Oberammergau adalah sebuah pedesaan nan indah. Terletak di luar kota Muenchen atau Munich –begitu orang Perancis suka menyebut kota di distrik Garmisch, Partenkirchen ini— Oberammergau layak dikunjungi sebagai salah satu destinasi wisata rohani di Bavaria, Jerman. Butuh waktu kurang lebih 1 jam 45 menit perjalanan dari Muenchen menuju Oberammergau sejauh 90 km. Namun, sepanjang perjalanan menuju pedesaan nan indah ini, Oberammergau selalu menyuguhkan pemandangan alam super eksotis.
Di kejauhan sepanjang mata bisa memandang, panorama alam Pegunungan Alpen yang begitu memesona mata terbentang di depan kita. Alpen yang menjadi batas wilayah Jerman dan Swiss sungguh menjadi hiburan rohani bagi raga yang letih setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta menuju Muenchen.
Begitu memasuki kawasan Oberammergau, kami langsung disambut rerumputan hijau nan tebal. Deru suara gemericik air sungai dengan kilauan sinarnya yang berpendaran lantaran kejernihan airnya membuat kami tersentak kagum. Itulah Sungai Ammer yang menyambut rombongan kami. Pun pula kehangatan masyarakat lokal Oberammergau yang terpancar kuat dari bentuk rumahnya yang eco-friendly, selain tentu saja aneka bebungaan yang menyembul di depan jendela rumah atau di depan ruang teras.
Singkat kata, Oberammergau tak ubahnya wisata alam di sebuah pedesaan di Bavaria, Jerman.
“Passion Play”
Tanggal hari itu adalah 12 September 2010. Bersama rombongan para peziarah Indonesia, kami menyambangi Oberammergau. Tujuan destinasi perjalanan kami ini tak lain adalah ingin menonton Passion Play: sebuah dramaturgi Kisah Sengsara Yesus mulai saat memasuki Yerusalem sampai kebangkitan-Nya.
Passion Play Oberammergau tentu saja juga menyuguhkan adegan demi adegan tentang Yesus yang disambut gegap gempita bak seorang Raja di Yerusalem. Oberammergau juga memperlihatkan bagaimana bengisnya kisah penyaliban Yesus hingga akhirnya passio (Kisah Sengsara) ini berakhir dengan kemuliaan Tuhan: Yesus bangkit mengalahkan kematian pada Hari Raya Paska.
Kolosal adalah kata paling tepat untuk menyebut dramaturgi Kisah Sengsara Yesus yang melibatkan ribuan pemain ini. Tak kurang 2.000 orang terlibat dalam penggarapan drama rohani yang sifatnya masif ini. Mereka bekerja dalam sebuah tim besar; masing-masing secara profesional mengerjakan tugas dan fungsinya secara apik. Ada orang bekerja di balik layar menggarap tata panggung, sementara lainnya mengerjakan musik orkestrasinya. Kostum dikerjakan secara prima oleh anggota lain.
Kalau jumlah penduduk lokal di pedesaan Oberammergau ini tak lebih dari 4.000 jiwa, tentu saja jumlah pemain dan semua kru yang terlibat dalam Passion Play itu sudah lebih dari separuh total penduduk Oberammergau sendiri. Dan itulah keistimewaan Oberammergau: mampu menyuguhkan drama kolosal Kisah Sengsara Yesus dengan pemain dan kru panggung terdiri dari “orang-orang kita sendiri”.
Durasi pergelaran rohani itu juga tidak pendek. Para peziarah harus mau bersabar diri, karena dramaturgi Oberammergau ini berdurasi tak kurang lima jam, diselingi istirahat selama tiga jam untuk istirahat makan malam. Babak pertama dimainkan mulai pukul 14.30 sampai pukul 17.00. Setelah istirahat makan malam, babak kedua berlanjut mulai pukul 20.00 hingga menjelang tengah malam yakni pukul 22.30 waktu setempat.
