“PERASAAN saya campur aduk… Saya merasa puas, karena bisa terlibat langsung di lapangan dalam penanggulangan asap di Palangkaraya. Namun saya juga merasa sedih, setelah melihat langsung kondisi di lapangan yang parah!” demikian ujar Max Mangando Misi, salah satu staf Rumah Sakit Jiwa Kalawa Atei Palangkaraya. (Baca: 24 Jam Palangkaraya Hirup Asap, Itu Namanya Bencana Serius
Pada Minggu, 18 Oktober 2015 yang lalu, ia bersama kelompoknya terlibat langsung dalam pemadaman api kebakaran lahan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Max berkisah bahwa kegiatan tersebut kini menjadi agenda rutin karena kotanya mendapat status “darurat kebakaran hutan dan asap”, dimana masing-masing SKPD yang ada mendapatkan jadwal tugasnya. Bagi Max, kegiatan itu adalah kali kedua ia bersama kelompoknya berjibaku di antara kepungan asap dan api.
Bagi para sahabat dumay (dunia maya-red), kampanye untuk melawan asap pun dapat kita saksikan dimana-mana. Tagar (#): #MelawanAsap, #DaruratAsap, #StopKabutAsapKalteng, #KaltengJugaIndonesia, #PeduliAsapKalteng, #SavePalangkaraya, #IndonesiaBukanCumaJawa, #SumateraJugaIndonesia dan sebagainya diserukan oleh banyak pengguna media sosial (medsos).
Tidak saja melalui jejaring medsos, pemberitaan dari berbagai media massa dalam dan luar negeri pun tak luput dari kabar tentang situasi darurat asap yang dewasa ini tengah melanda pulau Sumatera dan Kalimantan, dan bahkan kini juga terjadi di Sulawesi dan Papua. Konon asap dari Indonesia pun terbawa angin merambah lelangitan negara-negara kawasan Asia Tenggara lainnya: Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan sekitarnya.
Tahun ini paling parah dan menyiksa
Lery Lubis, seorang analis kesehatan yang sehari-harinya bertugas di Puskesmas Sebangau, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, berkisah bencana asap yang melanda Pulang Pisau tahun ini paling parah, paling lama, paling menyiksa dan paling banyak memakan korban.
Menurutnya, kawasan yang paling banyak menyumbangkan asap adalah Tumbang Nusa yang dikenal sebagai lahan sejuta gambut. “Tumbang Nusa adalah penyumbang asap terbanyak, disusul oleh Pulang Pisau. Di Kecamatan Sebangau Kuala sendiri terjadi kebakaran lahan di sepanjang aliran daerah aliran sungainya. Di Tumbang Nusa sendiri kebakaran sudah berlangsung beberapa minggu terakhir.”
Lery berpendapat, usaha yang dilakukan oleh TNI/Polri maupun para relawan pemadam api sudah maksimal. Meski begitu kekurangan tenaga menjadi kendala yang tidak bisa dibantah, dimana jumlah personil yang diterjunkan tidak dapat menjangkau seluruh luasan lahan yang terbakar.
“Para personil TNI/Polri dan relawan itu ‘kan manusia biasa. Mereka bisa capek dan sakit. Sedangkan para relawan itu juga dalam kesehariannya mempunyai tanggung jawab terhadap perekonomian keluarganya masing-masing. Jadi tidak mungkin setiap hari bertugas!” tutur Lery prihatin. Situasi menjadi kian kompleks manakala ketersediaan mesin air, selang dan sumber air yang terbatas.
Musibah tak dikehendaki
Asap menjadi fenomena sekaligus perbincangan hangat dimana-mana. Asap adalah produk pembakaran yang sempurna dan tidak sempurna, yang terdiri dari partikel-partikel gas dan uap serta unsur unsur terurai yang dilepas dari suatu bahan yang terbakar.
Semua bahan yang dapat terbakar akan menghasilkan karbon monoksida (gas CO) dan karbon dioksida (gas CO2) dalam jumlah besar. Selain itu, asap juga berpotensi mengeluarkan aneka zat beracun seperti : Nitrogen monoksida dan dioksida, gas sulfur, formaldehida (dikenal sebagai formalin ), hidrokarbon, partikel dan zat oksidan, serta puluhan bahan beracun lainnya.
Menurut dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH., MMB dalam tulisannya yang dimuat dalam situs Universitas Indonesia, asap kebakaran hutan dapat menyebabkan “hipoksia”. Hipoksia merupakan keadaan kekurangan oksigen yang dapat mengakibatkan permasalahan kesehatan pada organ-organ tubuh. Di dalam tubuh, keseimbangan oksigen dijaga oleh sistem kardiovaskuler dan sistem pernafasan.
