SELAIN jadwal terbang menjadi tak menentu kapan pastinya bisa terbang, bencana kabut asap tebal yang melanda kawasan Palangkaraya, Pontianak, Pekanbaru, Lubuklinggau, Jambi membuat jantung para penumpang pesawat jadi dad-dig-dug. Kecemasan sudah menyelimuti rongga hati setiap penumpang, setiap kali rencana terbang terpaksa diundur, ditunda dan bahkan dibatalkan. (Baca: 24 Jam Palangkaraya Hirup Asap, Itu Namanya Bencana Serius)
Ini saya alami sendiri, ketika hari Kamis pagi tanggal 22 Oktober 2015 hendak melalukan perjalanan terbang menuju Pontianak, Kalimantan Barat. Sedari empat bulan sebelumnya, semua tiket penerbangan pp sudah kami lakukan. Semua dalam status OK dan siap terbang.
Namun apa daya, dalam beberapa pekan terakhir ini, Pontianak dan Ketapang –keduanya di Provinsi Kalimantan Barat—juga tak luput dari hujan asap tebal. Beberapa kali penerbangan terpaksa ditunda atau –yang terburuk—terpaksa dibatalkan sampai waktu tak terbatas, demi alasan keselamatan. Semua terjadi gara-gara kabut asap tebal sehingga jarak pandang menjadi berkurang dan tidak memenuhi standar demi keselamatan penerbangan.
Sehari sebelumnya
Mimpi buruk soal terbang terjadi sehari sebelum akhirnya kami terbang, hari ini Kamis tanggal 22 Oktober 2015. Rabu siang tanggal 21 Oktober, tiba-tiba muncul SMS dari operator penerbangan dengan pesan jelas: penerbangan ke Pontianak tanggal 22 Oktober 2015 mundur 4 jam dari jadwal.
Kami semula harus terbang pukul 05.45 WIB, namun gara-gara asap tebal yang menaungi langit Pontianak, jadwa terbang kami mundur pukul 10.00 WIB.
Sesampai di Bandara Cengkareng dengan asumsi mundur terbang pukul 10.00, ternyata pada jam yang telah dijadwalkan itu pun kepastian terbang juga tidak terjadi juga.
Kekesalan dan kecemasan lebih intens terjadi pada ratusan penunpang di Gate 4 untuk penerbangan ke beberapa titik pendaratan di Sumatra: Riau, Kualanamu, Palembang, Pangkalpinang, Tanjungpandan, dan Lubuklinggau. Beberapa jadwal penerbangan ke jalur Sumatra juga mengalami nasib sama: tertunda.
Yang paling parah tentu saja, jadwal terbang untuk Pekanbatu di Provinsi Riau. Jarak pandang hanya 200 meter saja. Padahal, standar keselamatan penerbangan mengharuskan jarak pandang sedikitnya 1.200 meter. Ketika akhirnya kami berhasil berangkat terbang pukul 11.45 –mundur 6 jam dari rencana semula terbang pukul 05.45 WIB—raturan penumpang untuk rute Pekanbaru harus menelan kecewa: gagal terbang karena penerbangan sepanjang Kamis ini dibatalkan.
Untuk rute penerbangan ke Pontianak, pengumuman pertama mengatakan “Jarak pandang hanya 700 meter”; dua jam berikutnya berbunyi “jarak pandang 800 meter” padahal dibutuhkan sedikitnya 1.200 meter untuk bisa mendarat selamat.
Sementara, selama kurun waktu 5 jam menunggu di Gate 4, pengumuman gagal terbang untuk rute Pekanbaru masih bertengger pada 100 meter hingga 200 meter saja.
Pemandangan samar
Dag-dig-dig kedua terjadi di atas pesawat, sesaat sebelum melakukan pendaratan.
Ketika saya mencoba melongok “ke bawah” melalui kaca jendela, saya tidak bisa melihat situasi daratan dengan jelas karena pekatnya asap masih menutupi langit Pontianak. Bahkan ketika roda-roda pesawat dikeluarkan pun, daratan hanya tampak samar-samar saja. Mungkin ketika pesawat sudah mau mendekati daratan pada ketinggian 100 meter atau lebih, pemandangan darat benar-benar baru kelihatan lebih jelas lagi.
Bencana asap tidak saja membuat para penumpang pesawat ketar-ketir oleh tidak menentunya jadwal penerbangan dan ancaman keselamatan penerbangan. Jauh lebih menderita tentu saja, para penghuni kawasan ‘hujan asap’ yang kini melanda Pontianak, Palangkaraya, Ketapang, Pekanbaru, Riau, Palembang, Lubuklinggau, dan yang baru-baru ini terjadi juga Timika di Papua.
Kita sekali lagi masih menantikan gebrakan manjur dari Presiden Jokowi dan Menteri Kehutanan & Lingkungan Hidup Siti Nurbaya. Pertanyaannya, apakah dengan blusukan-nya ke lapangan di tengah medan kepulan asap di beberapa titik bencana di Sumatra dan Kalteng kemarin itu bisa membuahkan hasil atau tidak.
Soalnya, hingga saat ini asap tebal masih mengepul di beberapa kawasan itu. Bahkan saya baca dari media internasional beberapa kawasan di selatan Thailand pun kini juga dibuat ‘lumpuh’ oleh ekspor asap dari Indonesia.