Bosankah para peziarah Indonesia? Sama sekali tidak. Justru pertunjukan rakyat yang digarap secara profesional dan kolosal inilah yang menjadi daya pikat Oberammergau. Tak salah memang, kalau peziarah rela menikmati perjalanan hampir dua jam dari Muenchen menuju pedesaan indah di Bavaria.
Mengapa Passion Play?
Sejarah munculnya Passion Play di Oberammergau harus dirunut jauh ke belakang.
Abad ke-16 perang dahsyat berkecamuk di kawasan Bavaria dan tak terkecuali juga merambah Oberammergau. Wabah penyakit pes menyeruak dimana-mana hingga membuat ratusan orang mati. Belum lagi korban tewas dan luka parah setelah Oberammergau selama 30 tahun dilanda perang.
Setelah berbulan-bulan dilanda perang dan musibah wabah penyakit pes, tiba-tiba saja di tahun 1933 warga Oberammergau melakukan nazar. Janji berbuat sesuatu sebagai “silih dosa” itu dilakukan agar Oberammergau di kemudian hari bisa bebas dari segala bencana, termasuk wabah penyakit pes. Isi nasar itu adalah niat untuk melakonkan drama kisah sengsara Tuhan berikut wafat dan kebangkitan-nya setiap 10 tahun sekali.
Nazar pertama berhasil diwujudukan pada Hari Raya Pentakosta tahun 1634. Tahun 2010 lalu, passion play sudah mencatat angka nazar yang ke-41 kali. Sebuah prestasi kesetiaan yang patut dihargai, ketika pentas rohani rakyat Bavaria berhasil dilestarikan secara turun-temurun hingga sampai sekarang.
Rombongan peziarah Indonesia berkesempatan menyaksikan pergelaran rohani itu tahun 2010 lalu. Kami menyempatkan diri melihat dramaturgi Kisah Sengsara Tuhan itu, saat rombongan peziarah datang menyambangi Oberammergau. Tercatat sebanyak 102 kali pentas telah digelar sejak 15 Mei hingga 3 Oktober tahun 2010 dan kami mendapat kesempatan datang dan melihatnya di antara ribuan peziarah lain dari seluruh dunia.
Tak kurang, sekitar 5.000-an orang dari berbagai belahan dunia ikut menonton dramaturgi kolosal ini pada setiap pertunjukannya. Tahun lalu, yang bertindak sebagai produser pergelaran rohani rakyat ini adalah Christian Stuckl, Direktur Munich Volkstheater. Ikut bersama dia adalah Otto Huber yang menjadi co-producer sekaligus penasehat dramaturgi. Costume design digarap oleh Stefan Hageneier. Urusan musik dikomandoi oleh Marxus Zwink. Michael Bocklet didapuk menjadi konduktor orkestra.
Semua –tanpa terkecuali—adalah warga penduduk lokal Oberammergau.
Tata panggung
Sebuah panggung raksasa digelar di pusat pertunjukkan. Dengan ukuran 40m x 20 m, panggung raksasa itu ibarat magnet raksasa yang siap membetot perhatian ribuan peziarah rohani dari berbagai belahan bumi. Tata panggung bergaya Romawi sengaja dikerjakan guna menyulap suasana Oberammergau abad ke-21 menjadi “Tanah Romawi” menjelang awal Tahun Masehi.
Atmosfir Romawi dihadirkan dengan cara membangun pilar-pilar megah di kanan kiri panggung. Di bagian latar belakang dibangun sebuah ruangan besar dimana tersaji mozaik-mozaik peristiwa-peristiwa penting dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Semua tampilan artistik itu dikerjakan dengan prima hingga atensi dan emosi penonton dengan mudahnya ikut tergugah.
Vivants tableaux begitu orang Perancis suka melukiskan paparan peristiwa dalam bentuk mozaik-mozaik gambar. Dengan mengambil vivant tableaux sebagai latar belakang, para artis dan aktor datang memainkan perannya masing-masing sesuai skenario dramaturgi. Mereka tampil kadang secara bersamaan, namun lain kali berganti-gantian.
