“PAGI disapu. Siang disapu. Sore disapu. Malam disapu. Tapi lantai tetap berdebu,” seorang ibu menggerutu setelalah lelah menyapu rumah yang terletak di tepi jalan.
Rasa tenteram karena menyimpan perabot di almari tertutup rapat pun terkoyak. Harus membersihkan atau mencuci, saat mau memakai piring atau gelas.
Debu menjadi biang kerok. Hembusan angin menghantar benda sangat kecil memasuki celah-celah almari yang rapat tertutup.
Di ruang yang katanya steril, si kecil ini pun hadir. Kehadirannya sering menjengkelkan. Di Jember, perasaan itu diungkapkan dengan kata mbencekna.
Membuat perasaan benci, jengkel, tak senang meluap.
Saat menciptakan manusia dari benda tak berharga ini, debu, Tuhan pasti tak membayangkan ciptaan-Nya akan mengubah diri menjadi mbencekna.
Ia hanya membayangkan tentang yang indah. Pada tanaman hijau dan tumbuhan Ia melihat semuanya baik. Namun, tentang manusia, Ia melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik.
Yang sungguh amat baik mengubah diri menjadi menjengkelkan. Ia berubah menjadi mbencekna, saat mengisi hati dengan debu kesombongan, keserakahan, ketamakan, dengki, iri hati, peselisihan, khianat, dan segala yang jahat.
Debu sungguh membawa kejahatan
Tapi, jauh di atas awan gemawan, di atas tanah yang kersang, edelweis dan anggrek mekar berseri karena debu yang tertiup angin menderu.
Debu sungguh membawa hidup.
Jadi debu yang sungguh amat baik? Mau? Kapan mulai? Hic et nunc, di sini dan kini.