Dari Layar Ke Hati Empati Kunci Pelayanan Katekis Di Era Digital

0
36 views

Pada tanggal 8 Oktober 2024, Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura menyelenggarakan seminar dengan tema “Menumbuhkan Empati dalam Hati Katekis di Era Teknologi.”

Seminar ini bertujuan untuk memberikan wawasan kepada para katekis mengenai pentingnya empati dalam proses pengajaran di tengah pesatnya perkembangan, yang kini tak terpisahkan dari kehidupan setiap manusia, dapat digunakan dengan bijak tanpa mengabaikan panggilan utama sebagai katekis melayani dengan hati.

Suara tenang dan penuh semangat Monika H. Ginting, SPd, MPd selaku Ketua Panitia membuka acara dengan sambutan hangat. “Empati adalah jembatan yang menghubungkan hati manusia, melampaui batas-batas teknologi,” ungkapnya.

Kata-katanya menggetarkan hati hadirin, seakan membuka tirai yang menyembunyikan dimensi terdalam dari pelayanan seorang katekis.

Ermina Waruwu MTh, MPd, Wakil Ketua I, mempertegas pentingnya peran katekis yang tidak hanya sebagai pendidik. Tetapi juga sebagai pelayan jiwa, yang menuntun umat dengan hati yang penuh kasih, di tengah derasnya arus informasi dan teknologi.

Pembicara utama dalam seminar ini, Romo Pankras Olak Kraeng SS.CC, seorang imam sekaligus Provinsial Kongregasi SS.CC Indonesia dan Singapura, telah lama dikenal dengan wawasannya yang mendalam dalam psikologi pastoral. Ia berdiri di depan para peserta dengan kehangatan seorang sahabat yang hendak berbagi cerita, bukan sekadar pengetahuan.

Romo Pankras memulai dengan sebuah refleksi mendalam tentang zaman yang kita jalani saat ini: sebuah era di mana teknologi telah menjadi jendela dunia, tetapi juga bisa menjadi tembok yang memisahkan kita dari rasa kemanusiaan. “Teknologi adalah alat, bukan tujuan. Meski ia mampu mempertemukan wajah-wajah melalui layar, empati tak pernah dapat digantikan oleh sinyal digital,” ujar Romo Pankras.

Dalam penyampaiannya yang dipandu oleh moderator Elisa Ginting M.Pd., ia mengajak para katekis untuk merenungkan panggilan suci mereka. Menjadi katekis bukanlah sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa di mana hati adalah alat utama yang harus diasah. “Teknologi bisa memberi kita informasi, tetapi hanya hati yang bisa memberi kita pemahaman,” lanjutnya.

Romo Pankras tak hanya memberikan teori, tetapi juga memaparkan tips praktis bagaimana teknologi dapat dipadukan dengan pendekatan pastoral yang humanis. Di tengah dunia yang semakin digital, ia mengingatkan bahwa tantangan terbesar adalah menjaga kepekaan emosional dan menciptakan hubungan yang bermakna, bukan hanya dengan umat, tetapi juga dengan diri sendiri dan Tuhan.

Dalam beberapa kisah yang ia sampaikan, Romo Pankras bercerita tentang saat-saat ketika seorang katekis harus mendengarkan lebih dalam daripada berbicara, harus hadir sepenuh hati, bukan sekadar hadir secara fisik. Salah satu momen paling mendalam adalah ketika ia berbicara tentang roh penggerak seorang katekis.

“Roh Kudus adalah nafas di balik setiap tindakan kita. Seorang katekis harus selalu dibimbing oleh-Nya, sehingga setiap perkataan, setiap sentuhan hati, adalah cerminan dari kasih Tuhan,” katanya.

Bagi Romo Pankras, katekis yang berhasil adalah mereka yang mampu menggunakan teknologi tanpa kehilangan sentuhan manusiawinya sebuah sentuhan yang datang dari hati yang peka terhadap rasa sakit, kebingungan, dan harapan orang lain.

Fransiskus Bonardo Situmorang, salah satu peserta seminar, menggambarkan pengalamannya dengan penuh rasa syukur.

“Seminar ini bukan hanya membuka mata saya tentang bagaimana teknologi bisa membantu, tetapi juga menyentuh hati saya. Saya semakin sadar bahwa teknologi hanyalah alat, dan tugas saya adalah menjadi telinga yang mendengar, hati yang mengerti,” tuturnya.

Baginya, seminar ini lebih dari sekadar diskusi tentang teknik dan pendekatan pastoral, tetapi sebuah undangan untuk merenungkan kembali panggilan katekis yang dalam dan penuh makna.

Seminar ini pun ditutup dengan sebuah refleksi mendalam yang mengingatkan para katekis akan tugas utama mereka menjadi perpanjangan tangan Tuhan dalam dunia modern ini.

Romo Pankras mengakhiri dengan sebuah pesan yang kuat: “Ketika kita berhadapan dengan mereka yang datang kepada kita, kita tidak diminta untuk menjadi penasehat, melainkan menjadi tempat bersandar. Empati bukan hanya tentang mendengarkan dengan telinga, tetapi juga dengan hati yang penuh kasih.”

Sebagai tanda syukur dan penyerahan diri kepada Tuhan, acara seminar ditutup dengan Misa Kudus yang dipersembahkan oleh Romo Pankras Olak Kraeng, SS.CC sebagai selebran utama, dan konselebran Romo Paulus Halek Bere SS.CC,selaku Wakil Ketua III bersama Frater Felix SS.CC, yang sedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral di Seminari Menengah Sacerdos Siantar.

Dalam homilinya, Romo Pankras mengajak semua yang hadir untuk meneladani Bunda Maria, yang selalu memberi dirinya kepada Tuhan dengan sepenuh hati. Seorang katekis harus selalu menyediakan waktu untuk Tuhan, membiarkan Roh Kudus membimbing langkalh-langkahnya, sehingga roh akan menggerakkan rasa empati yang akan menjadi kekuatan utama dalam karya dan pelayanan kita,” ucapnya dengan khidmat.

Misa itu menjadi penutup yang syahdu, membawa setiap peserta pada kesadaran bahwa di balik setiap perkembangan teknologi yang memudahkan hidup, ada kebutuhan dasar yang hanya bisa dipenuhi dengan hati yang mendengarkan, hati yang penuh empati.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here