Mereka muncul ke panggung utama dari segala arah. Bisa dari sisi kanan-kiri, bahkan dari bawah panggung dan dari kerumunan penonton. Satu hal terlihat sama, yakni mereka mendaraskan nas-nas Kitab Suci yang oleh para peziarah rohani terdengar bak mantra-mantra doa. Memanglah, nonton dramaturgi Oberammergau ini tak sekedar pergelaran rohani. Lebih dari itu, ibarat ziarah sembari mendaras doa.
Orkestrasinya juga luar biasa. Supaya tidak mengambil jatah tempat duduk penonton, kelompok musik ini sengaja ditempatkan di bawah panggung. Harap maklum, langkah tidak konvensional ini terpaksa dilakukan karena jumlah penonton selalu membludak hingga semua tempat duduk penonton terisi penuh.
Itu tak mengapa bagi kami para peziarah asal Indonesia. Duduk di tengah kerumunan penonton menjadi kebanggaan tersendiri, apalagi ketika mendapat suguhan pergelaran rohani lokal namun ditampilkan dengan cita rasa dunia. Orkestrasinya yahud. Desain seragamnya super indah dan tak terkecuali juga isi dramaturginya sendiri g mampu menyedot emosi para penonton. Kalau tak salah hitung, jumlah anggota koor melebihi angka 50 orang. Kadang-kadang pada sesi pertunjukan tertentu, jumlah anggota koor malah sampai 60 orang.
Peserta “Passion Play”
Dari penduduk lokal, kami mendapat informasi bahwa seluruh pendukung dramaturgi Kisah Sengara Tuhan versi Oberammergau ini datang dari penduduk lokal. Setidaknya, mereka yang sudah tinggal menetap di Oberammergau selama 20 tahun.
Profesional atau amatiran? Susah menjawabnya. Dibilang amatir juga benar, karena para pemain –mulai dari anak-anak hinga orang dewasa dan para orangtuanya itu—sehari-harinya memang bukan artis atau aktor profesional. Namun kalau menyaksikan mutu permainan mereka menggarap Passion Play dengan cita rasa dunia itu, tentu sebutan amatiran juga tidak tepat. Belum lagi kalau harus meresensi tingkat keseriusan para pendukung pergelaran rohani ini secara keseluruhannya.
Mereka memegang teguh prinsip moral dan etos kerja yang sangat tinggi. Disiplin menjadi kata kuncinya, selain tentu saja juga komitmen tinggi. Taruhlah itu misalnya kewajiban harus memiliki rambut panjang sebagai “kostum” untuk memainkan tokoh perempuan. Jenggot harus dibiarkan tetap tumbuh dan tak boleh kena pisau cukur sampai saatnya harus tampil brewokan membawakan tokoh pria.
Haruskah ke Oberammergau?
Oberammergau harus dikunjungi, justru karena pergelaran rohani Passion Play yang menawan dan menggugah kesadaran iman. Namun jauh sebelum kami menyambangi Bavaria ini, kami sadar harus berbuat sesuatu yakni persiapan batin.
Menonton tak sekedar menikmati pergelaran. Kami mempersepsikan tontotan khas Oberammergau itu sebagai olah rohani agar batin dan iman kristiani kami menjadi lebih dewasa dan matang. Itulah sebabnya sebelum berangkat menuju panggung Passion Play, kami menyempatkan diri mengadakan ekaristi.
Dalam kotbahnya, Mgr. Datus Lega yang menjadi pendamping rohani kelompok peziarah Indonesia memberi tuntunan refleksi atas Kisah Sengsara Tuhan. Jadi, kami datang menonton dengan iman dan bukan dengan kaca mata perspektif turis rohani. Salib menjadi kata kunci refleksi kami dalam menyaksikan drama Oberammergau ini.
