Jumat, 11 Maret 2022
- Yeh. 18:21-28.
- Mzm: 130:1-2.3-4ab.4c-6.7-8.
- Mat 5:20-26
KITA hidup bersama orang lain. Tidak ada manusia yang hidup sendirian. Kita menjadi manusia yang utuh dan tumbuh dewasa, karena ada campur tangan dari orang lain; baik kita meminta atau dengan sendiri kita bersentuhan dengan orang lain.
Perjumpaan dengan orang lain itu berakibat adanya pengaruh di dalam diri kita masing-masing. Entah pengaruh baik maupun yang kurang baik. Bahkan tidak menutup kemungkinan adanya konflik hingga berlarut-larut dan meninggalkan luka.
Demikian juga dalam keselamatan, bisa jadi secara tidak sadar orang lain membawa kita kepada keselamatan. Namun juga ada orang yang menarik kita untuk menjauhi keselamatan yang sedang kita perjuangkan.
Pasti suatu ketika kita pernah mengalami itu. Hanya saja ada orang yang bisa sangat peka akan pengalaman itu sehingga pengalaman hidup yang dijalani selalu bermakna. Tetapi ada juga orang yang sama sekali tidak peka, tidak mampu menangkap tanda kehadiran Allah dalam peristiwa hidup yang pernah dialaminya.
“Saya pernah mengecewakan teman-temanku dalam hidup ini, saya menyesal pernah berbuat jahat hingga harus mendekam di penjara,” kata seorang bapak.
“Meski sudah lama berlalu, bahkan saya sudah menyelesaikan hukuman, namun rasa sesal tetap menyelimuti hati saya,” lanjutnya.
“Seorang teman mengatakan,” Nanti waktu yang akan membantumu melupakan peristiwa kelammu, kata seorang temanku,” ujar bapak itu.
“Namun kenyataannya tidak seperti itu, hati kecil saya selalu tidak nyaman dan tidak tenang,” lanjutnya.
“Hingga suatu hari saya putuskan untuk memberanikan diri, menemui orang yang pernah saya kecewakan,” ujarnya.
“Memang berat, malu dan banyak ketidaknyamanan. Namun saya pikir itu lebih baik saya hadapi daripada saya sembunyi dan selalu merasakan hal yang sama setiap saat, tanpa tahu kapan berakhir” ujarnya lagi.
“Alangkah leganya hati ini, ketika orang yang pernah saya kecewakan menerimaku meski tanpa banyak kata, dia telah membebaskanku,” katanya lagi.
“Kenyataan ini membuatku menyadari bahwa yang membuat luka terus tersayat bukan orang lain yang bermasalah denganku, namun bayangan dan rasa sesal yang ada di dalam hati itulah yang terus mengiris luka,” sambungnya.
“Jalan damai adalah jalan yang memuluskan hidup bersama bahkan dalam hubungan dengan Tuhan.
Tanpa perdaimaian dengan orang-orang yang pernah terluka kita ibaratnya terbang bagai burung yang sayapnya terluka,” katanya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian:
“Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau,
Tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”
Injil hari ini mengingatkan kita bahwa orang lain adalah bagain dari diri kita, entah bagian besar atau bagian kecil. Perilaku kita terhadap mereka akan kembali pada kita.
Apa pun yang kita katakan, kita lakukan, kita kerjakan bagi orang lain, itupun juga kembali kepada kita.
Kerelaan dan keterbukaan hati kita untuk mengakui kesalahan dan mau berdamai dengan mereka yang pernah kita kecewakan adalah jalan untuk membangun hidup dan masa depan yang baru.
Damai itu diwujudkan dengan cara keberanian untuk mengakui kesalahan kita dan terbuka akan pengampunan sesama. Seperti kita juga berani mengampuni sesama.
Hanya orang yang bisa bersyukur yang akhirnya mampu sampai pada pengalaman mengampuni.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku mau memperjuangkan kedamaian atau aku menunggu orang lain mengusahakan perdamaian?