[media-credit name=”shutterstock” align=”alignright” width=”274″][/media-credit]I wish I could tell you something to take it all away
If only I could find the answer to help me understand
Sometimes I wish I could save you
And there’s so many things that I want you to know
I won’t give up till it’s over, tell me you won’t give up
Cause I’ll be waiting here if you fall, you know I’ll be there for you
Valerie, nama yang membuatku sangat membencinya. Terkadang ia membuatku bertanya-tanya untuk apa aku hidup? Atau mengapa aku harus mempunyai seorang kakak seperti itu? Valerie dan sindrom asperger. Dua hal yang tak terpisahkan di pikiranku.
Penyakit yang dideritanya sejak kecil itu membuat hidupku semakin ngilu. Bagaimana tidak? Setiap saat aku harus mengurusnya, seolah aku tak punya kehidupan selain dirinya dan penyakitnya. Begitu banyak waktuku tersita hanya untuk menunjukkan kepedulianku sebagai adik kepada kakak yang sakit. Tapi sampai kapan?
Pedih rasanya harus menjadi baby sitter bagi Valerie, namun lebih perih lagi ketika aku membiarkannya tak berdaya. Ia memiliki kesulitan dalam komunikasi. Sorot matanya polos, dan tawanya meledak-ledak.
Kadang ia diam dengan mulut yang terus mengeluarkan air liurnya, kadang ia terisak sambil memeluk bonekanya. Namun sorot matanya tak pernah berubah, kosong. Ia benar-benar seperti bayi.
Aku sempat bertanya, mengapa kau terlahir seperti ini? Kau cantik, kau punya rambut yang indah, tapi kenapa penyakit ini mendatangimu. Merenggut kecerian, dan mematahkan harapanmu? Dan ia hanya menjawab dengan senyum hangat, Maafkanlah kalau aku terlahir dengan penyakit yang menyertaiku, ini bukan kemauanku.
Karena bagaimana pun, seorang anak tidak bisa memilih untuk terlahir dari rahim siapa dan dalam kondisi seperti apa. Aku tersentak mendengar jawaban itu. Entah apa yang aku pikirkan, bagaimana bisa aku melontarkan pertanyaan bodoh itu. Tapi ia tidak marah atau kesal karena pertanyaanku, ia bukan orang pendendam sepertiku. (bersambung)
Penulis : Cyntia Jasmine & Theresia Okvitawati,