Semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan Olan. Kalau diingat-ingat sungguh menyebalkan. Sial! Aku berpikir teganya dia berbuat begitu? Apa karena iri? Bisa jadi. Bukankah Olan pernah cerita pekerjaannya sekarang membosankan? Tidak sesuai dengan angan-angannya? Aku bersumpah tidak akan bertemu lagi dengannya.
Sebulan kemudian aku ketemu dengan Olan lagi. Kali ini di dalam bis yang penuh sesak. Olan melambaikan tangan memanggilku. Aku tak bisa menghindar. Apalagi Olan berbaik hati menyerahkan tempat duduknya kepadaku. Aku menolak. Olan memaksa. Aku mengalah. Aku duduk. Olan berdiri. Olan memulai pertemuan kali ini dengan guyonannya.
Aku menyambutnya dengan tawa dipaksakan demi menghormati lawan bicara. Wajar saja aku merasa hambar. Humor-humornya sudah basi. Yang diceritakan selalu zaman dulu, zaman masih SMA. Memang masih lucu. Tapi bagiku sekarang hambar. Apalagi yang bisa diceritakan Olan selain masa lalu?
Tak disinggungnya pertemuan dulu di restoran. Aku toh sudah melupakannya. Yeah, buat apa diiingat-ingat? Tidak baik di zaman susah begini punya musuh, sekecil apa pun. Lagipula aku ini termasuk pencinta damai. Aku jadi ingat kata seorang teman:”Teman adalah tabungan berharga. Ia bisa bertambah, tapi bisa juga hilang tak berbekas”.
Kali ini Olan tidak menipuku. Dia turun lebih dulu. Aku bersyukur dan berharap tidak akan pernah bertemu dengannya. Tapi seminggu kemudian aku ketemu lagi. Sekarang di TIM, ketika aku sedang menghadiri acara diskusi dan peluncuran buku kawanku seorang penulis. Aku heran. Tumben Olan datang ke acara beginian. Meski aku bukan teman dekatnya aku tahu orang seperti Olan lebih suka nonton film, pergi ke mal, pub atau diskotik. Apalagi kerjaannya main band di pub.
”Wah, hebat ya temanmu? Bukumu kapan?” tanyanya sembari bergurau. Aku cuma nyengir kuda meski dalam hati rada tersindir juga. Memangnya gampang membuat buku? Aku hanya tersenyum, bersalaman dan buru-buru menjauh. Aku tidak mau terjebak dalam obrolan-obrolan hambar. Pokoknya aku harus segera menghindarinya!
Tampaknya Tuhan punya rencana lain. Entah kenapa hari-hari belakangan ini aku ”ditakdirkan” selalu bertemu dengan Olan. Di bus, kelokan jalan, di gang, halte, telepon umum, kompleks perumahan, warung, supermarket, toko buku, mal, bioskop, gedung pertemuan, stasiun kereta, hotel, restoran, wese umum…
Dalam setiap pertemuan aku selalu menghindar. Kadang berhasil seperti pertemuanku di TIM tempo hari. Jika gagal terpaksa aku meladeninya seperti ketika bertemu di bus dulu. Begitulah pertemuan-pertemuan kami. Olan memang selalu mampir tidak diundang, tanpa permisi.
Meski akhirnya jadi sering ketemu Olan aku bersyukur selama ini aku belum pernah bertemu dengannya di rumah atau gang menuju rumahku. Memang pernah dia bertanya alamatku. Demi sopan santun aku memberikannya. Aku perhatikan setiap ketemu Olan selalu beralasan ”kebetulan mampir” atau ”diajak teman” (dan temannya sendiri aku pasti selalu tidak pernah melihatnya).
Olan selalu sendirian. Tidak pernah kelihatan dia bersama orang lain, meski ia mengaku kepadaku sudah beristri dan beranak satu. Satu hal yang kuingat Olan selalu berpenampilan trendy persis seperti waktu aku ditipunya.
Aku heran. Batinku terus bertanya-tanya kenapa aku selalu bertemu dengan Olan. Seakan dia menguntitku terus.
Meski sudah sering terjadi (diam-diam aku menghitung ternyata setiap satu bulan sekali aku ketemu Olan di mana saja!), aku berpikir apa maksudnya Tuhan mengirimkan Olan kepadaku? Apakah dengan bertemu Olan Tuhan berharap aku menjalin persahabatan? Aku pernah ingat sebuah tulisan ”persahabatan terkadang bisa membunuh”. Tetapi tentu saja pertemuanku dengan Olan sama sekali bukan persahabatan. Jadi tidak mungkin ada ”pembunuhan”.
Bukankah selama ini kami cuma bertegur sapa? Olan memang sahabatku dulu di SMA. Tidak dekat malah. Hubungan kami dulu juga hanya sekedar ‘say hello’ saja. Tapi kenapa sekarang setelah aku selalu berjumpa dengannya juga hanya sekedar ‘say hello’? Memang kehadirannya tidak seberapa mengganggu tapi kenapa selalu hadir tanpa permisi? Entahlah.
Bagiku ini benar-benar peristiwa ajaib. Pernah kuceritakan hal ini kepada istriku. E-eh, dia malah tertawa. Dan pembicaraan tentang Olan segera tergeser topik-topik lain…
Pernah aku iseng-iseng menelepon Olan. Suara di sana selalu bilang ”Nomor telepon yang anda tuju tidak dapat dihubungi atas permintaan pemiliknya.” Lho? Handphonenya? Tidak aktif.