HARI-hari belakangan ini, semua perhatian orang seakan tengah terarah menuju Cikeas. Kuping sengaja dibuka lebar-lebar untuk mendengar aneka bisikan dari Cikeas. Mata senantiasa terpicing ingin mencermati berita-berita tentang Cikeas.
Memanglah, sepanjang medio Oktober 2011, Cikeas mendadak sontak telah menjadi bintang pemberitaan nasional hanya lantaran rencana reshuffle kabinet.
Menjadi pusat
Padahal, tahun 1996 silam Cikeas bukanlah siapa-siapa. Bahkan, ketika menyusuri jalanan becek berdebu sepanjang Trans Yogi ke arah Taman Buah Mekarsari di benak saya waktu itu sama sekali tidak ada acuan tentang Cikeas. Ketika Pak SBY menjabat Menko Polkam era pemerintahan Megawati dan kemudian pada era Presiden Gus Dur, Cikeas tetap masih menjadi anonim bagi masyarakat banyak dan tak terkecuali awak media. Baru ketika Susilo Bambang Yudhoyono naik pangkat menjadi Presiden RI, Cikeas dalam sekejap telah berubah seolah-olah menjadi matahari yang menerbitkan pesona.
Dari Cikeas, kamera-kamera televisi menyiarkan berita. Kilatan cahaya blitz membahana mau mengabadikan semua peristiwa yang berkaitan dengan Cikeas. Hajatan di Cikeas –apa pun itu bentuknya—menjadi santapan para awak media untuk kemudian dikemas manis dalam pemberitaan. Cikeas menjadi pusat berita dan tak terkecuali medio Oktober 2011 dengan satu issue: reshuffle kabinet Indonesia Bersatu jilid 2.
Menarik tapi tidak ngefek
Sama seperti awak media, semua parpol anggota Koalisi Parpol berkepentingan ingin memantau setiap “pergerakan” yang terjadi di Cikeas. Siapa-siapa yang datang ke Cikeas dan pergi meninggalkan Cikeas ditelisik dan kemudian diperbincangkan. Oleh media, setiap “pergerakan” menjadi bahan berita yang layak ditampilkan. Entah dibaca atau tidak, itu tidak menjadi soal. Yang penting, sudah melakukan tugas: melaporkan tentang “pergerakan”yang terjadi di Cikeas.
Padahal, bagi masyarakat kebanyakan berita tentang Cikeas sama sekali tidak terlalu menarik. “Tidak ngefek ke kita,” ujar Salimun, tukang becak sederhana yang biasa mangkal di ujung jalan tak jauh dari rumah saya.
Jawaban Salimun bisa jadi menjadi cerminan masyarakat kebanyakan yang nyaris tidak peduli dengan setiap “pergerakan” yang terjadi di Cikeas. Apa perlunya memperhatikan Cikeas, begitu “protes” mereka, kalau isi hati kelompok masyarakat sederhana itu mau kita ungkapkan apa adanya.
Istilah “tidak ngefek” menjadi kata kunci penting.
Gegap gempita reshuffle kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 rasanya hanya menarik bagi para awak media dan semua parpol anggota Koalisi. Tak begitu bagi kebanyakan orang kecil semisal Salimun, tukang becak asal Brebes, Jawa Tengah. “Kalau tidak bisa mengubah keadaan, lah untuk apa saya harus mendengarkan, membaca, dan melihat Cikeas?,” kata Budi, pegawai swasta yang tidak buta politik.
Mengais harapan
Dari Cikeas, orang sebenarnya punya harapan banyak. Setidaknya harapan akan terjadinya banyak perubahan di negeri ini. Untuk kelompok masyarakat beragama yang tergolong kaum minoritas di negeri ini, harapan agar lahir keberanian mengambil sikap tegas itu diharapkan bisa muncul dari Cikeas. Ternyata, harapan itu selalu tergadaikan.
Dari kelompok masyarakat marjinal seperti Salimun, harapan akan lahir kebijakan-kebijakan pro rakyat seperti penciptaan lapangan kerja senantiasa dikumandangkan bisa lahir dari bumi Cikeas. Ternyata, klaim tentang turunnya angka kemiskinan itu hanya ada di tataran ide alias data statisik karena nyatanya masih saja banyak kaum papa tidak diurus oleh negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Kelompok kelas menengah terpelajar dan sedikit banyak bisa membaca “dunia politik” seperti Budi itu punya ceritanya sendiri. Harapan besar dari Cikeas nantinya bisa lahir seorang figur pemimpin besar nasional tipikal pemberani mengambil risiko tidak populer ternyata sering menemui jalan buntu. Yang Budi lihat, hanyalah retorika dan tebar pesona saja. Menggertak Malaysia saja kurang berani, apalagi –kata Budi—berani tidak populer membela kepentingan rakyat banyak.
Dari Mbak Yem yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, harapan akan perlindungan maksimum atas nasib saudara-saudaranya yang mengais rezeki sebagai TKI di Timur Tengah dan negeri jiran senantiasa bergaung keras. Namun, ternyata masih banyak TKI terlupakan hingga hidup mereka berada di ujung tanduk lantaran negara tidak memedulikan mereka yang terancam hukuman pancung. Kalau baru bergerak setelah terjadi kehebohan di media massa, tentu bukanlah tipe seorang pemimpin ideal.
Masih banyak harapan bisa kita gali dari orang-orang yang selama dua kali pemilu terakhir ini mengaku dengan bangga telah memilih warga Cikeas menjadi calon pemimpin nasionalnya. Kalau selama hampir tujuh tahun terakhir ini, harapan-harapan bagus itu ternyata akhirnya hanya menemui jalan buntu alias tidak terpenuhi, maka Cikeas –seperti kata Salimun—memang tidak menarik lagi untuk dilihat, didengar, atau diperbincangkan.
Hingar-bingar pemberitaan tentang reshuffle kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 ini rasanya hanya menjadi “ramai” dan bahan konsumsi media serta para pengamat politik saja. Kalau hasil hingar bingar politik itu sama sekali tidak memberi efek perubahan berarti menuju tatanan masyarakat yang lebih beradab dan lebih sejahtera, Cikeas –seperti tahun 1996 lalu—sungguh tak (lagi) dikenal orang.