CWTC-IBSI: Cara Suster Indonesia Ikut Peduli Perempuan dan Anak Korban Illegal Trafficking dan Kekerasan

0
665 views
Lokakarya tentang SOP pengelolaan shelter bagi korban TPPO dan kekerasan yang menyasar anak dan perempuan. (Ist)

INILAH sebuah pertemuan penting dengan menu utamanya yakni program lokakarya tentang SOP (standard operating procedure) tentang mekanisme pengelolaan shelter (tempat aman) bagi korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) dan kekerasan yang menyasar perempuan dan anak.

Pertemuan koordinatif dan lokakarya itu baru saja digelar di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, awal Maret 2019 ini.

Kejahatan transnasional

Ide dasarnya adalah membentuk kerangka pikir dan pemahaman bersama bahwa perdagangan orang itu merupakan salah satu bentuk kejahatan yang bersifat transnasional: melewati batas-batas teritorial antarnegara.

Praktik jual-beli orang untuk bisa dijadikan komoditas pasokan tenaga kerja rumahan atau industri pabrik itu sangat bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Praktik itu juga melanggar prinsip hormat terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM).

Berbagai upaya senantiasa dilakukan guna bisa mencegah praktik perdagangan orang. Langkah seperti ini telah dilakukan oleh berbagai pihak.

Rupanya, Gereja Katolik Indonesia pun tidak mau ‘ketinggalan kereta’. Mereka mau dan ikut peduli atas masalah kemanusiaan ini.

Gereja Katolik Indonesia ikut terlibat

Kini, sejumlah suster biarawati lintas tarekat religius sudah punya perhatian besar atas hal ini. Salah satunya adalah beberapa kongregasi suster selalu mengutus susternya agar mengikuti program-program pengayaan pengetahuan dan praktik-praktik pencegahan terhadap TPPO.

Pertanyaannya adalah mengapa Gereja Katolik perlu melibatkan diri dalam urusan mencegah TPPO ini?

Suasana lokakarya.

Tak lain dan tak bukan, karena Gereja Katolik harus “buka mata”. Yakni, bahwa sekarang ini praktik kasus perdagangan orang sudah sebegitu akutnya sehingga semakin banyak orang –khususnya anak-anak dan kaum perempuan— selalu menjadi korbannya. Baik sebagai korban praktik TPPO maupun korban aksi kekerasan.

Kondisi ini menuntut Gereja Katolik Indonesia harus ikut serta membantu pemerintah dan organisasi-organisasi kemanusiaan lainnya. Mereka ini adalah pihak-pihak yang selama ini telah dan selalu berperan aktif mengurangi praktik TPPO dan aksi kekerasan yang menyasar perempuan dan anak-anak.

Intinya adalah merawat komitmen Gereja Katolik Indonesia untuk senantiasa menjadi “garda depan” dalam upaya bersama untuk menjaga martabat manusia.

Ref:

CWTC-IBSI

Dalam Gereja Katolik Indonesia, “urusan” yang satu itu sudah ditangani sejak lama oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian KWI serta lainnya.

Kabar baik pun sudah lama ikut berhembus kencang di IBSI (Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia). IBSI adalah sebuah jaringan komunikasi dan kerjasama antarkaum religius perempuan (baca: suster biarawati) di seluruh Indonesia.

Mereka ini –para suster biarawati di jaringan IBSI—sebenarnya sudah lama juga ikut berkiprah terlibat dalam kegiatan melakukan “perang bersama” melawan TPPO.

Namun, sayang bahwa kiprah yang baik itu sering tidak selalu bisa “muncul” di ranah publik karena sepinya publikasi atas kegiatan-kegiatan baik ini.

Mereka sudah punya “payung bersama” bernama Counter Women Trafficking Commission Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia (CWTC-IBSI).

Para suster yang terlibat aktif di jaringan CWTC-IBSI. (Sr. Kristina Fransiska CP/Malang)

Eksis sejak tahun 2008

Lembaga kemanusiaan yang diampu oleh para suster biarawati lintas tarekat religius ini sebenarnya sudah eksis sejak tahun 2008.

