Cinta Pertama Anak Perempuan

0
42 views
ilustrasi: Seorang ayah mendapatkan energi baru setiap kali bertemu keluarganya. (Ist)

PEKAN lalu saya nonton film Kaka Boss.

Film besutan Arie Kriting dan Kristo Immanuel yang menarik untuk disimak. Apalagi bagi mereka yang berpredikat “ayah” yang mempunyai anak perempuan dan sebaliknya.

Film bercerita tentang Angel seorang anak tunggal perempuan; masih duduk di bangku SMP elit dan favorit. Dia berasal dari keluarga kelas menengah ke atas; berwajah manis dan cukup pandai di kelas.

Angel mempunyai teman banyak, karena pandai bergaul. Lengkap sudah predikat yang melekat pada diri Angel sebagai remaja idola.

Sayang, ayah Angel, yang dalam film ini dipanggil Kaka Boss berprofesi sebagai direktur penyedia jasa penagih utang dan pengawal swasta. Singkat kata, Kaka Boss adalah seorang jagoan preman yang ditakuti oleh banyak orang. Wajah dan penampilannya “menakutkan”, ikut mendukung profesinya.

Dari situlah drama mulai diolah oleh sang sutradara.

Angel malu mempunyai ayah yang menyeramkan. Tak terbersit rasa bangga sedikit pun terhadap ayahnya. Di kalangan teman-temannya, ayah Angel sering menjadi obyek sindiran. Di lain sisi, dia ingin sekali mempunyai seorang ayah yang menjadi idola bagi dirinya dan teman-temannya. konflik pun mulai muncul.

Untung, Kaka Boss menyadari hal ini. Dia sangat ingin memenuhi harapan Angel. Dipilihnya menyanyi sebagai jalan keluar.

Malam pesta seni yang akan digelar di sekolah Angel diharapkan mampu menyulap Kaka Boss menjadi penyanyi hebat dan mendapat tepuk tangan meriah dari penonton. Sayang suara sumbang Kaka Boss jauh dari kriteria sebagai penyanyi.

Akhirnya, Alan, seorang produser musik yang diminta membantu Kaka Boss, mempunyai ide brilyan. Kaka Boss tak perlu menyanyi dengan nada meliuk-liuk, cukup berpuisi seraya “ngerap” di atas panggung. Alhasil, acara itu sukses.

Konflik dalam diri Angel yang sangat mendambakan kebanggaan akan seorang ayah yang hebat versus realita yang sebaliknya adalah lumrah belaka.

Hubungan antara ayah dengan anak perempuannya memang sangat-sangat unik tapi juga istimewa. Mereka bagaikan pasangan yang tak mungkin diselami relasinya oleh orang ketiga sampai kesejuta. Banyak ungkapan yang dikenal orang tentang hubungan ini. Sebut saja satu di antaranya :

“Bagiku, ayah bisa bermain seperti anak kecil, memberi pandangan seperti teman, dan melindungi bak pengawal”.

Saya termasuk salah satu contoh yang terlibat dalam hubungan yang spesifik ini. Oleh karenanya bisa merasakan dengan sesungguhnya apa yang terjadi.

Ketika kemaren, kami mengadakan acara “mitoni” untuk usia kehamilan Wulan yang ketujuh bulan, diam-diam saya mbrebes mili. Seakan baru sadar bahwa Wulan bukan nona kecil yang dulu sering menggelendot di kaki sambil meminta saya berjalan perlahan-lahan.

Deandra, keponakan saya, seorang dokter gigi yang cerdas dan cantik, tak bisa menyembunyikan kegalauannya yang mendalam ketika bapaknya meninggal dunia mendadak di luar kota pekan lalu. Perasaannya bercampur baur. Raut wajahnya menyiratkan betapa hebatnya sang bapak, sekaligus hero. Seakan dia tak percaya ditinggal begitu cepat.

Saya bisa sangat memahaminya.

Yang paling “berat” dan “rumit” adalah saat anak perempuan “matur” (bilang dengan sopan dan hati-hati) bahwa dirinya sudah menentukan calon suami yang akan mendampinginya.

Bagi siapa saja seorang ayah, “berita” itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong, meski mungkin sang calon adalah pangeran dari negeri khayangan sekalipun. Bukan soal siapa dia, tapi lebih banyak karena relasi cinta yang selama ini tumbuh kembang dengan aman dan nyaman, sedikit banyak akan “terganggu”.

“Ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya.”

Memiliki anak laki-laki atau perempuan sejatinya membuahkan kebahagian yang sama. Anak laki-laki membanggakan, anak perempuan menenteramkan. Itu yang membuat seorang ayah lebih dominan menggunakan perasaan daripada otaknya terhadap anak perempuan. Demikian pula sebaliknya.

Angel, Wulan, dan Deandra adalah anak-anak perempuan yang sudah menginjak dewasa. Cepat atau lambat mereka “lepas” dari pangkuan ayahnya. Tetapi hati dan cinta mereka senantiasa bersemayam di dada mereka.

“A daughter may outgrow your lap but she’ll never outgrow your heart.” (Anonim)

PS: Artikel di atas dikerjakan usai penulis nonton film Kaka Boss.
@pmsusbandono
2 Oktober 2024

Baca juga: You are what you’re flexing.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here