Salib adalah jalan utama menuju kebenaran dan kebahagiaan. Nah, dramaturgi khas Oberammergau ini menjadi sarana bagi kami untuk menperdalam iman kristiani. Meyakini bahwa Yesus telah memanggul salib, wafat, namun berkuasa atas kematian dengan bangkit menuju kemuliaan.
Bersama umat Oberammergau, kami mengaku harus berani mengucap syukur atas rahmat kehidupan dan juga atas perlindungan-Nya selama ini. Salah satu bentuk syukur itu adalah kehendak kuat untuk berani memanggul salib, sabar dalam penderitaan, dan tekun dalam doa menumbuhkan harapan akan kebangkitan dari keterpurukan. Inilah paradoks iman kristiani: kemuliaan datang dari penderitaan. Kebangkitan terjadi setelah penyaliban.
Antusiame penonton dari semua penjuru dunia menyatu dalam satu kesan: hebat! Tanpa henti-hentinya mereka terus menatap panggung. Telinga mereka dimanjakan oleh alunan musik dan paduan koor sangat indah dan kompak. Tontonan rohani ini memang menghibur, namun sekaligus juga membangkitkan iman.
Bahasa tidak jadi masalah. Meski dibawakan dalam bahasa Jerman, kami masih bisa menikmati pergelaran itu dalam teks panduan berbahasa Inggris. Untunglah di rombongan peziarah Indonesia ada Mgr. Datus Lega dan seorang ibu yang fasih berbahasa Jerman. Mereka tenggelam menikmati pergelaran ini tanpa teks Inggris di tangan.
Barangkali, saya perlu syering hal ini. Saya pribadi terkesan dengan episod kisah pengkhianatan Yudas, babak penyangkalan Petrus dan drama penyaliban. Babak-babak penting dalam Kisah Sengsara ini dimainkan oleh aktor dengan karakter sangat kuat. Ini menyentuh kalbu saya hingga menyadari bahwa betapa kami –anak-anak Tuhan— acap kali melakukan pengkhianatan-pengkhianatan kecil-kecil dalam keseharian.
Ibu Maria yang diperankan dengan sangat indah oleh seorang perempuan Jerman lokal sungguh menggugah perasaan. Mater Dolorosa adalah bunda teladan kaum beriman yang mengilhami saya untuk bisa bertekun dalam doa dan tabah memikul penderitaan. Dalam iman, tak ada yang mustahil.
Permainan peran tokoh Farisi, Saduki dan Sanhedrin juga menyadarkan saya akan sikap dan kebiasaan buruk kita sebagai manusia: suka usil mengadili orang lain. Kita pandai mencari pembenaran diri dan paling suka menyalahkan pihak lain. Juga permainan peran tokoh Pontius Pilatus yang suka “cuci tangan” adalah tontonan yang menggugah kesadaran iman akan kebiasaan buruk kita yang tidak pernah berani bertanggungjawab.
Dramaturgi Kisah Sengsara Tuhan versi Oberammergau itu sendiri diakhiri dengan ending yang sifatnya non konvensional. Lazimnya setiap pergelaran tari atau musik di panggung pertunjukkan, setiap pemusik atau penonton diperkenalkan kepada publik. Namun Kisah Sengsara versi Oberammergau justru menganulir ritus ini.
Hal itu menyentuh saya. Hidup memang bak sebuah peziarah panjang. Pengalaman akan salib ada tergelar di setiap sudut perjalanan kita. Kadang kita harus mau berhenti sejenak, namun ada kalanya kita harus segera melangkah maju melanjutkan perjalanan kita. Di sini ada salib, namun di ujung sana ada pengharapan akan kebangkitan.
Oberammergau setidaknya telah membawa saya dan rombongan peziarah Indonesia pada kesadaran akan salib dan harapan akan kebangkitan. Selepas meninggalkan Bavaria, hati sekalian para peziarah membuncah bahagia karena Passion Play versi Oberammergau telah membersitkan di hati kami akan tiga keutaaman kristiani yakni iman, kasih, dan pengharapan.