SEMBULAN sepoi malam menusuk-nusuk pori-pori. Tubuh senjaku menggigil. Apa mungkin karena faktor usia atau karena memang cuaca malam ini yang dingin.
Rasanya begitu menggigil untuk ukuran kulit tubuhku. Tipis. Dinginnya akut. Suara riak ramai penghuni rumah perlahan senyap. Suasana hening.
Aku harus membenamkan ragaku dalam balutan switer sambil menanti ngantukku tiba. Selembar kertas berukuran kecil dan apik bertuliskan Mei: Bulan Maria masih tertata di pojok kamar tidur, berada persis di bawah patung Bunda Maria dengan sebuah lilin kecil yang masih menyala.
Seutas Rosario masih melingkar apik di tanganku. Ada kesejukan dalam batinku. Di tengah kesibukan aku masih sempatkan diri bersimpuh dalam khusuknya doa. Aku percaya semua yang kualami dalam hidupku hingga saat ini adalah anugerah Tuhan.
Dialah yang meneduhkan saat aku tersengat dahaga, penyemangat saat aku kelelahan menghitung-hitung hari hidupku. Hidup selibat adalah keputusan terbaik yang pernah aku buat dahulu. Aku tak pernah menyesalinya, batinku.
Jarum jam menunjuk angka 11, aku menyerah pada mataku yang lelah menahan kantuk. Sebelum terlelap dalam tidur, kusempatkan diri menyetel alarm agar tidak telat mengikuti Ekaristi besok pagi.
***
Pagi tampak cerah. Mentari memancarkan sinarnya pada semesta. Dari balik tirai jendela kamar aku melihat anak-anak kecil berlari beriringan sembari menjinjing jerigen di tangannya untuk timba air. Sebuah rutinitas harian orang-orang di kampungku untuk kebutuhan air harus pergi menimba di sebuah pancuran yang jaraknya sekitar 200 langkah kaki di luar perumahan kampung.
Tapi biasanya air untuk kebutuhan memasak nasi, sayur, ubi, dan kopi disiapkan sore sebelumnya. Kecuali, bila sorenya ada kesibukan dan tidak jarang lupa.
Lupa memang menjadi sakit yang sulit diobati terutama bagi anak-anak, terlebih saat sedang asyiknya main karet bersama sebaya.
“Ani, bangun lihat teman-temanmu di luar sudah siap-siap ke sekolah, bangun nak, nanti kamu terlambat”.
Suara ibu mengingatkanku. Aku tidak segera menjawab, hanya termangu. Menerawang hampa, mengamati langit-langit. Badan masih terasa capek, setelah kemarin separuh hari kuhabiskan bersama Novita dan Lia mencari katak, kepiting dan ikan mujair di kali dekat persawahan.
Ibu sempat marah soal itu. Ia cemas aku tidak muncul saat makan siang di rumah.
“Untung saja ayahmu yang menenangkanku. Ia sempat melihatmu di rumah pamannmu”.
Begitu ibu memberitahuku kemarin sore. Lalu aku bangun dan bergegas menuju dapur. Di sana sudah ada ibu yang sedang memasak ubi untuk sarapan, ayah duduk dekat perapian sambil mengisap sebatang Dji Sam Soe, ayah memang perokok telaten.
Begitu bangun pagi yang pertama dicarinya adalah rokok.
Kadang ketika uangnya habis, iya menyuruh kami untuk pergi bon di kios. Meski begitu, ayah sangat perhatian dengan kamu terutama untuk urusan sekolah. Ayah menginginkan kami rajin pergi ke sekolah.
“Ayo Ani, cepat pergi cuci muka sana, nanti kamu terlambat ke sekolah”.
Suara ayah melambung memecahkan diamku. Aku berdiri mematung, memasang badan lemas dan termangu.
“Ani, kamu harus ke sekolah. Kamu sekolah bukan untuk aku atau ibumu juga bukan untuk siapa-siapa tapi untuk kamu sendiri. Demi masa depan kamu”.
Ayah menasihatiku.
“Lihat kakakmu sebentar lagi masuk SMA, dan kamu hapir sukses menanggalkan seragam putih merah, tinggal hitungan hari saja kamu berseragam putih biru. Ayolah Ani”.
