agama kerap kali  menjadi bahan bakar bagi aneka gerakan ini. Ada dua sudut pandang untuk melihat hal ini, yakni sudut pandang positif dan negatif.

  • Secara positif, manusia menunjukan adanya otoritas Illah yang telah diyakininya.
  • Secara negatif, semangat semacam ini kadang kala berbenturan keras dengan aliran lain, dan kerap kali memunculkan rasa fanatisme, apologisme, bahkan terorisme.

Sumber radikalisme agama

Pencarian otentisitas keagamaan yang mengebu-gebu, pada gilirannya berujung pada meningkatnya perjumpaan secara keras dengan pihak lain.

Endang Turmudi mengatakan bahwa secara sosiologis, setidaknya ada tiga gejala yang dapat ditengarai dari paham radikalisme, yaitu:

Pertama, merupakan respons penolakan terhadap ide dan kondisi sosial-politik-ekonomi yang dianggap bertentangan dengan keyakinannya.

Kedua, penolakan ini berlanjut kepada pemaksaan kehendak untuk mengubah keadaan secara radikal ke arah tatanan lain yang sesuai dengan cara pandang dan ciri berpikir yang berafiliasi kepada nilai-nilai tertentu, misalnya agama maupun ideologi lainnya.

Ketiga, ada klaim kebenaran dan ideologi yang diyakininya sebagai sesuatu yang lebih unggul daripada yang lain.

Pada gilirannya, sikap truth claim ini memuncak pada sikap penafisran dan penegasan sistem lain.  

Gejala yang ketiga inilah yang kerap kali terjadi di Indonesia.

Paham radikalisme yang selalu digerakkan dalam berbagai momentum, tidak menutup kemungkinan akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain untuk mencapai kepentingan tertentu.

Ketika radikalisme agama dijadikan sebagai wadah pergerakan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah, sementara barisan mereka dijiwai oleh ambisi kekuasaan dan politik, bukan tidak mungkin segala cara termasuk tindakan dishumanis akan dilakukan.

Bahkan dikemas  dalam berbagai aksi yang berjilid-jilid untuk menekan dan mengintimidasi siapa pun yang dianggap berseberangan.

Sudah lama

Tindakan membela agama dan ajarannya sudah terjadi ribuan tahun yang lalu. Hal ini dilakukan oleh kaum Farisi. Mereka sangat mencintai Allah dan adat istiadat Yahudi.

Nilai-nilai dalam agama yang telah diyakini selama berabad-abad dan termaktub dalam Taurat harus dibela mati-matian. Bagi mereka, Orang Yahudi sejati adalah mereka yang menjalankan Taurat. Barangsiapa menista Taurat harus dihukum.

Pertanyaannya ialah apakah  agama harus dibela sedemikian rupa?

Apakah Tuhan yang Mahasempurna membutuhkan pembelaan manusia yang maharapuh?”

Kebenaran agama

Wilson dalam Against Religion Why We Should Try to Live Without It (1990) berargumentasi:

“Kalau agama itu benar, tetapi tidak mampu mempengaruhi tingkah laku para pemeluknya, lalu bagaimana membuktikan kebenaran agama itu?

Dan apa gunanya agama yang benar tetapi tidak mampu mempengaruhi watak penganutnya menuju keberadaban?”

Pertanyaan ini ditujukan kepada semua orang yang mengaku beragama. Inilah masalah dari zaman ke zaman yang diwarisi bersama oleh semua umat manusia.

Teologi semua agama mungkin saja mau mengatakan bahwa agama mereka sendirilah yang paling benar. Lalu, yang lain dikatakan salah atau menyimpang.

Kalau demikian, ini kan sama saja persis yang dikatakan oleh kaum teroris yang sering mengklaim diri dengan ungkapan ini: “Kamilah yang paling benar dalam menjalankan ibadah, dan yang lain (berbeda) adalah kafir, sehingga sah untuk dilenyapkan.”

Charles Kimball pernah mengatakan “when religions become evil”.

Dua tanda agama jadi jahat

Kimball memberi dua tanda yang menjadi penyebab mengapa agama bisa menjadi jahat:

Pertama, adanya klaim–klaim kebenaran. Klaim atas kebenaran ini menuntut kesetiaan dan kesamaan interpretasi.

Perbedaan penafsiran, apalagi perbedaan dalam pemahaman keimanan, mengakibatkan orang-orang yang berlawanan dicap sebagi sesat dan kafir.

Kedua, ada semangat “misionarisme” yang militan dengan menggunakan segala macam cara (bahkan yang keji sekalipun) untuk menyelamatkan “orang kafir yang masih berlumur dosa.”

Orang lain yang tidak sepaham dengannya lalu dianggap sebagi pendosa yang harus ditobatkan.

Tuhan itu satu atau banyak

Hal ini menunjukan kurangnya kecerdasan dalam beragama.

Melihat realitas demikian, muncul satu pertanyaan: Apakah Tuhan itu hanya satu atau banyak?

Peristiwa terorisme atas nama agama yang marak belakangan ini sungguh menjadi momentum yang baik dan sekaligus kritis bagi segenap umat beragama untuk berkaca.

Seandainya semua orang yang beragama berpikir bahwa Tuhan itu hanya satu. Tetapi, cara manusia mengimani Tuhan yang sama itu berbeda.

Maka perilaku brutal atau tidak manusiawi atas nama agama pasti berkurang bahkan lenyap dari muka bumi.  

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version