Hipoksia seharusnya dihindari, apalagi oleh mereka yang mempunyai permasalahan pada pembuluh darahnya, baik pada pembuluh darah otak maupun pembuluh darah jantung. Kadar oksigen yang rendah menyebabkan jantung mengalami penurunan suplai oksigen yang berat yang dapat menyebabkan terjadinya kematian jaringan (infark).
Begitu pula pada orang yang sudah mempunyai permasalahan pembuluh darah otak, kekurangan oksigen dapat memperburuk kondisi pasien hingga mengakibatkan pasien tidak sadarkan diri. Penelitian membuktikan bahwa kondisi hipoksia sistematik kronik dapat menyebabkan kerusakan pada hati, ginjal, jantung dan lambung.
Pasca kunjungan Jokowi
Kabut asap yang menyelimuti wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah mengundang perhatian Presiden Joko Widodo untuk mengunjungi titik api (hot spot) di kedua propinsi ini. Jokowi berkunjung ke Desa Guntung Damar, Banjarbaru di Kalimantan Selatan pada 23 September 2015 yang lalu. Sehari kemudian, orang nomor satu di Indonesia ini pun memenuhi harapan warga Kalimantan Tengah dan mengunjungi Desa Gerung dan Desa Tumbang Nusa di Kabupaten Pulang Pisau di Kalimantan Tengah.
Kala itu Jokowi mengatakan bahwa kebakaran lahan gambut sulit dipadamkan, khususnya di bawah permukaan. “(Kebakaran) lahan gambut itu di atasnya beres, tapi di bawah masih bisa membara kalau ada oksigen. Saya menaruh perhatian serius terhadap kebakaran di sini karena mengganggu aktivitas penerbangan,” ujarnya di sela meninjau kebakaran lahan gambut di Desa Gunung Damar, Kota Banjarbaru, Rabu, 23 September 2015.
Sebulan pasca kunjungan Jokowi, penanggulangan asap di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah terus berlangsung. Di Banjarmasin maupun Banjarbaru di Kalimantan Selatan, kabut asap biasanya turun saat sore hari dan bertahan hingga menjelang siang hari. Namun di Provinsi Kalimantan Tengah, kondisi kabut asap yang melanda jauh diambang batas keamanan.
Pada tanggal 26 September 2015, jarak pandang di Palangkaraya dan kota-kota lainnya di Kalimantan Tengah tidak lebih dari 50 meter. Tingkat polusi udara juga berada pada level berbahaya. Sedikitnya 178 titik api telah mengepung Kalimantan Tengah saat itu. Bahkan, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) berada pada angka 2.314 mikrogram per meter kubik. Itu jauh melampaui batas yang boleh dihirup oleh manusia yakni 0 hingga 350 mikrogram per meter kubik. Dampaknya adalah sekolah diliburkan, aktivitas, dan kesehatan warga terganggu.
Pada tanggal 19 Oktober 2015 kemarin, angka ISPU di Palangkaraya mencapai 1.900, bahkan ada lokasi yang angka ISPU-nya berada pada level 2.900. Situasi berbahaya dan berlarut seperti ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pemerintah Republik Indonesia seyogyanya melakukan tindakan strategis dan berdaya guna untuk sesegera mungkin melakukan pemadaman api secara menyeluruh dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Bahkan pada Jumat, 16 Oktober 2015 angka ISPU di Palangkaraya mencapai 3.000 lebih, suatu angka fantastis dan kian membuat hati miris! Ketika itu, langit dan udara tidak lagi berwarna putih pekat, melainkan kuning jingga dan mengerikan.
Jika hanya mengandalkan personil pemadam api di lapangan, kemungkinan pemadaman api akan menjadi berkepanjangan tanpa hasil yang maksimal sesuai harapan. Karena di lapangan, kebakaran hutan maupun lahan yang terjadi terus berlangsung. Apalagi untuk lahan gambut, yang mana api yang telah dipadamkan di daerah permukaan dapat kembali menyala setelah beberapa waktu lamanya.
Hal ini diakui oleh Lery yang telah menyaksikan kenyataan di lapangan. Menurutnya, beberapa tepi ruas jalanan di Sebangau ambruk karena api memakan gambut yang berada di bawah median jalan yang terbuat dari pasir dan batu (sirtu). “Pemadam hanya mampu mematikan api yang ada di permukaan, sedangkan api yang ada di bawah gambut belum tentu padam dan sewaktu-waktu dapat menyala kembali dan menghasilkan asap.”