Ayah meyakinkan. Suara Ayah membuatku tergerak. Secepat kilat aku mencuci muka menuangkan separuh air dari jerigen yang sudah kusiapkan kemarin sore.
Di atas meja, ibu sudah sajikan sepiring ubi rebus dengan secangkir kopi. Pagi ini aku merasa sukses melawan malasku.
Aku bersimpuh, tersenyum kecil.
***
“Selamat ya, untuk kelulusannya, oo iya Ani, tidak terasa akhinya masa putih abu-abumu usai”.
Begitu sebuah pesan singkat dari kakakku yang sedang kuliah di kota.
“Terima kasih buat ucapannya,” balasku pendek ditambah emoji tangan sedang bersalaman. Aku membalik arah, dihadapanku ada ayah dan ibu yang asik mencicipi ubi tatas dengan menyeruput kopi pahit.
Aku segera bergabung menikmati sarapan pagi. “Ani”, suara ayah menyapa. “Dulu sewaku kamu masih SD ayah pernah melihat kamu saat misa minggu panggilan. Ayah kagum melihat kamu mengenakan pakaian suster.
Pakaian itu berukuran kecil cocok dengan tubuhmu yang masuh kecil. Tapi aku tidak pernah berharap kamu berminat mau masuk suster. Apalagi anakku hanya kalian berdua.”
Ayah lalu diam sejenak sambil menyeruput kopi, mengarahkan pandangannya seperti ingin lanjut bicara.
“Oo iya, si Dodu kemarin menanyakan kabarmu. Dia baru tiba tiga hari yang lalu dari tanah ratau, katanya ia mau meminangmu dalam waktu dekat. Itu juga aku ragu. Karena aku ingin kamu lanjut kuliah seperti kakakmu. Cukup aku dan ibumu saja yang harus bekerja membanting tulang, tahan berdiri di bawah ngengat terik”.
Tiada kata terucap dari mulutku, hanya bisa termangu. Ibu sedikit menaik nafas seperti hendak bicara.
“Ani, benar kata ayahmu, kami menginginkan kamu hidup lebih baik dari kami. Sekarang kami mempersilakan kamu memilih mana yang terbaik untukmu”.
Ibu memberiku kesempatan untuk memilih. Kerinduan yang terwujud.
Saatnya aku memutuskan mana yang terbaik untukku. Untuk hidupku selanjutnya. Bening di mataku pecah berhamburan membasahi wajahku. Aku terharu.
Telah bertahun-tahun aku hidup besama kedua orangtuaku hingga SMA mereka yang menentukan mana yang terbaik untuk aku, termasuk urusan sekolah. Perlahan tapi pasti, aku mengeja kata-kataku. “Aku-ingin-menjadi-seorang-biarawati”.
***
Bayang-bayang Ani kecil yang memakai pakaian suster saat misa minggu panggilan kembali terngiang dalam benakku. Aku begitu yakin itulah awal benih panggilanku tumbuh.
Aku terpesona dengan keanggunan pakaian para suster yang berkarya di Stasiku kala itu. Aku berharap suatu hari nanti aku mengikuti jejak hidup serupa.
Wajah ayah dan ibu kembali hadir dalam ruang ingatan. Petuah-petuah merekalah yang menegakkan semangatku dalam menjalani hidup yang telah saya pilih sendiri menjadi seorang biarawati.
Meski batang usiaku kini mengukir senja, tidak pernah lelah aku mengenang mereka dalam setiap doaku. Dalam setiap rindu yang tercurah.
Bagiku keluarga adalah perisai yang memacu semangat hidupku sebagai biarawati yang tercurah dalam doa, motivasi dan harapan.
“Selamat siang suster.”
Sebuah suara menyasar di kupingku, aku terjaga. “Aha… suster Lia bikin kaget saja”. Spontanku. Lagian suster sih bengong sendiri, emangnya lagi mikirin apa?”
Suster Lia mencoba menginterogasi. “nggak apa-apa kok cuman nostalgia aja”.
Aku menjawabnya singkat. “Ah, suster bisa aja.”
Ia tersenyum kecil.