Intinya, CWTC-IBSI ingin juga bisa berperan aktif seperti komisi-komisi di KWI dalam menanggapi ajakan gerakan kemanusiaan internasional dan nasional untuk ikut mengambil bagian dalam pelayanan terhadap persoalan perdagangan orang.

Hampir dua tahun silam, sebuah rapat koordinatif dan lokakarya mengenai tema yang sama juga pernah diselenggarakan di Biara Susteran Gembala Baik di Jatinegara, Jaktim. Beberapa bulan berikutnya, sebuah pertemuan internasional membahas program yang sama juga telah berlangsung di Hua Hin, kota wisata di Thailand.

Sejumlah suster biarawati Indonesia lintas tarekat mengikuti pertemuan yang dihadiri oleh para suster sekawasan Asia Pasifik yang bergerak di “medan tempur” sama.

Pentingnya shelter bagi korban

Dalam lokakarya di kawasan di Jaktim di bulan Maret 2019 lalu ini, perbincangan CWTC-IBSI mengarah pada diskusi mengenai SOP dan mekanisme mengelola shelter untuk program perawatan dan rehabilitasi para korban TPPO.

Kali ini, mereka menggandeng organisasi kemanusiaan seperti IOM dan lainnya untuk menjadi narasumber dalam lokakarya ini.

Mengapa persoalan SOP atas shelter ini dianggap penting?

Berbagai program sudah dilakukan oleh jaringan CWTC-IBSI untuk ikut menangani dan mengatasi persoalan perdagangan orang. Beberapa jaringan CWTC juga sudah menyediakan shelter untuk pendampingan korban.

Ref:

Namun kendala yang dialami saat ini adalah tersedianya banyak shelter itu ditengarai masih jauh dari kriteria standar minimal yang secara internasional dipersyaratkan harus ada. Di titik singgung inilah, lokakarya itu dilakukan guna menjawab “masalah bersama”.

Dalam lokakarya itu, kami membahas akar masalah yang ditemukan melalui proses berpikir analisis sebab-akibat. Yakni, umumnya para tenaga pengelola shelter itu belum mempunyai pemahaman yang memadai dalam pendampingan korban.

Hal lain yang juga dibahas adalah pentingnya melakukan koordinasi dan kerjasama lintas shelter (rumah aman) dan perlunya memiliki sistem referal dalam penanganan korban TPPO secara efektif dan profesional.

Dalam konteks kebutuhan itulah, lokakarya itu digelar. Ini agar para penggiat CWTC-IBSI ini punya pemahaman menyeluruh tentang:

  • Kriteria standar.
  • Mekanisme pengelolaannya guna menapmung para korban TPPO dan aksi kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Menghadirkan narasumber yang berkompeten di bidangnya. (Sr. Kristina Fransiska CP)

Karena itu, semua biara kongregasi suster yang memiliki shelter (rumah aman) diundang datang menghadiri dan mengikuti lokakarya ini.

Lokakarya itu bertujuan antara lain  untuk menjamin tersedianya  shelter yang memiliki SDM memadai untuk pendampingan untuk korban TPPO.

Karena itu, expected results yang diharapkan terjadi antara lain sebagai berikut:

  1. Standarisasi minimal atas pengelolaan shelter (rumah aman).
  2. Peserta mampu memahami SOP tata kelola.
  3. Peserta mampu mengimplementasikan hasil lokakarya ini dalam mekanisme sistem pengelolaan shelter yang dimiliki.
  4. Tersedianya SDM yang profesional dalam mengelola shelter.
  5. Adanya koordinasi dan kerjasama lintas shelter untuk saling mendukung dalam penanganan korban TPPO.

Program lokakarya ini diselenggarakan atas kerjasama baik antara berbagai pihak yakni:

  • CWTC-IBSI.
  • IOM (International Organization for Migration).
  • RPTC (Rumah Perlindungan Trauma Center) Bambu Apus.
  • Kementerian Sosial RI
  • PSE KWI.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here